(Lentera Layla)
Qais, aku tahu. Kau tidak sejauh dengan yang tak terkira. Tetapi di mana hadirmu? Selama bertahun-tahun aku menelantarkan senyumanku. Senyuman yang sudah menjadi debu-debu yang bertebaran tersangkut pada awan. Sungguh rerindu ini semakin memaksa, untuk aku pergi. Namun kepergian hanyalah akan membunuh diriku sendiri. Aku akan menjadi buronan, tanpa bukti. Tetapi cinta kita sudah lebih dari sekedar bukti. Hingga haruskah aku lebih lama di tahanan yang hanya tumbuhkan rasa sakit dan penyiksaan batinku? Atau bisa saja aku mengambil pedang-pedang para pengawal lalu kutusukan tepat di uluh hati. Mungkin, aku akan pergi dari sini tanpa tanda, tanpa jejak. Tetapi siapa yang membalut leluka rindu ini yang darahnya telah mengucur hingga kemanapun tercium amisnya, tercium anggur-anggur siap reguknya. Dan berakhir pada hukuman mati.
Hari itu begitu dingin, dan aku sudah letih untuk membekukan kesepian ini. Aku malu untuk bertemu mereka. Aku malu hanya menjadi mahkluk hidup, yang bermalas di atas ranjang termewah. Dengan segala fasilitas lengkap yang membungkus sekujur tubuhku. Kabel-kabel yang berwarna itu seperti pelangi redup dalam ruangan, setakar demi setakar kimia bagai putihnya air yang kureguk paksa lalui pori-pori. Reaksi saraf-saraf melemah, dan berulang kali ada arus listrik yang terpaksa hadir seperti sesuap nasi atau sekerat roti yang memasuki kantung makanan, berulang kali.
Hari itu begitu dingin, setidaknya aku beruntung masih bisa menggerakkan jari-jariku. Akan tetapi, ada sebuah kehadiran yang membuat lekas ingin terbangun. Ada beberapa nama-nama menyelangi jeda waktuku. Aku seperti gila, melihat bayangan yang aku sendiri membentuk bayangan tersebut sedemikian rupanya. “Dok, adakah cara menidurkan rasa rindu?” dengan kening yang mengerut Dokter itu hanya menjawab, jangan memiliki cinta.
BULAN November telah berlalu. Aku berkunjung ke rumah Fikri As-Syalami, untuk bertemu dengan Fahri Al- Zauhar Syalami di taman yang indah itu, di mana aku menuangkan perhatianku pada ketampanannya, memuaskanku pada kekagumanku akan kecerdasannya, mendengar kebisuan sukacita, menanam senyum dibalik sebuah laman yang nyaman, meneduh dalam santunnya kata-kata yang saling bicara.
Pada waktu yang temui hadir bersamanya, selalu saja hadirkan makna baru. Dalam memahami warna-warna yang ia bawa bersama. Yang kutahu warna-warna itu hanyalah hadirkan sebuah senyuman yang mengantarkan tangan tak terlihat menuntun pada sesiapa menanti di sebuah pencari alamat. Di siang hari, ia selalu berdiri di atas matahari, dalam jalannya ia selalu berlari. Di sore hari, ia menjelma menjadi angsa jingga serupa nila pada retak langit. Di malamnya ia bersembunyi dibalik selimut malam yang masih hadirkan beberapa ikat cahaya yang lewati jendela kamarku. Dan, akan di mana lonceng Fajar membangunkan mimpi berjalan?
Seduri rindu di terbangkanTersangkut pada sebuah pohon.Menjalar akar, batang-batang kekar.Daun menuai rindang pada jari rerantingTerus tumbuh, hadirkan baru dan haru,
Aku masih menuju-MuHingga belum tahu, dimana aku.Aku berada, dimana?Sehelai goa-goa merapatkan mataDi hutan?Aku buta, tak berjalan, tak bersuara!Tapi ada rindu. Ada cinta. Ada cita.Di puncak?
Ada gambar airmatamu
Menitip titip rindu biruku..
Aku mengingatmu. Saat tiada lagi kata untuk aku berkata, sesaat setelah bebutir gerimis basahi senjaku. Kita terduduk bersama di sebuah tepi sungai. Kaki-kaki saling mendaki di keciplak beningnya mata darimu. Melawan kuat arus dengan loncatan sang Elang, seraya mengenang semasa bocah yang tinggal menjadi sejarah dan bertutur asam, manis, masamnya waktu. Tak sengaja kita terlalu dalam bersenandung pada bebayang senja hari ini. Langit mengirim rintik-rintik, jatuh pada lekak-lekuk tubuh. sebuah pesan termagis..
: Didedikasikan untuk para Wanita yang telah berjuang hebat melahirkan pejuang-pejuang baru
Hari ini aku datang ibu..
Tak ada suatu yang istimewa yang kubawa. Hanya serangkai bunga-bunga, beragam rupa dan warna. Pula, sebuah kotak terbungkus kertas bermotif batik. Tetapi aku membawa sesayap rindu dan cinta untukmu, ibu. Izinkahlah anakmu kembali, mencium telapak harum syurgamu. Tempat keabadian akan bahagia hanya tercipta. Tidak akan ada gerimis batin, yang ada hanyalah menunggu lilin-lilin kecil yang mengiring cahaya indah dari kilaumu. Ibu, bolehkah aku mendapat ciumanmu dikeningku kembali? Aku tidak malu untuk mendapati kehangatan kasih itu darimu, aku ingin mengulang beberapa slide masa kanak, masa di mana aku mengenal apa itu sebuah cinta yang tumbuh dalam rahim usia.
belum lelahkah, mencoba merangkai sebuah lukisan pada hujan yang masih saja mengenalkan pada guyur basah yang indah ini?
ini sudah sore, sebaiknya berhentilah dulu. jika hujan itu terlalu cantik di sesore ini, aku takut jika lebih akan kau sayangi, tiap rintik jatuhnya pada tanah yang terlanjur basah,kini. lihatlah, ada lagi seorang yang mengirimku sebuah payung dari bebunga seharum kasturi yang baru saja kudapat dari matahari. bimbang kumemilihnya. berhujan bersamamu tanpa memperdulikan nanti saat terbangun dengan kondisi berbeda. ataukah kuambil saja payung itu dan merayumu, agar berhenti menata kata-kata hati pada sebuah kanvas dari hujan-hujan sisa rimis lalu. tapi pada keduanya aku tak berani memilih. mengganggu riangmu saat ini, ataukah mengganggu bahagiamu nanti, pagi.
Aku mengenalmu
Seperti pada simbol yang tertera
Pada hitam papan keyboardku
Di mana aku mengetik sebuah isyarat
Dan kau yang menghadirkan ruang itu
Menjadi perintah yang tertata ruah.
Laku curah embun pada dedaunan
Mengantarkan tibaku pada rindu.
Sebuah rindu yang ragu untuk berlalu
Rindu yang sukar berhenti mengakar
Rindu yang takkan bisa tertakar
Jelas padamu, Ibu..
Suatu pagi pada musim elegi
Aku tiba di sebuah desa
Tampak sunyi dan mati. Ada
Beberapa anak kurus berlari-lari
Dengan celana bolong tanpa baju
Tanpa malu.
/1/
Pada siapa kaku mulutku akan berbicara
Jika suara sudah menawarkan sedikit kata
Untuk aku bercerita. Untuk aku melagukan
Rasa bersalah ini.
/2/
Pada jam malam berapa akan kutertidur
Bilamana keterasingan pada malam tak
Hilang, selalu mengajak berperang.
Rudal-rudal semakin membudal. Amunisi
Berita-berita berwajah gerah, kabar mati
Korupsi dan jatuhnya harga diri negeri.
Ada yang datang
Dengan langkah terpapar lancang
Membekal segelas malam pada ilalang
Dibawa hilang.
Dua matanya lupa dikancingkan kemarau
Suara-suara datang. Paling lantang. Dari sunyi
Paling tak ku kenali.
Telinga menjadi tiga dikasir penjaga
Brankas emas, ingat kau semakin cemas
seperti malam sebelumnya, bukan?
menikmati keramaian perorang, jauh dari lebihnya tawa juga hujan airmata tumbuh dicermin sebuah senyuman yang mungkin hanya salju palsu, lebih dingin kurang dari sekedar bara merah, dan tak sesengat belerang dalam letusan sebuah kawah.
masih tanpa bintang-bintang dijendela sebelah sudut kanan kamar. Tempat biasanya kaumengenalkan ku pada angka-angka untuk sekedar membilang, sebuah perhitungan yang entahlah sampai kapan akan terselesaikan. Pada bulan yang menggantung ditihang cemara itu, aku menitip sebuah cahaya dari beberapa kunang-kunang yang pernah mendatangi diamku. Aku ini terlalu dingin dari sebuah suhu di kutub utara, hingga berapa tebalnya sahara untuk hangatkan bekuan itu malah sempurna membuat monument Monalisa tanpa tawa, kemarau airmata.
Eyang, Kaka di sini. Bersamamu dekat. Ini aku Eyang, cucumu yang dulunya selalu manja berada dalam pangkuanmu, merengek meminta kau membacakan sebuah cerita tentang manusia, tentang apa yang dinamakan sebuah kehidupan, tentang mengapa ada cinta juga perang, tentang mengapa ada kepercayaan, dan Iman. Bukan dari dongeng-dongeng yang dijadi-jadikan ada untuk suatu yang tak pernah mungkin tercipta. Jika pun ada, biarlah dongeng itu kurubah menjadi kaki pada ekor keajaiban. Tuhan.
Eyang sayang, cucumu masih ingat betul. Ketika awal mengenal apa itu sebuah rahim tawa yang sebelumnya seringkali hadirkan tangis yang gerimis akan permintaan. Cucumu masih ingat jelas Eyang, kau yang pertama mengenalkanku pada alif yang berdiri tegak dan gagah itu, pada sebuah perahu bernahkoda dua, kemudian tiga, mencari ikan-ikan di laut tanpa garam, hanya manis ikan-ikan berkejaran.
“Layla, Aku akan di sisimu, apapun yang terjadi.. “
“Qais.. Di nafasmu, aku ada.”
Perkataan tersebut masih membekas dihati keduanya. Lama sudah mereka terpisah. Walau jauh, walau jarak yang tak terkira membatasi, serupa gagahnya tembok cina, lebih puncak dari sebuah menara Eifel. Diberanda hati, mereka selalu bertemu.
Luka peluru dibagian pundak kanan Qais, masih membekas. Para rimba menjaga Qais dengan sangat baik, sebagaimana Qais yang sangat penyayang terhadap para binatang dan kehidupan alam. Lewat angin, Qais percaya bisiknya untuk Layla akan tersampaikan. Bahkan sekawanan burung, dan beberapa merpati terkadang patuh untuk sampaikan sebuah sandi-sandi akan nafasnya yang masih berdiri, untuk Layla. Qais terlalu gila mencintai Layla.
“Tiap aku bernafas, aku merasakan engkau ada Layla.
Sengaja aku menunda kematianku. Agar selalu engkaulah
Yang mengenalkan keberadaanmu akan tubuh cinta, kita
Hidup kita.”
(Qais dan Layla termagu di waktu sore ini. Saling membaca apa yang terkata untuk terbaca dengan sepenuh jiwa, mendengar dengan penuh ketenangan. Qais yang lembut mendidik gemulai tingkahnya, masih dalam dekapan. Terlihat mata Layla mulai mengabarkan cerita baru diladang hatinya. Sementara Qais terus saja menikmati tiap detiknya. Sore ini.)
“Adakah waktu yang mengakhiri?
Menatap dua mata disaku hatimu
Lihatlah, Qais..
Aku menanam belati ini di tempat
Paling sudut yang sukar akan kaudapati
Namun mudah tuk menepi pada apa itu sakit
Setipis kuromankan dengan empedu pahit
Masihkah ingin kau dapati madu di danau racun ini?”
“Aku sudah meneguknya beberapa kali
Perkali hangatnya merebus dingin, kian memilin
Menjadi uap-uap degil malam yang bersiap
membangunkan pagi.
Tidak untuk sore ini, Layla
Madumu hanyalah madu untukku.
Jika racunmu adalah maduku.
Akan kutiba tiap racunmu diliang waktuku.”
“Jangan kau lepaskan, Layla
Aku ingin menggenggammu lebih lama..”
“Hangat genggaman ini nyatanya masih sama, Qais.
dan pada mulanya Aku masih mengenalmu sebagai lelaki yang santun berucap, ramah
Kasihmu membibitkan semangat akan bahagia yang selalu tiapnya
Kau timangkan untukku, bijakmu mengolah ladang kesepian ini.
Qais, akan seperti inikah selalu?
Pada muasal dan berakhir pada apa yang disebut pada pertemuan nisan?”
(Serupa Dialog)
“Telah kutemukan alasan untuk memulai hal baru
Tak sedikitpun maksud hati melukaimu, Qais.
Sungguh leluka ini terus menari dalam nyala api
Bukan kekecewaan kutuai di akhir
Namun sudah berapa kali,
Nyawa telah engkau pertaruhkan.
Kini Aku kehilangan cinta yang dulu kita sucikan
Sentuhan jarimu menggetarkan debaran nadi
Bisikanmu juga bisikku dengan berkas nikotin
Bukan seperti sekarang kau tak kan puas, Qais.
Mati berulang kali disamping tangis
sebelum beranjak dari ringisnya gerimis ini. “