kehentian hati

By Afrilia Utami - October 28, 2012


Banyak jalan yang tengah kita lewati. Panjangnya tak berkesudahan, karena nafas adalah yang melajunya. Namun tidak dengan pertemuan dan perpisahaan, kepergian-kepergian yang cacat. Biarkan sejenak aku menuliskan lagi, hangat matahari di matamu. Bila kemarau telah hijau diladang dadaku, dan gugur bulu mata. Apakah aku dapat melupakan tentang alur kesedihan? yang tak sampai jua letaknya pada pemberhentian.

Aku banyak melihat keheningan itu di matamu. Dan keheningan kita dipertemukan akhirnya, pada masing mata yang mulai luyu dan kuyup. Jangankan, ketika bulan berlayar di langit yang gelap. Apakah hati kita sekelam kabut hitam? Apakah kita menangisi perpisahan ini? Akankah aku tak lagi dapat mengulurkan telunjukku, dan berkata akhirnya aku melihat batanghidungmu. Apakah dapat kita secara terang berkata sama? Aku lama menyimpan rindu, dan lagi akan kubungkam kembali.

Tangan kita makin kaku, dan lensa yang kupegam tak lagi dapat memainkan fokus. Buram semua, juga mengenai kacamata kita. Apakah kita dapat melihat? Sayap dipunggungku juga punggungmu berjatuhan, jantungku rubuh, paru-paruku kedap, dan ronggaku telah penuh dengan kain mori. Kain di mana nama kita tertulis dengan malam batik.  Kau suka membacaku diam-diam, dibalik kesunyian yang kita miliki. Kita berada dalam cerita sunyi, kataku. Dan kita tak mudah membaca seberapa dalam keheningan hati yang ada pada kita.

Lambat laun, kau akan terbiasa. Dengan terik bulan yang berbeda. Gumpita dingin yang menyusup nada-nada violin yang dulu kita mainkan. Nada itu kini perlahan mengecil, setelah itu melupakan nada-nada sebelumnya. Karena nada baru mulai ditemukan, karena nada lalu telah mati begitu saja. Apakah kita akan seperti nada-nada? 

Mudah saja, kau katakan. "Aku meninggalkan cinta untukmu.." 

"Aku menanamkan bibit luka yang dalam." Aku memeramkan mata lama.

"Biarkan saja luka itu cinta yang tertunda. Dan akan tumbuhlah lagi ia, hanya tertunda.."

"Semua cinta berakhir menyakitkan. Apakah aku akan lebih merasakan sakit untuk ini?"

"Tidak. Karena aku mencintai kesehatanmu, kebersamaan denganmu, dan apa yang kita katakan bahwa kebahagiaan adalah milik kita."

"Sengajakah Tuhan mempertemukan kita dengan cinta? Dan memisahkan kita dengan luka?"  Bibirku makin memayat.

"Kita adalah cerita cinta dalam keabadian. Ia maha pencemburu, dan jika pun cinta telah kita miliki. Apakah kita akan bersedia untuk membuangnya? Apakah kau akan bahagia membuang cintaku ke tempat sampah? Atau ke dalam bait-bait perih dan pedih? Apakah kau akan melenyapkannya, dengan membakar segala kenangan kita? Apakah kau akan diam, dan melupakan waktu yang telah berlalu juga dengan cinta yang kita temui dalam pandangan pertama? Apakah kau inginkan itu?"


Kita akhirnya, tak dapat berpelukan. Menunggu waktu yang hampir setengah jalan. Kita akhirnya, membiarkan tubuh kita sama kedinginan. Dan kita akhirnya, memelihara luka yang sama. Apakah pundakku akan kehilangan jarimu? Dan telingaku akan semakin kesepian ditinggalkan sapamu, dan mataku akan makin kering kehilangan air matanya. Apakah juga denganmu? Begitukah kita membiarkan luka selamanya menyakiti bathin kita. Bisa saja, hatiku dan hatimu memberontak. Bahwa yang sudah satu tak lagi dapat pindah ke lain cabang yang berbeda.

Kau menyeka kesekian lagi, air mata yang kubiarkan ia mengalir. 

  • Share:

You Might Also Like

0 comments