surat terbuka

By Afrilia Utami - October 28, 2012


Surat ini aku tulis lagi menuju tanda tanya kesekian. Padahal kau tahu, aku menuliskan ini bersama hawa dingin yang menyusup, menguliti rongga-rongga yang mengaga lama.  Angin tak pernah jera, masuk ke tubuhku. Hingga limbung nafasku. Aku ingin mengatakan, mengenai rindu yang telah lama terpendam dalam surat-surat tangan. Memiris malam ke malam, dengan setumpuk air mata yang menjadi tinta bisu. 

Jangan lagi, kita meniru sebagai bulan dan matahari yang enggan berpamitan secara bersamaan. Matahari yang kini pergi dan hilang ke barat langit. Sementara bulan sendiri, bertapa dengan sayap-sayap jelmaan dewa. Aku lagi menuliskan surat untukmu. Kau baik-baik saja di sana bukan? Memeram lama kenyataan yang mesti kita tempuh secara bergantian. 

Aku ingin jadi satu cahaya yang setia di muka kehidupan. Agar ada juga gelap yang suka mengundang cahaya seperti satu yang ada di aku ini. Senyap ini, kuwartakan dalam kelebat angin persimpangan yang tak pernah menemukan letak halte pemberhentian. Pada sore tadi, aku melihat anak beramai-ramai bermain di pinggir rinai hal ganjil, membelah ingatan-ingatan pecah. Kau telah mengetahui masa laluku tak sesempurna lainnya, banyak retakkan yang kau temukan. Hingga serak nyanyian dalam zikir-zikirku yang entah mengembalikan aku pada kehidupan yang kusyukuri ini. 

Satu siang, setelah kau hapus kata-kata memilih membulatkan kalimat. Katamu, pamit. Dan Bibir kita saling menampilkan senyuman kaku. Kita saling menatap, tapi tak tahu ada di mana mata kita. Tubuhmu jadi makin mengecil dalam pandanganku, ketika langkah kepergianmu menyusul matahari baru. Satu langkah telah memilih mataharinya, dan meninggalkan sinarnya yang tua.

Aku sedang menunggu hujan, lambat laun yang akan menyelesaikan babak-babak yang amat anggun. Kau sedang apa? Mungkinkah, sedang melihat fotoku yang aneh. Antara senyuman dan murung, bahkan seakan melihat dua wajah berbeda dalam satu perempuan. Jangan bersedih, aku tak mampu membubuhkan lagi butiran air mata dan menerjemahkannya langsung untukmu saat ini. Malam ini, aku lebih mengharapkan kau tersenyum di sana, tanpa ada aku dalam alasan. Dua hal yang mungkin kini jadi berbeda, telinga dan mata. Jangan biarkan matahari kita terlambat datang, di masa kemudian.

10 Juni 2012

  • Share:

You Might Also Like

0 comments