Tuhan, panggil bathinku lagi. Aku ingin sehat, merasakan kembali menjadi manusia yang bebas dengan tubuhnya. Aku tak suka seperti ini, aku tak ingin menjadi beban. Apa aku terlalu nakal? Padahal tiap hari aku tabungkan coretan-coretan hidupku kepadamu seusai sholat, ini janjiku untuk melunasi hutangku padamu. Jika usiaku masih panjang, tolong merdekakanlah tubuhku dalam menikmati kesempatan ini. Jika pun tidak, aku berharap hidupku jadi tak sia-sia. Apa yang kulakukan dari jerih payah usahaku tak mungkin sia-sia. Aku berusaha. Bahkan dalam kesakitan, aku berusaha dengan iman engkau menyayangiku dengan cara seperti ini. Kerap kukatakan pelan pada tanganku. Tanganku, aku ingin berterimakasih padamu, karena sudah menemani hidupku, mempermudah pekerjaanku, dan meluluskanku menjadi wanita yang kerasan dalam pengetikan. Tanganku tak suka menulis, katanya. Sejak lahir, tangan kananku pun bermasalah. Ada bagian tulang yang tumbuh tidak biasa. Jika lama menulis, tulang itu terangkat dipergelangan tangan, makanya aku amat sering merasakan pegal sekaligus sakit ketika menulis. Kata dokter, itu harus dioprasi kecil. Tapi aku masih dapat menulis, kataku. Meski sakit. Posisinya pun berada tipis dengan pembuluh darah. Karena itu, aku cenderung memanfaatkan gadget yang kumiliki. Aku bukan penulis yang baik, kataku. Aku pengetik terbaik dan tercepat, hiburku kepada tanganku.
aku rasa cukup
hujan tak mampu berangkat dari atas.
dan tinggalah yang ada
gentayangan waktu
yang menakar jarum-jarum tegak ke angkasa
memperbarui sampul sebuah hampa ditabung kejatuhan.
angin tak elakan, angin yang kesepian
menyapukan sentuhan yang membius.
apalah lagi, dua kata yang penuh bahagia
leher kecil yang sempit menahan nafas
dan ia terus memanjang.
aku memanggilmu bahasa
kerap kupanggil kelingkingmu yang luka
tapi kesakitan tidak ada tuntasnya.
apa yang benar kita butuhkan?
apa yang benar-benar kita butuhkan?
yang terbiasa sendiri dengan senyapnya
; kita beradu tanya dan tentang tanya.
30 september 2012
Mata
sore berwarna biru tua
ada yang bilang
bahwa mata, sangatlah berbahaya
ketika melihat.
hampir disetiap letak awan
aku teringat sore itu ; mata yang menjauh
tetapi mata itu, adalah matamu
yang sempat menghalangi mataku
maka lihatlah
sejadah masih tergelar,
airmataku tak seberat 1kg
sujudku menunduk dengan berat
mataku ringan-ringan.
tetapi, masih belum juga menemukan
--tepinya.
jika kau takar,
apakah airmataku lebih dari volume gelas itu?
aku belum pernah menimbangnya.
2011
Jari
jari-jari kerap merangkulkan beban
disela ruas, dikecil-kecil celah
melipatkan garis. tentang kemarin
kita lalui hidup ini.
jari telunjukku
selalu menduga hal dengan tegas
menanyakan itu bin-tang yang kutunjuk
tapi itu lampu, nyatanya. hanya lampu
di dalam kamar. tapi jariku mudah menunjuk
itu hidungmu, aku melihatnya dengan jariku.
jari kelingkingku
berlari kecil di antara ke empat lainnya.
dia itu pendek. pendek itu dia.
tapi dia itu lincah, jika ada guntur berlarian
ingin menangkapnya. dia gemar menyusup
ke dalam telingamu.
hanya dua jari, sisanya ada tiga kuprkan.
mereka sedang di depan cermin, terpukau
menyaksikan ikan-ikan berloncatan
di air yang asin.
2011
18 November
/1/
Aku ingin menuliskan ini di hatimu
dari sepasang anak kucing yang baru
kutemui, di sore tadi.
tapi mulutnya ke depan haus, ingin minum -
air susu, dari induknya yang mati dua pekan, lalu.
setelah aku menemukanmu, di jalanan basah
Kucing itu berangkat menuju lahunanku.
Kita kemudian saling menyapa guntur
Di tepi jalan. Aku menitipkan surat kecil
Di sakumu, dengan tangan kaku. Tertulis
“Aku ingin menemuimu kembali”
kemudian sepasang itu, memanjat ke lampu.
aku melihat senyuman yang giginya hilang
karena kaki-kaki kita melangkah ingin pulang
tapi ke mana? Ke anak kucing yang malang?
; menemuimu adalah kepulanganku.
Kemudian sepasang itu, memanjat ke lampu.
2011
/2/
Gambar itu seakan tertawa
dalam tangisan kering.
2011
/3/
bolehku bertanya, bu?
tapi ibu diam. tak memaling
menganggapku ada.
bolehku bertanya, bu?
ibu malah pergi
membawa fotoku
ke pelelangan ikan.
seharga 25 sen kembali 1 sen.
bu, bolehku bertanya?
lewat waktu, ibu tak lagi
pernah melihat. ibu buta.
dan buta itu aku juga.
dunia ini gelap ya, bu?
sejak buta, ibu lupa
cara berbicara.
2011
/4/
aku sedang ingin mengatakan rindu
tapi dia melarangku. dia kupu-kupu
yang terbang semaunya, aku bebas-
menangkap. namun dia tak mau bebas
dalam tangkapanku.
hap..hap..hap...
dia mengajakku melompat, dari ranting
yang telah bugil. aku jadi daun
dimakan ulat-ulat, aku jadi kering dan-
berbolong-bolong. jatuh mendekap tanah
berwarna merah.
aku sudah jatuh..
di merah yang berasal dari tubuhku.
2011
/4/
katakanlah...
jujur.
mengapa aku
tak pernah miliki
senyummu.
2011
selalu ada alasan untuk menjumpaimu. begitupun ketika kita tengah gencar hadapi macam kegalauan waktu. seakan badan kita tengah keriput, karena di dekatmu aku merasa masa mudaku telah cepat terlewati denganmu.
aku pura-pura menahan tawa, dan berusaha anggun mengucapkan sebuah kata yang mungkin akan merayap di hatimu kemudian. tapi daun yang bergesekan, terdengar jua suaranya. di sebuah padang hijau, kita jadi umpama kupu-kupu yang ingin terbang saling bersama, saling sendiri lagi.
tapi angin sebenarnya tak selalu membuat keonaran dalam wacana badai kali ini. sebenarnya angin tahu, bahasa ajaib yang membuat cemburu-cemburu rela bertanggung adu. ketika sepasang gambar mencerminkan wajah kita sedang melerai keasingan. senyuman lugu, hanya dengan begitu aku menemukan cara untuk menunjukan ada indah di hidupku juga.
akulah yang menemukan bulan april begitu semai, dan beberapa keping mimpi menjuntaikan kilau dari lubuk. dan kemudian april pun berganti dan ia digantikan oleh mei. suatu saat april mati, dan ia akan hidup kembali. oleh keabadian memang di dada yang berjiwa tegar.
kemudian, aku mulai menceritaka kepadamu, tentang sebaris kisah; semakin dia memburu cinta itu semakin jauh pula larinya dan satusatu hanyut dari jangkauannya. Karena itu dalam rasa putus asa dia sendiri berdendang dimabuk kerinduan dalam keheningan total.
mungkin benar yang ia sampaikan padaku. tentangmu yang manusia, tentangku juga yang sama manusia. hidup manusia tidak dan tidak pernah menjadi suatu lukisan selesai hasil satu sapuan kuas yang pasti dari ujung kiri ke kanan dan dari atas ke bawah. dan ini berkat karena kalau sekiranya hidup adalah lukisan yang sudah sejak awalnya maka hidup yang sejak semula adalah hempasan yang tak pernah diingini menjadi laknat dan banyak yang sudah menghabiskan hidupnya sendiri. tetapi hidup lebih menjadi upaya menyapa kuas secara tidak pasti di sana sini, kadang-kadang sebercak cat jatuh di luar kemarau, dan malah lebih sering sapuan yang direncakan dibuat dengan pasti tidak menghasilkan kesan yang dimaksudkan.
Diary seorang istri untuk suaminya
Surat kecil ditulis tanggal 27 juli
: someone who I called my husbandapa kabarmu di rentang tempatmu, suamiku? langit betapa paham, kejaran rindu kita. serta cuaca di sini, sempurna menempahkan segala macam laranya. bolehkah aku merindukanmu, dan pura-pura tak merasakan betapa kita berada di benua yang berbeda. dalam-dalam cahaya menepis, dikejauhan. apa yang terlihat, suamiku? aku melihatmu. aku hilang denganmu, dan kau aku menjadi bayangan yang bertampilan dipikiran yang sibuk menuliskan izin mengemudikan kesendirian.aku jadi sering kalut, mendengar kematian di komplek ini. padahal kematian, adalah satu-satunya kepastian yang kita tahui di masa depan. apa yang harus kita takuti, suamiku? apakah kau akan takut, bila aku lebih dulu pergi? maaf, aku membuatmu sedih membaca surat ini.udara begitu sempit. aku merasa dadaku sudah tak sesehat dulu. karena terlalu banyak rindu meretas di atas kertas ini dan berpanggulan dengan harapan, di dada yang minim ini. kematian makin jelas terlihat. aku menyaksikan ia, sedang menemui nomer antrian paling kecil. namun jangan khawatir, aku baik-baik saja, suamiku. kita paham, antara nafasmu dan nafasku tak pernah lekang terpisahkan oleh suatu apapun. karena kau dan aku terhubung dengan ikatan, kemahasucian cinta tuhan.suamiku, ajaklah aku ke laut sekali lagi. aku ingin laut seakan mengenal tubuhku yang asin ini. dan keasinan di tubuhmu, akan lekas hilang. oleh karena kita berada di laut. berdua, dengan keikhlasan. satu di antara kita mungkin akan tenggalam. satu di antara kita mungkin selamat. satu di antara kita yang telah satu mungkin dapat melanjutkan kisah ini. karena, ketika cinta telah kau sumbangkan pada seorang wanita yang menuliskan ini. maka kau akan hidup pada keabadian, yang tidak semua orang tahu. betapa cinta, dapat menjadi doa yang tak pernah terselesaikan.selama ini, aku kerap menyembunyikan kegelisahan padamu, suamiku. maafku. tapi itu hanya sedikit. kegelisahan akan purna, setelah kau dekap aku. sambil berusaha sekencang-kencangnya mendorong ayunan berwarna biru muda. "dan aku mencintaimu, istriku..." hatiku tersenyum, sekaligus ia terisak oleh tangis yang terendam lama. kau serupa matahari, yang hanya diam diporosnya. poros yang hanya dengan penuh cinta, dan kelembutan. ku dengar suara cicit anak-anak dalam mimpimu, memanggil-manggil "ayah.. ibu", dalam tidurmu, aku melihat wajahmu menggulum senyuman begitu manis. tengah malam, jika kau sudah tertidur di sofa itu. aku mendekatimu, menghayati penuh, mimpi-mimpimu. kukecup mimpimu dengan pelan, agar kau tak terbangun lalu hendak menangis, jatuh dalam pundakku. tapi kau tak menuntut, mimpimu itu segera hadir bersama kita.sebenarnya,aku ingin menjadi seorang ibu.untuk anak-anakmu-yang lalu memanggilmu "ayah.. abi.."
Diary Seorang Istri untuk Suaminya
usai mengaji, sebagai seorang istri untuk suaminya, salah satunya menyiapkan makan malam kesukaannya. curahkanlah kepada keluarga kita, limpah kasih sayang dan kelembutan.
sehabis itu, ia tersenyum seraya berkata, terimakasih, istriku. masakanmu lebih enak dari hari lalu. dan juga karena kehadiranmu di sampingku. aku juga tersenyum manja padanya, kubalas dengan bisikan, sengaja, ini untukmu. semoga kau tak pernah bosan dengan masakanku.
kami duduk hangat, menunggu isya. memperbincangkan cerita kami, padahal tidak jauh. aku berada di sampingnya, ia juga berada di sampingku. namun sesuatu terasa jauh, hingga membuat masih saja macam rindu bergumul. ini tentang rindu, kukatakan padanya. lusa ia akan pergi, untuk tugas barunya di luar negeri.
***
pagi di bulan juli yang dingin, aku menemani suamiku mencuci baju. ia lebih suka mencuci baju dengan tangan, ketimbang dengan mesin cuci. udara begitu dingin, di desa yang kami tempati ini. bahkan kadang, mudah saja mendengar macam suara binatang ternak dari sini yang melewat belakang rumah, untuk di mandikan di kolam. kami duduk berhadapan dengan manja, berlomba mencuci baju sebanyak-banyaknya.
mith, di dua tempat yang berlainan. aku banyak menemukan wajah baru dengan banyak cerita berpangkul ingin mereka ceritakan. katanya, mereka tak tahu cara memulai cerita yang baik. aku tersenyum kasihan pada hal lain yang kuterka mengenai diriku sendiri. kukatakan padanya, diam pun memiliki masing cerita. hal sederharna hari ini ialah mempelajari diam yang baik dan benar. belajar memulai cerita baru, mith kau di sisiku, begitupun aku. kita saling menatap tapi tak tahu letak tubuh kita di mana.
10 jam lalu kata seseorang yang menjagaku. aku harus tidur. bagaimana memulai tidur yang baik, mith? sementara kita sedang tertidur dan berada pada mimpi yang kita tempati. beberapa sedang sibuk, dengan cara mengatur waktu untuk merasa tetap gembira. beberapa dari lainnya mengatur waktu untuk kembali menjadi manusia yang sehat. tapi waktu tak dapat kita atur dengan sendirinya begitu saja. aku berpura-pura menjadi jam dinding yang malang menggantung di dinding itu. tapi tak bebas memutar masa, ke belakang atau lebih cepat menuju ke depan. baterai yang mencatu daya jam itu seperti tuhan, ya mith? dan kita sebagai jarum yang pendek itu saja. dan angka-angka itu, ialah target kita. target kukatakan lagi mith.
dan tuhan telah mengatur angkanya. pilihan kita tinggalah, apakah kita menjadi jarum yang searah, atau berlawanan arah dan mendiami tempat yang juga berbeda.
da da di dudu.... saya bernyanyi? bukan. saya sedang berada pada da yang menarik da itu dengan i di d dan du dengan du yang tidak mau terpisah pilang-pilang dari tanda yang amat sederharna setelah itu, titik-titik. padahal saya sedang berjalan sekaligus membaca mac. saya bertanya pada dia, dia amat pintar, dan dia itu tidak pelupa seperti saya. dia suka tertawa jika melihat saya pura-pura mengacuhkannya diam-diam, dan itu saya katakan amat istimewa. mac mengerti saya. saya ingin memulai dari tulang-tulang yang lama telah terkubur dan bangkit kembali.
tulang-tulang bersulang di bawah tanah
di atas semuanya jadi lupa.
kini saya yakin dengan sahabat saya yang sedang mengajak saya untuk membaca isyaratnya, sahabat saya lama tak bisa berbicara, juga saya yang amat jarang bersuara. namun, bunyi itu adalah hidup juga. jadi saya tidak percaya dengan tudingan orang-orang bisu. mereka suka berbicara dengan masing-masing caranya. saya mengajak sahabat saya yang sedang menyembunyikan tubuhnya, tulang itu apa da? tanya saya, tulang itu keras, sekeras dosa. dosa itu apa da? kini da diam saja di sana, dan di mulai mendekati saya, dosa itu, katanya mulai berbicara, kebenaran sesaat. tapi saya membicarakan tulang-tulang yang bersulang dengan amat tenang di dimensi yang sulit saya jamah. kini tulang-tulang itu mungkin ingin berkata bukan ideologi-ideologi besar yang akan mengubah dunia. banyak di antaranya telah gagal dan tetap menjadi ancaman, seperti halnya neo-fundamentalisme. saya meresa tulang yang saya pandang sebagai mahkluk jelmaan politik, tapi politik yang terkandung dalam buku-buku adalah merobohkan tembok konvensi-konvensi budaya yang mengarah pada fanatisme. lalu, apa hubungannya tulang dengan politik? saya belum jawab itu, makanya kedua hal tersebut nampak memiliki persamaan sebagai rangka, penegak, penyusun, tempat melekatnya otot atau dapat dikatakan tempat jalur-jalur dibuat untuk kendaraan lain yang membopong penumpang di dalamnya bergerak, tulang itu keras tapi bisa kropos juga, dua hal tersebut seperti terlahir kembar.
tulang-tulang merakit sendiri
rongga pejalnya.
tulang itu bergerak-gerak pada akhirnya. di depan saya dan menggerakan kacamata saya. saya mengganggap diri seseorang politik, bukan partai. semua bisa berubah, dan tulang itu pun berubah-rubah. memanjang, kuat, dan akhirnya patah. duh, kasihan tulang-tulang yang sedang menari di depan saya itu. dari tanah yang mengeluarkannya kembali untuk sebuah kepentingan yang dasar. kepentingan yang mereka katakan adalah memasuki rumah sakit jiwa, du. itu lucu. hal yang mengerikan yang pernah saya analis di dalam rumah sakit jiwa adalah mereka bisa memilih kegilaan dan menjalani hidup tenang tanpa bekerja. namun tulang-tulang lain yang akhirnya berakhir dipenjara ditimbun oleh pengalaman akan kebencian, ketidak berdayaan total, kekejian itu ribuan kali lebih parah dari rumah sakit jiwa sekalipun.
cuma sedikit aku perhatikan orang-orang
cuma sedikit aku melihat jam-jam di depan-
toko dengan dinding warna warni
kehabisan senyuman.
da da di dudu.... saya menikmati fase ini, menunggu terhubung ke jiwa dunia.
Hari ini sebuah bisu terlatih untuk hadir dalam rinci kehidupan dengan bunyi. Aku dan semua akhirnya jadi kail-kail kembali menuju arus. Sebelum aku berangkat, aku ingin bercerita singkat mengenai air mata yang kujumpai di matamu, yang sedang membaca.
Kita telah terlatih bersikap sebagai vampire yang lama tidak tahan dengan matahari yang sudah sepuh. Tapi matahari itu berasal dari timur, menuju rumah bulan. Di sana kulihat keduanya berpangkuan, satu dan lainnya. Tapi tak berbicara. Seperti aku pada dinding kamarku, pada kubah lail dalam sepertiga malam. Tahmid, dan hamdalah, berdetak di atasnya. Tasbih yang merengkuh tubuh yang hampir piar memohon ampunan.
Di sinilah, di hari ini. Ingin kuajak kalian tersenyum bersama senyumku. Kita ayunkan kebisuan kita dalam tangan yang kuat. Dalam wajah-wajah yang tangguh, setelah sekian waktu berpanggut pada nakal teriknya tragedi. Tidakkah lagi awan itu begitu cantik? Hujan yang kita senangi dalam sendiri. Untuk duduk dan tersenyum menyaksikan banyak burung yang berterbangan menuju hati yang nyaris kesiangan pada kesiap musim yang terbenteng di sekitar bathin kita.
Apa yang kita sembunyikan lama? Luka-luka yang basah tak elak beringsut dari kemasannya. Ibu yang kita rindu, yang menunggu anak-anaknya dengan cerah secercah mutiara doa. Bait-bait getar dalam pendar hidup seorang ayah. Kekasih yang entah di mana, mencuri sebagian bulu-bulu yang mulanya dirajut dalam sebuah potret kenangan. Tapi Tuhan selalu ada esa, menunggu makhluknya dengan sekuel cinta yang tak pernah lekang. Tunggulah aku dan marilah ikut bersamaku, kita susuri jalan-jalan yang dilalui kafilah dengan doa dipundaknya yang aus dan nabi serta sahabat rasul yang tak pernah terdengar bisu dari zaman-zaman kehidupan.
20 April 2012
Dua hari lalu, aku berada di sana. Dua jalan kelok yang lebarnya kukira sekitar 4 meter. Jika tidak salah aku mengukurnya, tapi tidak apa juga jika aku salah atau aku hanya kurang paham saja dengan lebarnya. Dua mobil masuk jika terpaksa, memang waktu yang dibutuhkan pun tidak sedikit. Paling klakson banyak berbunyi bergantian jika mulai banyak berhentinya. Jalan ini kecil, tapi bagai jalan utama. Sebagai alternatif agar tidak macet, tapi sama saja jika banyak juga yang ingin melalui jalan sini. Jalan sama akan macet.
Jika hujan, jalan ini banjir. Sampah di sana di mari, juga banyak sendal jepit mengapung ikut juga pohon dan ranting yang terpaksa tumbang dari tempatnya. Jika hujan seperti ini, terpaksa aku turun dari mobil. Membiarkan mobil itu istirahat dipinggir, mesinnya mati karena kewalahan sudah berkerja keras. Sama seperti tubuhku, yang sudah jadi mesin tua yang perlu dipereteli kembali, agar menjadi mesin baru setidaknya dalam bentuk baru. Bajuku basah, dan juga celanaku. Apalagi buku-buku, karena tasku tidak kedap air. Aku khawatir aku menjadi pelupa, untuk menentukan tas mana yang akan aku pakai selanjutnya.
Jalan masih lenggang, saya merasa menjadi manusia pertama. Tapi yang pertama berarti yang paling tak tahu apa-apa. Kemudian suara itu kian dekat saja, saya tidak mengenal jenis suara apa itu. Sudah saya katakan yang belum tahu cara mengenal.
Saya lihat banyak jalan, belum memiliki rambu-rambu dilarang berhenti. Tapi kaki saya sudah sakit, terus dipaksa melaju diaspal yang warnanya merah. Semerah tanah liat ketika saya berasal dari sana. Disurat tertuliskan saya berasal dari liang kuburan. Ajaibnya saya selamat, karena bantuan Tuhan. Berarti saya kedua dari pertama. Ibu saya Tuhan ya? Saya tidak tahu itu,dan tidak mau tahu. Makanya saya menggantikan belum di sana dengan tidak.
Kasihan kaki dan mata saya. Yang semenjak ada, langsung bisa berdiri dan melihat bahkan membaca ketika saya langsung berdiri. Itu aneh ya? Tapi Tuhan yang Maha Aneh itu, makanya Ia kerap menciptakan yang aneh-aneh.
Di sana saya lihat ada gundukan batu-batu besar. Ada baiknya saya berhenti, dan bagian perut saya terus bergerak meriuk-meriuk. Tanda apa itu? Saya merasa lunglai setelah bertahan dua jam waktu bagian wilayah Tuhan, ibu saya.
Tiba-tiba saya melihat langit bergemuruh. Dan awan kian dekat, lalu menembus tubuh saya. Munculah warna yang lebih terang dari warna yang pernah saya lihat di bumi ini. Ia berkata pada saya "iqralah! Ikhtiarlah! Beribadahlah! Cukupi makan dan minummu! Dan carilah warteg terdekat!" kemudian ia tiba-tiba hilang tanpa jejak seperti saya.
Saya terus bingung memikirkan kata terahirnya 'carilah warteg terdekat!" apa itu warteg dan berada di mana mereka semua?!
Saya lihat banyak jalan, belum memiliki rambu-rambu dilarang berhenti. Tapi kaki saya sudah sakit, terus dipaksa melaju diaspal yang warnanya merah. Semerah tanah liat ketika saya berasal dari sana. Disurat tertuliskan saya berasal dari liang kuburan. Ajaibnya saya selamat, karena bantuan Tuhan. Berarti saya kedua dari pertama. Ibu saya Tuhan ya? Saya tidak tahu itu,dan tidak mau tahu. Makanya saya menggantikan belum di sana dengan tidak.
Kasihan kaki dan mata saya. Yang semenjak ada, langsung bisa berdiri dan melihat bahkan membaca ketika saya langsung berdiri. Itu aneh ya? Tapi Tuhan yang Maha Aneh itu, makanya Ia kerap menciptakan yang aneh-aneh.
Di sana saya lihat ada gundukan batu-batu besar. Ada baiknya saya berhenti, dan bagian perut saya terus bergerak meriuk-meriuk. Tanda apa itu? Saya merasa lunglai setelah bertahan dua jam waktu bagian wilayah Tuhan, ibu saya.
Tiba-tiba saya melihat langit bergemuruh. Dan awan kian dekat, lalu menembus tubuh saya. Munculah warna yang lebih terang dari warna yang pernah saya lihat di bumi ini. Ia berkata pada saya "iqralah! Ikhtiarlah! Beribadahlah! Cukupi makan dan minummu! Dan carilah warteg terdekat!" kemudian ia tiba-tiba hilang tanpa jejak seperti saya.
Saya terus bingung memikirkan kata terahirnya 'carilah warteg terdekat!" apa itu warteg dan berada di mana mereka semua?!
Ruang 4095F. Di dalam letak sofa yang dingin, dan Mith yang masih terbaring di atas tempat tidur kecilnya. Kami bergantian terbaring di sini. Dan, kedatangnku kali ini sengaja untuk menganggunya, membangunkannya. Dinding biru muda, seolah ruang dalam bentuk balok, dan ada kami di dalam. Dua manusia yang suka membicarakan tentang sisa kehidupan dan kesempatan.
Tanganku sudah berada di depan pintu bernomer 4095F, sedikit bergetar. Berdoa, agar aku tidak mendapatkan sesuatu yang lebih buruk setelah ini. Wajahku makin kusam, dan keringat dingin lagi. Dan telapak tanganku terlanjur basah.
Perlahan, aku mendorong pintu hitam itu. Tiga detik terakhir ketika itu, sebuah lukisan lilin kecil menjadi wajah yang menempel di dinding menyapaku.
Aku segara menghampiri, syurga kecil itu-Mith yang terbaring. Dia masih menutupkan matanya, dan tangannya yang kini tinggal tulang dan kulit yang menempel longgar. Aku menahan air mataku kali ini, memegang dadaku. Dan duduk dikursi dekat syurga kecil. Aku diam beberapa saat, memperhatikan kondisi Mith. Aku mengajak ia berbicara, dari hati.
Lama aku diam di dekatnya, ia belum juga membuka mata, atau menggerakan jari-jarinya saja. Aku bangkit dari sofa itu, membenarkan selimutnya. Dan aku memasukan tanganku, untuk mencari tangannya. Aku menggenggamnya. Tanganku yang dingin dan basah, juga sama dengan tangannya. Jadi tidak ada rasa dingin kembali, karena tangan kami kini bertemu pasangan yang sama.
Aku menundukan tubuhku, hingga ikut menyender di atas syurga kecil itu. Kupeluk Mith dengan pelan, tanganku yang tidak panjang. Tak dapat melingkari tubuhnya.
Mith, kataku pelan. Aku ingin tidur di dekatmu. Kamu harus bangun setelah aku bangun ya, kita sudah sangat lama kehilangan pasangan sepasang mata. Aku kangen dengan bahasamu. Bahasa yang tidak pernah berhasil mati.
Aku bertahan menutupkan mataku, berharap aku dapat bertemu dimimpimu. Tapi aku hanya menutupkan mataku, dan tidak ada angin yang bergoyang di sini. Hanya dingin AC, dan udara yang kian menambah hampa. Tapi ada Mith di sini. Aku tidak perlu merasa lebih tenggelam dalam pejaman yang tidak sempurna.
Aku masih merasakan detakan jantungnya, aku merasa ia seolah memainkan kembali suara piano yang indah. Satu jam aku berusaha tertidur di sisinya. Nuster datang menemuiku untuk kedua kalinya. Aku mengabaikan kehadirannya, Nurse itu hanya mengganti cairan infus, dan mengelap wajah, lalu tangan kanan dan ke kiri kemudian ke dua kakinya.
Mith..
Aku yang telah lama menahan kekhawatiran ini.
Gerak yang mulai melambat. Tubuhku yang makin renta.
Kegelisahan jiwa yang tidak mudah dipadamkan
Seperti lilin kecil di dinding polos. Menyapaku
Dan kemudian hanya kembali diam
Menjadi lukisan bisu.
Mith...
Tanganku sudah berada di depan pintu bernomer 4095F, sedikit bergetar. Berdoa, agar aku tidak mendapatkan sesuatu yang lebih buruk setelah ini. Wajahku makin kusam, dan keringat dingin lagi. Dan telapak tanganku terlanjur basah.
Perlahan, aku mendorong pintu hitam itu. Tiga detik terakhir ketika itu, sebuah lukisan lilin kecil menjadi wajah yang menempel di dinding menyapaku.
Aku segara menghampiri, syurga kecil itu-Mith yang terbaring. Dia masih menutupkan matanya, dan tangannya yang kini tinggal tulang dan kulit yang menempel longgar. Aku menahan air mataku kali ini, memegang dadaku. Dan duduk dikursi dekat syurga kecil. Aku diam beberapa saat, memperhatikan kondisi Mith. Aku mengajak ia berbicara, dari hati.
Lama aku diam di dekatnya, ia belum juga membuka mata, atau menggerakan jari-jarinya saja. Aku bangkit dari sofa itu, membenarkan selimutnya. Dan aku memasukan tanganku, untuk mencari tangannya. Aku menggenggamnya. Tanganku yang dingin dan basah, juga sama dengan tangannya. Jadi tidak ada rasa dingin kembali, karena tangan kami kini bertemu pasangan yang sama.
Aku menundukan tubuhku, hingga ikut menyender di atas syurga kecil itu. Kupeluk Mith dengan pelan, tanganku yang tidak panjang. Tak dapat melingkari tubuhnya.
Mith, kataku pelan. Aku ingin tidur di dekatmu. Kamu harus bangun setelah aku bangun ya, kita sudah sangat lama kehilangan pasangan sepasang mata. Aku kangen dengan bahasamu. Bahasa yang tidak pernah berhasil mati.
Aku bertahan menutupkan mataku, berharap aku dapat bertemu dimimpimu. Tapi aku hanya menutupkan mataku, dan tidak ada angin yang bergoyang di sini. Hanya dingin AC, dan udara yang kian menambah hampa. Tapi ada Mith di sini. Aku tidak perlu merasa lebih tenggelam dalam pejaman yang tidak sempurna.
Aku masih merasakan detakan jantungnya, aku merasa ia seolah memainkan kembali suara piano yang indah. Satu jam aku berusaha tertidur di sisinya. Nuster datang menemuiku untuk kedua kalinya. Aku mengabaikan kehadirannya, Nurse itu hanya mengganti cairan infus, dan mengelap wajah, lalu tangan kanan dan ke kiri kemudian ke dua kakinya.
Mith..
Aku yang telah lama menahan kekhawatiran ini.
Gerak yang mulai melambat. Tubuhku yang makin renta.
Kegelisahan jiwa yang tidak mudah dipadamkan
Seperti lilin kecil di dinding polos. Menyapaku
Dan kemudian hanya kembali diam
Menjadi lukisan bisu.
Mith...
bulan, mengapa kamu tidak turun saja ke sini. barangkali, saya lebih bersedia serta antusias menemanimu. kamu tahu, saya tidak dapat terbang ke atas sana. tapi saya juga mengerti kamu hanya bisa diam di atas sana, kemudian bertasbih kembali. bulan, saya ingin berkata manusia itu hewan yang sedikit merasakan sedih ya? benarkah itu bulan? sedihkah kamu di sana? karena tidak jadi manusia. iya, saya membaca manusia itu dalam catatan gieb.
saya heran, bulan. mengapa saya sering tidak sehat, bahkan dalam pengendalian emosi saya, kerap naik-turun. tapi saya sembunyikan saja sendiri. itu bukan prestasi, kata saya. tetapi, saya jadi lebih sering teriak. kata saya, saya ingin belajar mengolah suara agar tidak terlalu pelan. tapi itu berbeda dengan alasan sebenarnya. bulan, mengapa kamu tidak di sini, menjaga saya ketika malam. saya selalu merasakan puyeng, dalam posisi apapun. oh, iya saya juga ingat. tekanan darah saya selalu rendah. tapi semangat saya selalu memuncak, ingin menemui kehidupan baru di luar sana. pelajaran baru. prestasi baru.
siang tadi, saya ditegur oleh seorang wanita, ibu guru. afril, panggilnya. iya, saya di sini bu, jawab saya. sedang apa di sini, tanyanya. sedang menjadi seorang, bu, lagi jawab saya. afril kenapa? lagi tanyanya. saya sedang mencari jawaban dari pertanyaan ibu, mungkin ibu lebih tahu ya tentang saya, kata saya. ibu lebih tahu, afril itu murid ibu yang kuat, katanya dengan mesra, dengan mesra -saya ulangi. bulan, dia itu siapa? malaikatkah yang tiba-tiba menjelma jadi gurukah ia? saya sungkan dengan keadaan yang tidak dapat membuat saya nyaman, makanya kadang saya menghindar dari teman-teman saya, dari kegaduhan belaka. lalu saya katakan sendiri pada diri saya, saya sedang sehat dan saya baik-baik saja.
bulan, saya juga merasa senang. melihat kakak kelas itu, mereka yang berprestasi. saya selalu merasa tertantang. akan tetapi ketika saya sedang berperang dengan tantangan, saya cenderung lebih gelisah. saya selalu menargetkan yang terbaik atau yang lebih baik. tapi, kadang saya mengendap-ngendap dalam usaha. bulan, kamu masih dengar saya kan? saya senang menulis ini. menuliskan kehidupan saya yang tinggal separuh jalan. kamu juga sama dengan saya, suka memilih sendiri. tapi tetap menyala-nyala di mata lainnya. mungkin begitu ya, bulan. saya sendiri ingin tampak bercahaya, bahkan sebelum keadaan saya dipermukaan para pasang mata itu.
saya kira, ini tidak pernah cukup ya bulan. kamu ke sini saja, membaca lanjutan ini ya. saya cukup melihat kamu baik-baik dan bahagia di atas sana, di atas malaikat-malaikat yang memantulkan cahaya.
MALANG
Ada jiwa yang mencari di mana tubuhnya
Yang dikenal, dengan cara wajar.
Seperti aku, makhluk kecil yang mencari
Tuhan yang besar. Tapi aku kecil dan Ia
Lebih besar. Engkau dan Tuhan yang sama.
Apakah Kau dengar ini, sayang?
Di alam gaib-Mu yang misteri itu.
Aku di sini, merapalkan betapa-betapa.
Tapi jalan-jalan biasa, dan wajah yang layu
Selalu menemui aku. Dari luar sana, aku di sini.
Apakah Kau ingin menemuiku, sayangku ?
Dari petikan dawai, suara piano yang indah.
Sengaja kumainkan untuk Kau..
Tapi Kau tetap diam,
sesekali angin yang mendengar serasa hampa
; seperti saja yang biasa.
Bolehkah, tersayangku?
Dan sayup-sayup angin yang menarik pelatuk pistol-
Di tanganku, aku mengarahkannya pada jiwa itu.
Bongkahan dalam larutan usia yang sudah tak padat
Seperti mulanya.
Tapi aku ingin Kau dengar aku, sebelum aku jatuh
Dan tak dapat mencari di mana tubuh itu kesepian.
2012
--------------------------------------------------
UJUNG
Akan tiba keberakhiran kehidupanku
Dan aku tak lagi seperti dulu, menuliskan-
Coretan-coretan untukmu. Yang kupagari
Dengan hati, yang menuliskan.
Dan, kita tak lagi seperti yang sama
Aku dan kamu. Dari setelah dan, jadi berbeda.
Tapi cinta tak pernah berbeda untuk aku -
dan untukmu. Berjalanlah dengan lapang
Ke cahaya yang tegak itu.
Kekasihku, aku akan pergi jauh meninggalkanmu
Aku bersedia, berpisah dari kisah denganmu
Janganlah bersedih, sayangku. Aku tetap cinta
Yang abadi sebelum alasan. Tak akan berubah-
Tentang itu. Kecuali tentang kita yang tertulis
Masing-masing, kemudian.
Jangalah bersedih,
Karena kesetiaan telah menguatkan
Antara aku dan kamu.
Sebelum kita dilahirkan,
: adalah perjanjian.
2012
--------------------------------------------------
Suatu malam yang pecah. Kadang tak berkabar tentang lolongan bulan yang ingin ditemani. Sunyi, katanya. Lalu ia bertanya dengan cepat pada laut yang lebih tenang memantulkan sinar yang sama heningnya.
Lalu laki-laki menyusuri jalan kecil. Oh, Afrilia bukan, tanyanya. Kemudian senyum menyipul dari raut yang sama ingin ikut lebih jauh. Ke atas sana, namun ia berpikir siapa nama itu? Mungkin setelahnya ia tak ingin pergi ke atas melawan hujan. Afrilia, katanya lagi. Ia menghentikan langkah sembari mengarahkan tangan menyentuh jalan yang menuju ke atas.
Kemudian, ia berjalan dengan perlahan. Kali ini, ia berhenti setelah 7 meter kesekian. Kadang, kurasa tak pernah berbeda dalam langkah. Sama dengan hening yang seenyap memangku soal-soal yang kerap terbelah, katanya. Tapi, lanjutnya ini serupa biloks-biloks ingin ditempatkan dan dilengkapi.
Dan bulan seakan turun, kini mengambang dekat terlinganya. Entah hukum gravitasi apa, yang dapat menarik bulan ke selasar ruang yang lebih kedap. Enstein masih memikirkan antara apel dan bulan yang kemudian jatuh menggelinding, di hati yang mendengarnya.
Dan, tinggalah rumus deret yang jadi kunang-kunang di dalam pikiran. Ingatan tentang kesenyapan malam. Saat bulan runtuh lebih awal dan rumus deret membina jalurnya. Tinggalah kedip kunang-kunang memagari bintang-bintang dalam hati yang saling menginginkan.
Sepasang mata yang inginkan terlelap..
Ia-kah Afrilia yang kubaca dari dalam sini?
Ke Liang Semula ( Kisah Selingan )
oleh Husni Hamisi pada 4 Februari 2012 pukul 10:46
SEMULA: Karya Afrilla Utamikemudian tinggalah kita di sinimenunggu lolongan anjing berlaludari minim jalan kepu, dan angin piatu.seakan-akan aku sedang memutari jalanandengan kapur putih, di dalam kelas masa lalutapi mimpi dari mimpi tak pernah sama, setelahnya.dan tak ada pertanyaan, menyediakan satu tempat; untukku."apakah itu sebuah tangisan, Nietzche?"dalam do'aku yang panjang tak ada perayaan.hanya bayang-Mu melinangi. itu lebih dingin dari bisikan.lebih gelap dari hitam yang menyipul-nyipulkan senyap.seperti Engkau masa lalu. mengajakku belajar berjalan.kaki-kaki kecil kita yang papa, menelusuri jalan-jalan-kafilah yang tak mudah berlalu dari punggungku.namun sakit bertabrakan dalam dada, bermukim sepanjang musim.menitahkan air mata yang selalu menerbangkan seribu balon dipipimu.tidak ada gerimis yang betah dari mata masing-masing.kutasbihkan segala, hingga yang tiada kembali; ke liang semula.2012
...
afril, aku ada disini. di liang yang kau kata itu. aku mendengar kaki kaki yang pulang ke rumah setelah menumpahkan cinta dan bunga bunga melati di atas sana, mereka pergi af, meninggalkan aku disini, hewan hewan yang pernah kubaca dalam kisah kisah tua itu belum tiba, yang ada hanya dingin di sini af, mungkin air cinta yang tertuang di atas sana tak cukup hangat kala sampai disini, setetes demi setetes jatuh membasahi baju baruku af, baju putihku ini, aku memasang pendengaran, siapa tahu mendengar namaku kau panggil, yang kudengar adalah suara suara apa yang mungkin tak pernah kau bayangkan, mereka mendekat, semakin lama suara gemanya kian lebar, andai aku bisa pipis, aku ingin pipis dulu af, lalu mengambil air wudhu saat menjemput mereka, tapi aku tak bisa pipis lagi af, padahal aku begitu ingin pipis dulu. burungku tak sanggup pipis lagi, dia hanya tenang tenang disana, melihat mataku yang mulai bergetar.
AFRILIA UTAMI
KABAR
kabar pertama wahyu itu terbang jauh di sana
diantarkan air, memenggalkan bunyi nun lain.
langit bertingkat-tingkat, disangga alif tegak
yang terlalu sanggup memekakkan dada-dada.
yang sering memperdebarkan usia peradaban.
kabar kedua ada gerimis ditubuh-tubuh yang senyap.
memiliki kesepian yang tak jauh berbeda. nonsense.
dan satu bulan berada tepat sejengkal di atas kepala.
pantulan di atas cat air, di atas kanvas, di atas kertas
mulai membentuk belahan badan yang semakin jujur
polus, lugu, dan lucu. cenderung mampu mengapung
dikoyakan kenyataan, dan cara kematian yang tak lucu.
kabar selanjutnya, cenderung begitu biasa.
2012
--------------------------------------------------
PULANG
Aku hanya ingin pulang
sebelum jalan kegelapan itu
terbukakan.
Aku hanya ingin pulang
lewat jalan kecil saja
tapi bantulah aku
;untuk menemui Mu.
2012
--------------------------------------------------
INGKAR
ada yang luput kutuliskan dalam buku malam
aku ingin lari dari mimpi, ketika jam mati-
dan sesaat bulan bungkam,
seakan bintang-bintang kembar siam.
lewat percakapan singkat ketukan ranting
yang tergerakak oleh keraguan angin piatu.
cahaya-cahaya pecah sebab gelisah. Namun-
aku diam saja. diam juga sama pekerjaan
di ambang-ujung tulisan. melompat dari teralis
jendela kenyataan, karena penuh dengan genangan
air mata pribumi yang tumbuh digelanggang gawang.
kemudian, memilih bersembunyi dibalik retak cermin.
seharusnya aku tetap menulis, karena ada tuhan
yang tak pernah mau mengenal ingkar
ketika kata menjadi pangkuan do'a
yang hendak ingin berbicara.
2012
--------------------------------------------------
api terus berkobar membakar tubuhku, anatha. tubuhku akan hangus sama seperti kayu yang telah menjadi abu, karena api. anatha, pergilah dan berlari jangan terlalu dekat dengan denganku. api ini akan mengikuti bathin, dan tangisan adalah bahan bakarnya. jangan menangis, untuk aku. jangan mengurung bulan itu di dekatku. langit tampak padam, dan hanya panas api yang membakar tubuhku juga bulan yang hampir separuh terlahap mulut naga.
anatha, pergilah. jangan berbalik, biarkan api dan tubuhku padam dengan sendirinya. melangkahlah terus, ikuti lampu-lampu di depan sana. tetapi jangan mengikuti lampu palsu yang terlalu menyilaukan sepasang matamu, anatha. ikutilah anak-anak mungil yang sedang bermain, menyebrangi jembatan untuk bertemu dengan kehidupan. jangan katakan, malam telah hilang diporandakan api. jangan katakan api telah membuat rapuh dan mati. jangan, anatha. karena api, aku menyuruhmu pergi untuk mengenal tanah, air, dan udara. supaya kau dapat kembali ke asalmu, tempat tiada yang terbakar dan hangus seperti kayu itu.
"tapi, aku tak dapat pergi. dan karena api, mataku telah terbakar dan tak bisa melihat!"
bukan karena api. bukan. hanya saja kau terlalu dekat dengan api. dan melihat bagaimana rasanya matamu terbakar padahal panasnya bukan api, dan yang membakar bukan api, hanya setelah sentuhnya terjebak dalam ilusi-ilusi yang menakutkan. anatha, api itu membawa malaikat dengan sayap yang ketujuhnya telah terbakar, dan ia tak dapat pulang. tersalib di sini, bersamaku, anatha. bulunya telah hangus juga kulitku. dan jantungku yang kini melolonglolong, dan tanganku yang telah patah masih ingin menuliskan sesuatu sehabis api itu, melahapku.
anatha pergilah
ini malam
sudah larut
dan
malam.
api-api
membakar hati
yang
tak hati-hati
ingatlah, anatha
jangan terbakar
seperti kayu
jangan.
25 Desember 2011
31 Juli 2012
Afrilia Utami
PUKAT PUISI
lembar-lembarmu akhirnya berserakan
di kepalaku yang berantai dengan telur.
dari yang segala arah, dari segala penjuru
puisi selalu memaduku, untuk menemuimu.
walau kita sesaat merasai hidup di dalam kata.
dibalik kamar dengan gapura mimpi di depan
segala praduga membuat kita seolah paling muda.
ada yang luput kujelajahi di wajahmu yang lesung.
sunyi yang ambruk tanpa dilindungi konstitusi instuisi.
kecuali kelahiran, kematian, nisan,
tuhan dan sekumpulan puisinya.
ke dalam puisi seseorang menuliskan-
rumus-rumus kemalangan yang hanya dimengerti
oleh sebola mata yang terbuka dengan lebar.
betapa ingin, aku menjadi narasi yang kau tulis
sembari menyaksikan senja diujung paragraf.
2012
DIKTAKTOR
sebenarnya, aku adalah diktaktor yang menggebu-gebu
dengan segala pemikiranmu yang merontokan rangkaian gigi
seorang perdana menteri, senat, presiden, pejabat,pns -
dan seluruh keanggotaan dari jaringan liberalism koruptor.
di diam matamu saja, aku memilih kerajaan bagi sekumpulan
anak-anak kita. tanpa demokrasi, aku ingin jadi seorang komunis
yang suka kau cubiti sembunyi-sembunyi. terperi dan tak berpamrih.
barangkali, begitu selayaknya kita hidup.
2012
Aku di dalam kelas. Dan terkejut akan kedatangan gie duduk di sampingku. Kukira ia tak akan kembali ke bumi. Ternyata ia tersenyum, dan bukan tak ingin kembali. Hok gie, satu di antara banyak laki-laki yang suka menaiki puncak-puncak gunung. Aku tahu kau telah menjadi abu, gie. Bukan terkubur dalam tanah. satu hari setelahnya, di kala itu, adalah ulang tahunmu. Tapi aku tahu kau telah mengetahui kematian di hari itu, atau kah kita sepakat untuk tidak pernah mengetahui kapan kematian kita itu. Apakah kau sengaja mendekati gas beracun itu? Dan, Di syurgakah kau gie? Gie hanya tersenyum padaku, enggan bersuara, sekali lagi. Laki-laki sederharna ini, memahami yang tertulis, yang kelak akan berangsur kembali atau pergi dan ditinggalkan menuju dunia asingnya. Dengan kepalan kaku di depan dadanya.