yang akhir

By Afrilia Utami - October 28, 2012


Hari ini sebuah bisu terlatih untuk hadir dalam rinci kehidupan dengan bunyi. Aku dan semua akhirnya jadi kail-kail kembali menuju arus. Sebelum aku berangkat, aku ingin bercerita singkat mengenai air mata yang kujumpai di matamu, yang sedang membaca.

Kita telah terlatih bersikap sebagai vampire yang lama tidak tahan dengan matahari yang sudah sepuh. Tapi matahari itu berasal dari timur, menuju rumah bulan. Di sana kulihat keduanya berpangkuan, satu dan lainnya. Tapi tak berbicara. Seperti aku pada dinding kamarku, pada kubah lail dalam sepertiga malam. Tahmid, dan hamdalah, berdetak di atasnya. Tasbih yang merengkuh tubuh yang hampir piar memohon ampunan.

Di sinilah, di hari ini. Ingin kuajak kalian tersenyum bersama senyumku. Kita ayunkan kebisuan kita dalam tangan yang kuat. Dalam wajah-wajah yang tangguh, setelah sekian waktu berpanggut pada nakal teriknya tragedi. Tidakkah lagi awan itu begitu cantik? Hujan yang kita senangi dalam sendiri. Untuk duduk dan tersenyum menyaksikan banyak burung yang berterbangan menuju hati yang nyaris kesiangan pada kesiap musim yang terbenteng di sekitar bathin kita.

Apa yang kita sembunyikan lama? Luka-luka yang basah tak elak beringsut dari kemasannya. Ibu yang kita rindu, yang menunggu anak-anaknya dengan cerah secercah mutiara doa. Bait-bait getar dalam pendar hidup seorang ayah. Kekasih yang entah di mana, mencuri sebagian bulu-bulu yang mulanya dirajut dalam sebuah potret kenangan. Tapi Tuhan selalu ada esa, menunggu makhluknya dengan sekuel cinta yang tak pernah lekang. Tunggulah aku dan marilah ikut bersamaku, kita susuri jalan-jalan yang dilalui kafilah dengan doa dipundaknya yang aus dan nabi serta sahabat rasul yang tak pernah terdengar bisu dari zaman-zaman kehidupan.

20 April 2012

  • Share:

You Might Also Like

0 comments