hadiah dari abang makasar

By Afrilia Utami - October 28, 2012


Ke Liang Semula ( Kisah Selingan )
oleh Husni Hamisi pada 4 Februari 2012 pukul 10:46 
SEMULA
: Karya Afrilla Utami         

kemudian tinggalah kita di sini
menunggu lolongan anjing berlalu
dari minim jalan kepu, dan angin piatu.

seakan-akan aku sedang memutari jalanan
dengan kapur putih, di dalam kelas masa lalu
tapi mimpi dari mimpi tak pernah sama, setelahnya.
dan tak ada pertanyaan, menyediakan satu tempat
; untukku.

"apakah itu sebuah tangisan, Nietzche?"

dalam do'aku yang panjang tak ada perayaan.
hanya bayang-Mu melinangi. itu lebih dingin dari bisikan.
lebih gelap dari hitam yang menyipul-nyipulkan senyap.
seperti Engkau masa lalu. mengajakku belajar berjalan.
kaki-kaki kecil kita yang papa, menelusuri jalan-jalan-
kafilah yang tak mudah berlalu dari punggungku.

namun sakit bertabrakan dalam dada, bermukim sepanjang musim.
menitahkan air mata yang selalu menerbangkan seribu balon dipipimu.
           tidak ada gerimis yang betah dari mata masing-masing.
           kutasbihkan segala, hingga yang tiada kembali
; ke liang semula.

2012

...

afril, aku ada disini. di liang yang kau kata itu. aku mendengar kaki kaki yang pulang ke rumah setelah menumpahkan cinta dan bunga bunga melati di atas sana, mereka pergi af, meninggalkan aku disini, hewan hewan yang pernah kubaca dalam kisah kisah tua itu belum tiba, yang ada hanya dingin di sini af, mungkin air cinta yang tertuang di atas sana tak cukup hangat kala sampai disini, setetes demi setetes jatuh membasahi baju baruku af, baju putihku ini, aku memasang pendengaran, siapa tahu mendengar namaku kau panggil, yang kudengar adalah suara suara apa yang mungkin tak pernah kau bayangkan, mereka mendekat, semakin lama suara gemanya kian lebar, andai aku bisa pipis, aku ingin pipis dulu af, lalu mengambil air wudhu saat menjemput mereka, tapi aku tak bisa pipis lagi af, padahal aku begitu ingin pipis dulu. burungku tak sanggup pipis lagi, dia hanya tenang tenang disana, melihat mataku yang mulai bergetar.


af, suara itu tiba, di liang ini ada sebuah pintu yang mulai terbuka, pelan, aku kira itu mirip pintu lift di kotamu yang suka terbakar, Jakarta kan?, yang pengendara motornya begitu liar, senggol kiri senggol kanan, tapi pintu disini tak terbuka ke samping, ia terbuka ke atas. pelan pelan aku mulai mendengar suara suara alunan mengaji, suara yang di eja pelan pelan di telingaku, suara itu begitu dekat, aku mengangkat tanganku ingin menangkapnya. hap, seperti menangkap seekor nyamuk, bayangkanlah seperti itu af, bila aku bisa menagkap suara suara itu, aku ingin mengolesnya di bibirku, biar senyumku lebih cahaya saat suara suara yang pertama yang kian mendekat itu tiba di sini, di liang ini. af kau mendengarku?, aku berhasil menangkap dua dan tiga ayat, aku segera mengolesnya, aku lebih gegas lagi menepuk nepuk suara itu, menangkapnya lagi dan lagi, aku ingin mengolesnya di mata ini, di telinga ini, di hidung ini, di kening ini, di pipi ini, air mataku meleleh af, aku begitu bersemangat, aku tak pernah sesemangat ini sebelumnya, begitu gegas menagkap suara suara itu. oh af bacakan lagi ayat ayat itu.

suara apa ini, di telingaku yang kiri ada suara suara baru, naik dan tinggi seperti suaara melody lagu lama, datang dan pergi bersama ketuk ketukan nada, di telinga kananku suaranya samar samar, di dalam hatiku suara suara apa yang tak sanggup kau bayangkan kian mendekat, burungku ikut mendengarnya dari sana, memandang lekat kepada sepasang mataku, mereka seperti bercerita dalam bahasa yang tak ingin ku mengerti, sebab apa af, perhatianku sedang kualihkan ke suara suara di telinga kiri, aku seperti mengenal suara suara ini, saat aku kecil dulu, mencuri diam diam radio kakek, saat ia tertidur di dipan kayu, ia telah pergi bersama angin sepoi ke negeri mimpi, jejak yang kudapati hanya suara seperti ombak kejedot batu karang dari tenggorokannya, aku memutar tombol pencari siaran itu, aku mengenal suara suara ini af, kupasang telinga kiriku lebih mendalam, nada nada itu berkata :

Hidup di bui bagaikan buruh
Bangun pagi makan nasi jagung
Tidur di ubin fikiran bingung
Apa daya badan ku terkurung

Terompet pagi kita harus bangun
Makan di antri nasinya jagung
Tidur di ubin fikiran bingung
Apa daya badan ku terkurung

aku melipat telinga kiriku af, mengajaknya ke telinga kanan, saat suara suara itu kian mendekat, kata telinga kiri, ini sebuah lagu saat di bui, nona manis bertahi lalat itu yang melemparkan suara suara itu dari balik kenangan,  suara suara itu mencemohku af, aku tidak di bui, tapi aku di liang ini, aku tak bingung tapi badanku terkurung, tak ada bunyi terompet disini, yang ada hanya suara suara itu yang tak pernah kau bayangkan, ia kian mendekat af, bacakan lebih nikmat ayat ayat itu af, meskipun suaramu seperti makan nasi jagung, nikmat sesampainya disini, tanganku tak mau henti menagkapnya, hap, aku mengolesnya lagi kemataku yang terus meleleh


telinga kiriku, aku tak mampu mengikat lama ia disini, bersama dengan telinga kananku, kami bertiga memandangi sapuan jari jari yang sigap menangkap ayat ayat itu, setiap sekali ketangkap, hatiku berbunga, ia pelan mengendap kesana, menikmati suara suara itu af, yang datang dari telinga kiriku,

Oh kawan, dengar lagu ini
Hidup di bui menyiksa diri
Jangan sampai kawan mengalami
Badan hidup terasa mati

Apalagi penjara jaman perang
Masuk gemuk pulang tinggal tulang
Kerana kerja secara paksa

Tua muda turun ke sawah af, aku tak bisa lama mengajakmu cerita, mereka yang tak pernah kau temui sudah tiba di pintu ini, membawa sebaskom air, ada yang memikul sebuah bungkusan di pundak, di pinggul mereka ada sesuatu yang tak dapat kubahasakan, nanti af, aku tak bisa lama lagi mengajakmu cerita, bacakan aku ayat ayat itu, af, fajar telah merekah, suara alunan azan di menara itu datang memgelusmu, aku tak bisa lama, kau masih ingin mendengar ceritaku, af, dalam mimpimu aku akan datang lagi, dari liang ini, banyak kisah yang akan kubagi kepadamu afrillla.

.2012

  • Share:

You Might Also Like

0 comments