With Mith (diruang itu hanya Aku dan Mith)

By Afrilia Utami - December 25, 2010


Hari itu begitu dingin, dan aku sudah letih untuk membekukan kesepian ini. Aku malu untuk bertemu mereka. Aku malu hanya menjadi mahkluk hidup, yang bermalas di atas ranjang termewah. Dengan segala fasilitas lengkap yang membungkus sekujur tubuhku. Kabel-kabel yang berwarna itu seperti pelangi redup dalam ruangan, setakar demi setakar kimia bagai putihnya air yang kureguk paksa lalui pori-pori. Reaksi saraf-saraf melemah, dan berulang kali ada arus listrik yang terpaksa hadir seperti sesuap nasi atau sekerat roti yang memasuki kantung makanan, berulang kali.

Hari itu begitu dingin, setidaknya aku beruntung masih bisa menggerakkan jari-jariku. Akan tetapi, ada sebuah kehadiran yang membuat lekas ingin terbangun. Ada beberapa nama-nama menyelangi jeda waktuku. Aku seperti gila, melihat bayangan yang aku sendiri membentuk bayangan tersebut sedemikian rupanya. “Dok, adakah cara menidurkan rasa rindu?” dengan kening yang mengerut Dokter itu hanya menjawab, jangan memiliki cinta.


Dalam ruangan ini, justru aku beruntung. Masih ada cinta, dan entahlah aku bahagia. Aku bahagia untuk kesempatan mengisi agenda hadir dalam daftar pasien selamat, hari ini. Beberapa perawat, sudah menjadi sahabat di sini. Mungkin akan ada yang berbeda tanpa bujuk mereka, memaksa untuk menghabisi makanan-makanan yang jelas tak kunikmati. “Nurse, ada berapa banyak jarum lagikah? Jangan sampai habis stock sebelum darah saya ini terkuras habis.” Suster itu mengambil suntikan yang cukup mengerikan karena berisi darah tak berwarna biru. “Hmm.. mungkin melebihi jumlah populasi orang sakit di Rumah Sakit ini. Tetapi ada jarum yang tekun ingin memberikan kesembuhan dan kesibukan pada seorang yang sedang berbaring sekarang.”

Dalam ruangan persegi panjang itu, banyak sekali kujumpai airmata yang membawa bunga-bunga “mengapa tidak tertulis saja ‘turut bela sungkawa atas bla..bla..bla..” terlalu di dramatisir! Padahal, aku yang tahu bagaimana kondisi sendiri. Bukan ia, mereka, atau orang-orang berjas putih itu. Hidup ini memang penuh dengan aturan, di tambah hukum yang menguatkan, juga bersifat memaksa. Ada hukum terbuat untuk memancing pelanggaran, ada hukum ditetapkan untuk menjangkar kembali aksi-aksi demonstrasi yang berujung bukan pada tujuan serta fungsi terciptanya hukum tersebut. Ya, di ruangan ini setidaknya aku bisa tersenyum mini, merenungkan beginilah negera kita yang sehat, hidup ini lucu! (yang heran di ruang itu,aku masih sempat memikirkan hukum dalam kesatuan NKRI)

************
“Kami perlu memeriksa ini lebih lanjut” begitulah yang kudengar di balik pintu, kata para dokter sambil memandangi hasil-hasil pemeriksaan.

Kadang aku membenci apa yang dokter-dokter itu katakan. Seolah paling tahu, seolah paling benar, yang seolah-olah gagal juga melibatkan perkataan-perkataan, yang seolah menasehati. Maaf, mengapa hanya seolah-olah, Pak dokter dan Bu dokter?

Setelah itu Pak Her mendekat, membuatku kesal karena wajah muramnya ia pajang. 
“Sudahlah, Pak Her. Kaka enggak mau mendengar cerita bertele-tele dokter itu tentang kondisi, tentang prediksi, tentang berapa persentase, tentang berapa lama kaka menjadi mati di sini.. yang jelas kaka tahu sendiri, bagaimana kaka sekarang. Pada nyatanya juga kaka sendiri merasakan sakit ini, bukan mereka, juga bukan Pak Her. Jadi, sampaikan pada mereka, enggak usahlah pandai berakrobat. Memperlama jenjang kematian ini. Besok kaka pulang.”

Pak Her terdiam, sekarang ini yang lebih membuatku semakin masam. Wajahnya semakin mendung padahal yang aku harapkan beberapa orang saja hari ini yang mendatangiku, cukup kuharapkan senyuman terindah karena aku jelas merindukan senyuman-senyuman itu, sekarang.

“Pak Her, sayang sama Non.. apa Non sendiri enggak sayang sama Pak Her? Harus berapa kali dan berapa lama lagi, pak Her mendampingi Non seperti ini. Bapak belum mempunyai anak, Non tahu sendiri, bukan? Pak Her mohon kali ini turuti apa kata dokter ya. keras kepalanya di tunda dulu sampai kesembuhan nanti. Non, Pasti sembuh, dan kita kelilingi lagi hari-hari yang belum sempat terdapati, dan kita akan jumpai lagi senyuman mereka.” Saat pak Her berucap dengan lembutnya. Aku tidak bisa melihat kedua matanya. Seolah-olah memaksaku untuk kalah hari ini. Terlebih ia berkata seperti itu. Seolah aku ini seorang anak kecil yang menolak beberapa kantung obat.

****************

Pagi hari, Suster itu membukakan tirai jendela. Setidaknya hari itu pun aku tahu, aku masih bisa merasakan sinar matahari pagi yang melewati jendela. Menyentuh beberapa kursi kecemasanku. Ini pagi, pagi yang cukup damai. Tuhan, dan kurasakan betapa besar kasih yang sempat Engkau anugrahkan di pagi itu.

Tiba-tiba ada yang sudah lama kunanti hadirnya, menjengukku. Mith.
Suatu kali, ia membawa seikat mawar putih yang sangat kusukai juga sebuah kaset. Kemudian ia memutarkannya di sampingku, dimana aku sedang terbaring dan Mith terduduk di kursi rodanya. Aku dan Mith seperti sepasang yang menanti kabar dari malaikat pembawa pinta.Setelah beberapa kali kudengar, aku mengingat sesuatu yang kini asing untukku ingat kembali. Aku ingat saat kecil dulu. Seringkali kumenjumpai sebuah piano tanpa ingin menyentuhnya. Tapi selalu saja dinanti ada seorang di sana memainkannya dengan jari hati yang cantik. Setelah dua bulan selanjutnya, ada seseorang yang memperkenalkan pada do-re-mi-fa-so-la-si-do. Aku menikmati sekali saat itu. Di mana aku terduduk manis di sampingnya, juga telingaku terduduk rapih, dan mata dan jari tanganku berdiri sambil menari-nari. Dan aku bertanya pada seorang yang piawai memainkan emosi perasaanku saat mendengarkan permainan musikalnya “Apakah piano ini mempunyai usia, samahal dengan kita. Ia tumbuh sebagaimana seorang yang memainkan nada-nadanya dengan sebegitu indahnya?” seorang di sampingku hanya menyunggingkan senyumnya, dan mulai mendampingi jari-jariku untuk melakah di tiap anak tangga nadanya.

“Afril, ini aku Mith. Sahabat yang sangat merindukanmu.” dengan samar, aku melihat Mith mendatangiku, bersama anaknya Peter. Namun di ruang ini kami hanya berdua. Aku dan Mith. Suaranya sedikit asing kudengar, mungkin kesalahan pada sistem indera pendengaranku saja.

Aku tersenyum “Mith..” ingin sekali aku berbicara panjang lebar dengannya. Namun semua itu terasa berat.

“Afril, bukan hari ini waktunya untuk tertidur panjang lagi di sini. Sementara hari-hari masih menanti. Mereka semua sangat merindukanmu, sudah hampir dua pekan mereka  berpuasa tawa. Hanyalah senyuman dan do’a-do’a untukmu. Jangan kecewakan mereka!”

“Mith.. aku tahu. Ada banyak suara memanggil-manggilku... aku selalu terpanggil kedalamnya.. lebih dalam.. dalam yang lebih,” menarik nafas. “Aku merasakan, Mith. Aku.. merasakan. Suatu kekuatan.. mendorongku.. untuk lekas berdiri.. tapi setiap..aku menyadari.. dan tersadar.. aku masih di tempat.. yang sama.” perlahan aku mencoba melepaskan alat bantu nafas, yang menghalangi semua yang ingin kukatakan pada Mith.

“Kita tahu, burung itu masih ada di pundak kanan kita. Selalu bertanya-tanya. Seperti inikah aku mengakhiri hidupku? Kapan degup ini berhenti, hingga beku darah tak lagi mengalir hangat. Hingga terpejam raga tak terbangunkan? Tetapi jiwa kita abadi, sesudah kehidupan ini. Kita akan membuka awal keabadian baru. Bukan kesementaraan usia dunia ini. Afril.. aku mempunyai sebuah impian. Aku ingin melihatmu selalu, aku ingin mendampingimu saat lembar episode seorang calon ibu di sandangmu, aku ingin menyaksikan bagaimana senyumanmu kau akarkan pada lainnya... tapi aku takut. Aku takut jika nanti, semua itu akan terputus.. tetapi apa yang harus kutakuti? Aku hanya menunggu waktu yang tepat. Untuk aku beristirahat.”

Mith, kau tahu? Dari pertama pagi itu, mataku sudah dijejakki embun, lalu lihatlah kini aku gerimis. Mendengarkan ucapmu, impian-impianmu, tentang harapan dan harapan. Dan aku memaksa untuk tak dikembarai oleh hujan. Tapi kini aku terlanjur hujan di dekatmu! Beberapa kali aku menahannya, aku tidak bisa, Mith. Hujan ini terlalu badai. Hingga buat terkulai. Dan kini, secara terang kutunjukan hujanku langsung dihadapanmu. Kau menunjukan cara untuk lebih kuat berjuang, dari ucapanmu aku tahu. Mengapa pada akhirnya suatu yang selalu ingin terlihat terkadang terlalu cepat menghilang, kandas melepas, mungkin menyisakan kampas-kampas kopi bahwa aku pernah mempunyai impian yang tak sempat jadi. Tapi bukan itu. Aku hanya meragu, mungkinkah kelak akan ada seorang yang mendampingi, seorang wanita yang selalu buat merugi. Dengan ketulusan dan kesetiaannya. Mungkinkah akan ada yang tumbuh di rahimku. Hingga terlahir kedunia menjadi pejuang-pejuang baru? Lalu bagaimana tentang sebuah senyuman yang hampa tanpa kedua impian itu yang tak sempat jadi. Ada yang ingin aku bisikan di hatimu, Mith. Bahwa aku sempat mengubur semua impian itu, tetapi tidak ada waktu dan penawaran yang menghadirkan sikap pesimisme.

“Mith, ada yang.. ingin.. kusampaikan.. padamu. Tapi.. aku.. tidak..bisa.” kataku, masih memalingkan kedua mata, berharap ia tidak sedang membaca apa yang aku pikirkan saat ini.

“Menangislah, aku ada di sini. Menemanimu. Aku ingin sekali menjadi seorang ayah kembali, yang selalu sediakan dada lapang untuk istri serta anak-anaknya yang sangat aku cintai. Tapi kini aku ditinggal pergi keduanya, kini hanya Peter dan kau, Afril. Tapi aku tidak bisa sediakan sandaran. Karena aku pun bersandar pada kursi beroda ini... so very love you, my daugther ...” kini aku yang melihat kesedihan yang dalam di diri Mith.

Mith, kau seperti kaca. Tempat di mana bayanganku berada.

“Di setiap hadir.. dan.. ucapanmu.. itulah.. yang.. menjadi.. tempat.. untuk.. aku..bersandar.” ada kalimat yang masih sulit kuungkapkan padanya. Tentang sebuah semisal, yang jelas aku tidak sukai untuk katakan semisal atau andaisaja.  Jika saja yang di sampingku sekarang, adalah ayah kandungku sendiri. Mith, semakin erat menggenggam tangan kanan, kurasakan sebuah kehangantan yang merasuk sukma di antara sentuhan eratnya. ‘tak terpikir untuk aku kehilanganmu’

“Afril...” Mith tersenyum. “Apa yang menjadi tujuan kita hidup?”

Saat Mith menanyakan itu, yang terlintas dipikiran adalah banyak mereka termasuk kita dibesarkan untuk fokus pada ketidak pentingan sebuah kehidupan. Manusia terlahir bukan sebagai pembeli yang royal menyuapi nafsu keinginannya, manusia terlahir untuk bersahabat dengan alam, bukan menjadi musuh. Manusia terlahir belajar untuk lebih menciptakan suatu keharmonisan, kebersamaan, kedamaian, kebahagiaan. Tetapi banyak manusia sekarang yang terlahir lebih mengutamakan ketidak pentingan, dari pada keutamaan untuk apa dirinya ada.

Manusia terlahir dengan banyak kesamaan, dan sedikit perbedaan

“Seperti hari ini, hanya ada kita bukan mereka. Jangan terlalu lama. Masih banyak bukan? Pekerjaan dan tanggung jawabmu yang belum sempat terselesaikan.” Ujar Mith lagi, dengan sebuah senyuman yang sudah cukup lama kunanti hadirnya. Walau ada airmata kulihat, lewati pipinya dengan lepas. Namun senyuman itu lebih bebas. ‘maafku, Mith. Kali ini aku tidak sempat bawakan beberapa lembar tissue untuk menjadi laut di sungaimu.’

Mith, hari ini aku merasa lebih baik. Cukup di dekatmu, kadang kita berbicara ke beberapa arah. Dan semua itu menghadirkan makna baru untukku. Tentu, semangat yang kausugguhkan lebih mujarap pengganti zat-zat kimia dan alat-alat mati yang tak sedikit pun ingin kuberkenal dengannya yang siap singgahi organ-organku kembali. Cukup berada di dekatmu, aku kembali ada.

Hidup ini sekian dalam kesementaraan
Lalu, akan abadi pada kebahagiaan.
Jika tidak cukup di mataku
Mungkin di hatimu akan ada jiwa.
Jiwa yang masih subur mengingat
Sebelum
Sepulang kita, pada tanah kubur.

20 Desember 2010
Afrilia Utami

  • Share:

You Might Also Like

0 comments