Sesayap Mawar

By Afrilia Utami - December 25, 2010


BULAN November telah berlalu. Aku berkunjung ke rumah Fikri As-Syalami, untuk bertemu dengan Fahri Al- Zauhar Syalami di taman yang indah itu, di mana aku menuangkan perhatianku pada ketampanannya, memuaskanku pada kekagumanku akan kecerdasannya, mendengar kebisuan sukacita, menanam senyum dibalik sebuah laman yang nyaman, meneduh dalam santunnya kata-kata yang saling bicara.

Pada waktu yang temui hadir bersamanya, selalu saja hadirkan makna baru. Dalam memahami warna-warna yang ia bawa bersama. Yang kutahu warna-warna itu hanyalah hadirkan sebuah senyuman yang mengantarkan tangan tak terlihat menuntun pada sesiapa menanti di sebuah pencari alamat. Di siang hari, ia selalu berdiri di atas matahari, dalam jalannya ia selalu berlari. Di sore hari, ia menjelma menjadi angsa jingga serupa nila pada retak langit. Di malamnya ia bersembunyi dibalik selimut malam yang masih hadirkan beberapa ikat cahaya yang lewati jendela kamarku. Dan, akan di mana lonceng Fajar membangunkan mimpi berjalan?


****
Sore hari, kita terduduk di sebuah bangku dibawah pepohonan. Burung-burung ababil saling serta hadirkan cerita-cerita pelipur semushaf lara. Kita malah terdiam, habisi separuh jam tanpa saling ucap kata. Memendam. Biarlah, mulanya hati kita yang saling berbicara. Tiba-tiba, sesayap mawar kaupertik dan kautanam di antara lembar jari-jemariku. Lalu terbuatlah seruang sore dengan sesayap mawar yang tak pernah aku tahu di mana kaudapatkan setangkai malam mawar pada sore ini.

Dengan mata yang penuh cahaya, kau berikan arti apa itu cinta yang kaurasa saat ini pada seorang wanita. Terduduk dekat denganmu. Ini bukan tentang keabadian, Fahri. Di mana ada katamu menyertakan sebuah janji sehidup, semati. Mungkin yang kutemukan, kita akan terus menuang cinta di antara sayap-sayap jiwa. Bukakah seorang pengembara yang lapar, mendaki gurun Gobi agar sampai Sahara memerlukan Oase? sebuah tempat peristirahatan. Tempat di mana akan ada mata air sejuk bebas berenang di tenggorokannya. Bebuah ranum didapati lezat terbubuh di perut nyaringnya. Lalu lepas ia bisa hentakkan lagi dua matanya pada paruh pasir dan badai yang menghapus jejak-jejaknya.

Cukup separuh jam kita untuk berdiam. Seraya kau berucap. “Wafa, jika pun, pada matahari aku tidak berjanji. Tetapi pada langitnya aku ingin sekali menanam sebuah cerita-cerita yang dilahirkan bumi. Cerita kita, yang tak sempat kutulis dengan berjubal kata-kata. Lupa kupatenkan diselembar kertas berwarna merah jambu dengan pena berwarna hitam. Terkhusus merah tinta yang kutuah di antara hitam hanya untuk menulis namamu seorang. Bukan merah itu marah. Tapi merah ini kerinduan yang berdarah”

Apa yang harus kujawab saat itu, aku mendengar sebuah dentuman kuat yang menampar bebara api dengan kelembutan dinginnya. Seperti melintasi sebuah harmoni yang menggetarkan tiang-tiang bumi. Bahkan merasuk pada hati kecil yang masih dikurung heran. “Kemarin aku mengenalmu seperti saudara, di mana kita terduduk disamping waktu bersama. Menidurkan segala macam racauan yang tak sempat terpelihara oleh rembulan yang ada pada kesadaran. Dengan sopan di bawah pengawasan Tuhan. Sekarang aku dapat merasakan kehadiran sesuatu yang lebih asing dan lebih manis dari sekedar tali persaudaraan, yaitu pencampuran kedua rasa yang berbeda. Pengikatan cinta dan kekuatan yang memenuhi hatiku dengan derita dan bahagia. Yang aku tahu, adalah bagaimana sebuah muram saling patah dengan sesayap mawar yang kudapati, menghujam waktu tadi. Aku terlalu menggambar biru pada laut yang dalam. Menggambar bagamaina senyuman itu hidup satu per satu tanpa terikat perubahan musim yang silih berganti. Dan ini adalah musim semi yang paling kita nikmati”


Dan kulihat senyummu terpulas lebar, wajahmupun kian menyala-nyala. Mendengar musim semi sedang menuai sebuah arti seraya dengan sayap-sayap jiwa yang taklah padam, dan memadam.

 Desember 2010
Afrilia Utami

*Nama tokoh, hanyalah karangan semata. jika ada kesamaan. bukan secara unsur disengaja.

  • Share:

You Might Also Like

0 comments