jalan sempit

By Afrilia Utami - October 28, 2012


Dua hari lalu, aku berada di sana. Dua jalan kelok yang lebarnya kukira sekitar 4 meter. Jika tidak salah aku mengukurnya, tapi tidak apa juga jika aku salah atau aku hanya kurang paham saja dengan lebarnya. Dua mobil masuk jika terpaksa, memang waktu yang dibutuhkan pun tidak sedikit. Paling klakson banyak berbunyi bergantian jika mulai banyak berhentinya. Jalan ini kecil, tapi bagai jalan utama. Sebagai alternatif agar tidak macet, tapi sama saja jika banyak juga yang ingin melalui jalan sini. Jalan sama akan macet.

Jika hujan, jalan ini banjir. Sampah di sana di mari, juga banyak sendal jepit mengapung ikut juga pohon dan ranting yang terpaksa tumbang dari tempatnya. Jika hujan seperti ini, terpaksa aku turun dari mobil. Membiarkan mobil itu istirahat dipinggir, mesinnya mati karena kewalahan sudah berkerja keras. Sama seperti tubuhku, yang sudah jadi mesin tua yang perlu dipereteli kembali, agar menjadi mesin baru setidaknya dalam bentuk baru. Bajuku basah, dan juga celanaku. Apalagi buku-buku, karena tasku tidak kedap air. Aku khawatir aku menjadi pelupa, untuk menentukan tas mana yang akan aku pakai selanjutnya.



Aku pernah mengutarakan pada Bapak tua itu, aku ingin sedikit rehat di warung kecilnya. Sambil menikmati hujan, sambil duduk mengenang sendiri.  Alhasil, mobil yang kubiarkan di sana tidak bisa maju, atau mundur, bahkan menggerakan stirpun tak dapat. Kendaraan telah jadi benteng untuk mobil tuaku itu.

"Woi, mundur!"

"Maju dikit donk!"

"Mepeett terus! Kagak lihat jalan sempit gini!"

"Maju terus! Masih bisa itu!"

Begitulah keributan yang kira-kira terjadi. Jalan sempit, dan mereka masih memaksa memilih yang sempit. Air hujan seolah tidak mau mengalah. 25 menit lagi, aku harus berada di rumah. Jika tidak gerbang akan terkunci. Dan aku tidak dapat memberi makan Ara, binatang peliharaanku. Aku suka khawatir pada kucingku yang manis itu. Aku keras, dan kucing itu selalu lembut padaku. Dan begitulah cara kucing itu menghiburku. Aku tinggal di lantai dua, di lantai satu itu khusus untuk orang-orang aneh. Di lantai dua, tingkatan anehnya lebih tinggi. Makanya di lantai itulah jarang ada orang, jarang ada suara. Aku hanya terbiasa sendiri, dengan kucingku yang mandiri. Semandirinya kucingku, ia masih perlu untuk kuberi makan dan susu segar yang berada di dalam kulkas. Kucingku belum bisa buka kulkas sendiri, dan aku juga belum bisa buka senyuman sendiri.

Mengapa kucingku? padahal ini aku sedang berada di warung kopi kecil. Kucingku kasihan telah lama menungguku. Aku tidak tega, maka kuputuskan untuk meninggalkan mobilku di jalanan sempit. Berniat berlari menuju rumah, menuju lantai dua. Tapi tubuhku mesin tua, yang tidak mudah dipaksakan. Makanya aku ikat dulu pinggangku agar tidak terlalu sakit rasanya di situ. Dan aku lanjutkan ucapan terimakasihku pada Bapak tua yang baru tadi menyebut namanya, Pak Rusman. Tiga rumah sudah terlewat, terasa jauh sekali. Angin jadi makin mudah menelakkan dadaku, hingga aku harus jatuh tiba-tiba. Memegang leherku, agar aku bisa bernafas. Tapi mesin tua, perlu berhenti lebih lama. 

Saat terbangun, aku kira sudah berada di lantai dua yang menjadi tujuanku. Itu salah. Kini aku berada di rumah Pak Rusman, dan tubuhku sudah tidak sedang berhenti di jalan. Tapi di atas kasur kecil yang beda dikit hampir sejajar dengan tanah. Mungkin bisa disebut tikar yang lebih istimewa. Di samping ada anaknya cantik sekali, begitu kata istrinya. Dia yang cantik adalah anak mereka. Aku kira, itu kucingku. Aku bayangkan jika ia menjadi manusia, pasti secantiknya. Rumiati, demikian nama gadis itu. Dia tersenyum kecil padaku, ketika aku menceritakan mobilku yang kutinggal sendiri di tepi jalan sempit.

Saat Rumiati bertanya siapa namaku. Aku jadi lupa tiba-tiba, karena ingat terus kucingku di lantai dua sepertinya. Maka kukatakan saja nama sementaraku Ara, karena ingatanku sementara lupa. Rumiati tersenyum lagi memandangku, katanya aneh. Aku memakai jaket hitam, tapi celanaku, celana golf. Aku terkejut ada yang mengganti celanaku. Tapi mungkin saja, tadi sepulang dari kantor aku main golf. Dan lupa mengganti dengan seragam sekolahku ya? Mungkin aku bisa terlihat lebih muda, di hadapan Pak Rusmianto, beserta keluarga kecilnya yang akur dan hangat. Aku jadi berpikir mengapa lama aku tak begini saja? Perlu keluarga yang manis seperti ini. Lantas jalan sempit saja, masih jadi raya untuk pelalu jalanan.

"Mas, hujan sudah hampir reda. Tapi sudah amat malam. Bagaimana jika di sini saja dulu menginap." Tawaran Pak Rusmianto, sambil menggerakan tangannya yang aku kira tidak nyambung dengan apa perkataannya. Oh, kukira ia menunjukan itu sudah malam, makanya tangannya mengangkat ke atas. Dan hujan sudah reda, ia membuka kancing kerahnya agar lebih longgar.

"Oh, Terima kasih Pak. Besok saya harus menjadi mahasiswa dan magang kembali di tempat biasa. Ya, sudah saya pamit pulang ya." Jawabku, sambil mulai mengemas pakaian basah dan tas.

"Kirain Bapak, Mas itu Menteri BUMN lho! Duh, atau saya salah lagi ya. He he." Ujar Pak Rusmianto sambil terkekeh dan mengangkat tangannya kembali.

Aku tertawa kecil.

"Wah, apa saya semuda itu ya Pak? Beliau sudah pernah mengganti hatinya sekali. Tapi saya sudah lebih dari sekali. Itupun masih harus mundar-mandir balik klinik terdekat, Pak! he he." Jelasku. 

Aku pamit dari rumahnya yang menurutku amat mewah, dibanding lantai dua.  Setidaknya ada fakta, kucingku sama seperti anak wanita di rumah itu. Dan jalan sempit ini membuatku dapat menemui mereka. Dan terpaksa, aku kehilangan mobil setelah aku memeriksa jalan itu. Tapi ya sudahlah, hujan sudah reda. Pinggangku masih terikat kencang, dadaku sudah diolesi balsem dan koyo cabe. Aku akan kuat sampai sana, lantai dua.

"Kucingku, sayang...
tunggulah sebentar
aku sedang berjuang
di atas jalan sempit
yang bergoyang dan bergetar." Semoga laptop kucingku tak mati, agar ia bisa membaca e-mail yang sengaja kukirim lewat hpku yang nyaris mati.

  • Share:

You Might Also Like

0 comments