Bulan Telah Pecah

By Afrilia Utami - October 28, 2012


Suatu malam yang pecah. Kadang tak berkabar tentang lolongan bulan yang ingin ditemani. Sunyi, katanya. Lalu ia bertanya dengan cepat pada laut yang lebih tenang memantulkan sinar yang sama heningnya.

Lalu laki-laki menyusuri jalan kecil. Oh, Afrilia bukan, tanyanya. Kemudian senyum menyipul dari raut yang sama ingin ikut lebih jauh. Ke atas sana, namun ia berpikir siapa nama itu? Mungkin setelahnya ia tak ingin pergi ke atas melawan hujan. Afrilia, katanya lagi. Ia menghentikan langkah sembari mengarahkan tangan  menyentuh jalan yang menuju ke atas.

Kemudian, ia berjalan dengan perlahan. Kali ini, ia berhenti setelah 7 meter kesekian. Kadang, kurasa tak pernah berbeda dalam langkah. Sama dengan hening yang seenyap memangku soal-soal yang kerap terbelah, katanya. Tapi,  lanjutnya ini serupa biloks-biloks ingin ditempatkan dan dilengkapi.

Dan bulan seakan turun, kini mengambang dekat terlinganya. Entah hukum gravitasi apa, yang dapat menarik bulan ke selasar ruang yang lebih kedap. Enstein masih memikirkan antara apel dan bulan yang kemudian jatuh menggelinding, di hati yang mendengarnya.

Dan, tinggalah rumus deret yang jadi kunang-kunang di dalam pikiran. Ingatan tentang kesenyapan malam. Saat bulan runtuh lebih awal dan rumus deret membina jalurnya. Tinggalah kedip kunang-kunang memagari bintang-bintang dalam hati yang saling menginginkan.

Sepasang mata yang inginkan terlelap..
Ia-kah Afrilia yang kubaca dari dalam sini?

  • Share:

You Might Also Like

0 comments