di atas pasir indonesia [1]

By Afrilia Utami - October 28, 2012


sangat mudah waktu berlarian dengan kecepatan, yang tidak dapat dibekukan. langit tidak sebiru dulu, ketika layang-layang suka diterbangkan dengan bangga. hutan juga tidak seluas dan serimbun dulu, saat sekelompok anak suka berlomba memanjat pohon atau bermain petak umpet. apalagi sungai, dengan lapang kini ia berganti menerima sampah dengan lapang. padahal dulu, aku dan dua kawanku; joko dan amir, suka sekali menciptakan perahu. meski hanya dari ikatan bamboo yang longgar oleh karena tiga tenaga laki-laki kecil. ah, iya masa dulu aku sangat suka dipanggil oleh ibu ke surau tempat aku belajar mengaji. si joko meski sangat kurus sekali, sejak kecil ia pandai merayu wanita. kalo amir, dia paling hebat mengaji, murid kesayangan pak kyai.

akhirnya suatu garis merubah alam ini, merubah juga hidupku yang sudah beranjak meninggalkan ibu di rumah. aku harus berpisah dari dua sahabatku. aku berangkat melanjutkan sekolahku, karena beasiswa dan pak lurah yang membekali kantongku dengan uang tiga ratus ribu. awalnya berat, tapi aku memikirkan ibuku. karena tak mungkin aku membiarkan ibuku kekeringan, apalagi ketika musim panceklik di desa. kami tidak bisa makan, karena tidak ada yang dapat kami tukar dari ladang untuk membeli nasi. sebab itu, di usiaku ke 14 tahun aku sudah sering berpergian. untuk bekerja dengan siapa yang menghargai kemampuanku sambil menimba ilmu di pinggir kota.

setahun-tiga-lima tahun berlalu. akhirnya aku dapat menamatkan sekolahku, dan dapat mengajak ibu ke kota bersamaku. karena sejak kecil aku sudah belajar berjualan, cukuplah kini aku sudah dapat membawa ibuku, dan uang tiga ratus ribu rupiah dari pak lurah.

"Ikutlah dengan ujang ke kota, bu!" bujukku pada ibu. tapi ibu diam saja tidak mengiyakan pula menolak. "ujang ingin dekat ibu, ibu segalanya bagi ujang. apa yang harus ujang buat agar ibu bisa bahagia?"

ibu bangun dari kursi kayu yang sudah berdenyit bunyinya. ibu datang menghampiriku, kemudian duduk di sampingku. tangannya yang sudah keriput mengusap-ngusap pundakku.

"ujang, ibu bahagia di sini. alhamdulillah anak ibu teh kini sudah sukses. ibu tos bingahpisan, jang. ujang kudu getol diajar, sholat, ngaji, tong hilap." ibu membalasnya dengan nada yang pelan sekali.

"bu, ujang anak ibu. ujang hoyong pisan tiasa sareng ibu. siapa lagi, mun hanya ibu anuujang miliki di kehidupan ujang. ujang kerja keras, tara bosen diajar, kan jang ibu oge. ujang hoyong ningal ibu bahagia. ibu ikut ujang ya? di sini ibu sareng saha? ujang tiasa jaga ibu di ditu. sebentar lagi ujang tamat kuliah bu. terus ujang cari kerja, dan ngebahagiain ibu terus." aku berkata itu pada ibu, terus aku berusaha membujuk ibu untuk ikut. tapi nol persen hasilnya, ibu masih menolak.

ibu adalah sosok yang menjadikan visi untuk kehidupanku yang penuh nestapa ini. aku dibesarkan hanya oleh ibu. sedikitpun aku tidak pernah melihat bapak datang menengok kami. kata ibu, bapak kerja diperantauan tapi aneh tak pulang-pulang. sedangkan kata tetangga, ibu sering disebut wanita yang mulia sekali hatinya. ibu mengijinkan bapak untuk menikahi wanita lain, ketika aku baru lahir 3 bulan ke dunia ini. tapi mereka tidak bercerai, bapakku berpoligami. dan tidak pernah menemui kami lagi sejak itu, kata bibi aan. 

aku sudah banyak sekali menyantap asam manis pedih didih hidup ini. tapi doa ibu memang mujarab sekali, aku jadi makin mengerti kehidupan orang-orang sebenarnya. selalu menyerukan suara mengenai solusi, gagasan, ide, pendapat, serta rancangan hebat mengenai perencanaan jangka panjang. betapa hebat aku menyimak mimpi-mimpi luar biasa bangkit nyata. begitu juga mimpiku, mungkin mimpi si amir pula, dan mimpi si joko tentang kota abstraknya.

ironinya, kekayaan talak. negeri ini seharusnya sudah sejahtera dari dulu, dari jaman penjajahan, dari jaman setelah proklamasi kemerdekaan, dari bergantinya orde ke orde. tapi nihil. masih saja begini, bahkan parahnya tanah dikeruk terus, logam, tambang, dan kekayaan laut diborong ke luar negeri. dan hasil-hasil kekayaan banyak gendut dibeberapa kantong saja. 

sore di hari rabu aku berniat menjual kemejaku, dalam harapanku kemeja yang dulu kubeli seharga 60 ribu bisa laku 50 ribu saja. lumayan untuk uang makanku tiga hari ke depan. jadi aku tidak jadi mengambil simpananku di bank yang sengaja kukumpulkan untuk dapat pergi bersama ibu ke tanah suci. memang, soal diri sendiri pelit benar aku ini. uang ada, tapi dibiarkan ia hidup ditempatnya yang lebih aman. berharap tiap keringatku pun ada hasilnya. bedahal, ketika hati sudah berkata. apalagi berbicara mengenai keadaan sosial yang sudah mengkhawatirkan ini. meski uangku tak seberapa, setidaknya dalam sehari aku bisa memberi. berapapun, itu modal bahagia dan syukurku hari ini.

"bapak lagi sibuk?" ujarku berbasa-basi dulu kepada penjual es kelapa muda di taman.
"lho kok nanya itu, mau beli es kelapa muda?" timbal pedagang.
"oh, iya pak sepertinya enak di siang ini minum es kelapa muda ya? tapi saya perlu sesuatu untuk menukarnya dengan es kelapa itu." kataku agak memainkan raut wajah.
"apa, a?" tanya pedagang.
"keperluan bapak dan saya sama untuk memperoleh sesuatu, karena sistem dunia kini mengenal mata uang. maka kita sedang perlu uang dan doa dari ibu ya pak, hehe. pak saya jual kemeja, bapak mau beli? kemejanya masih bagus." aku mengendorkan tawaku.
"oh, hehehe. haduh, dari tadi kek. mahasiswa sekarang ini terlalu banyak ke sana ke marinya ya. tapi uang saya juga pas-pasan. bukan ga mau bantu lho." jawab pedagang.
"bapak lihat dulu, ini kemeja saya pak. warnanya memang putih tulang. dulu saya beli 60 ribu di tanah abang. saya butuh makan, jadi saya ingin jual kemeja kesayangan saya ini." tawarku pada pedagang yang sedang cerah itu.
"aduh, masa ke tukang es kelapa jual kemeja. untuk apa? tukang es kelapa jarang ada yang ngondang."
"tapi kan pak, tukang es kelapa juga butuh gaya dong, hehe." rayuku.
"gimana kalo saya beli kemeja itu dengan 25 ribu saja? kayaknya masih bagus" balas pedagang.
"Wah, 30 ribu saja ya Pak. setidaknya cukup untuk makan tiga hari dengan setengah porsi mie kocok atau capcai di warung sana."
"Oh ya sudah. ini uangnya, bapak ambil ya. benar katamu, penjual es juga bisa bergaya, hehe." pedagang itu tertawa.
"saya jarang salah pak mengenai merekomendasikan sesuatu, hehe. makasih ya pak. harga es kelapanya berapa pak?"
"empat ribu rupiah."
"saya beli satu bungkus ya. jadi bapak cukup membeli kemeja ini dengan 26ribu."
"oh tidak usah, gratis saja."

alhamdulillah, sore ini saya bisa makan dengan setengah porsi capcai ditambah es kelapa muda dengan tujuh ribu rupiah saja. sisanya saya bisa masukan celengan. 


(bersambung dulu ya... )

  • Share:

You Might Also Like

0 comments