papan bertulis, menara yang jatuh dari langit

By Afrilia Utami - October 28, 2012


Jika boleh aku ingin mundur saja, langit tak begitu lepas menerimaku.

Di tempat yang berusia dua ribu tahun sekian ini, ruang tunggu begitu sepi. Bangunan tua, jarang di jamah. Kadang kukira, bangunan yang sedang aku perhatikan lama, seperti aku. Banyak bagian yang telah rapuh dan lapuk karena dilahap waktu, dihantam berbagai musim dan angin yang bergiliran. Cat yang pudar, tak jelas apakah dinding-dinding itu pernah dicat oleh warna hijau, atau warna kayutua. Ada sekitar lima pohon besar di halamannya, satu bringin, dua cemara, dan sisanya ingin kusebut, itu pohon yang kesepian. Oleh jaraknya terlalu jauh, membelah halaman utama, dan halaman belakang.

Ada menara, kulihat. Aku temukan setelah berjalan-jalan kurang dari 10 menit mengelilinginya. Di depannya, ada papan dengan tulisan “Jangan mendekat!”. Aku kira itu iseng kerjaan anak muda. Maka kudekati menara itu. Menara yang berada amat tersembunyi dari sudut depan rumah, memang tidak terlalu tinggi, namun melebihi tinggi tubuhku dua kali lebih tinggi. Aku dekati ia, ia seperti lapar, dan ingin di temani. Lapar oleh nyanyian yang dinamakan kehidupan yang menghawatirkan. Lalu kudekati ia, semakin ia kudekati. Semakin aku melihatnya menjauh.

Kenapa, kataku. Kamu sama sepertiku. Menara dan manusia yang seperti menara. Tapi menara itu diam saja, dan matahari makin padam menuju barat. Sementara aku menuju selatan, ingin masuk ke menara tua itu. Dengan bata-bata merah yang tersusun rapih, menimbulkan tekstur antik. Langit makin heran, kata menara mulai berbicara padaku. Aku diam dulu sejenak, dalam hati aku berkata; akhirnya menara ini mau berteman denganku, dan mengajarkan bahasa ajaibnya. Mengapa heran, apa yang lebih keherenan dibandingkan dengan kita, kataku lagi bertanya. Menara itu seolah makin tinggi, aku diam di tempat menyaksikan pertumbuhannya. Semakin tinggi aku semakin heran, begitu juga langit, katanya padaku. Ah, langit. Oh, tinggi. Heran karena tak ada tangga, atau heran karena nyanyian tidur manusia yang membingungkan oleh keonaran di indrawi dirinya.

Hari ini, hari fitri. Kebanyakan tradisi di negeri ini, identik dengan mengenakan segala yang baru. Baju baru, mobil baru, cat rumah baru, istri baru, suami baru, kepura-puraan baru pula. Ah tidak hanya itu, katanya. Manusia modern telah membuat tuhan baru dalam dirinya. Aku kaget, ia berkata demikian. Agama baru, katanya tadi. Aduh, kasihan jika begitu. Makin luruslah jalan kesesatan, mudah ditemukan. Apa karena kebebasan? Aduh, negarawan, negarawati ini ya. Dunia adalah taman, pagarnya adalah penguasa atau seorang kaisar, atau juga yang dikenal presiden di negara ini, penguasa didukung oleh tentara, tentara dipertahankan dengan uang, uang diperoleh dari subjek pajak, subjek pajak dilindungi oleh pengadikan dan keadilan dijaga oleh penguasa. Satu-satunya faktor penyatu adalah legitimasi islam sang khalifah. Maka penguasa harusnya memimpin, dengan hikmah tertinggi. Martabat manusia yang dijunjung tinggi, kerakyatan yang bersama saling merangkul suatu kehormatan kesejahteraan.

Kant pernah berkata; di mana pun, di alam ini tidak akan di temukannya kebahagiaan. Yang ada kita memenangkan kehormatan untuk berbahagia. Kurang lebih begitu, katanya. Apa kamu sudah banyak menanggung bahagia, atau derita, tanyaku pada menara tua itu. Aku tidak keduanya, aku hanya menara, menara beda dengan manusia. Manusia dapat memilih di antaranya, atau pura-pura menghilangkan pilihan. Aku makin ingin menyentuh menara tua itu, mengusap dindingnya. Tapi ada kabel di sana, kabel kawat beraliran listrik. Aku tersengat, maka kurasa kawat itu beraliran listrik maka ada papan bertulis “mendekatlah.”

  • Share:

You Might Also Like

0 comments