[fiksi] lelaki itu adalah Suamiku

By Afrilia Utami - October 28, 2012


Diary Seorang Istri untuk Suaminya

usai mengaji, sebagai seorang istri untuk suaminya, salah satunya menyiapkan makan malam kesukaannya. curahkanlah kepada keluarga kita, limpah kasih sayang dan kelembutan.

sehabis itu, ia tersenyum seraya berkata, terimakasih, istriku. masakanmu lebih enak dari hari lalu. dan juga karena kehadiranmu di sampingku. aku juga tersenyum manja padanya, kubalas dengan bisikan, sengaja, ini untukmu. semoga kau tak pernah bosan dengan masakanku.

kami duduk hangat, menunggu isya. memperbincangkan cerita kami, padahal tidak jauh. aku berada di sampingnya, ia juga berada di sampingku. namun sesuatu terasa jauh, hingga membuat masih saja macam rindu bergumul. ini tentang rindu, kukatakan padanya. lusa ia akan pergi, untuk tugas barunya di luar negeri.

***

pagi di bulan juli yang dingin, aku menemani suamiku mencuci baju. ia lebih suka mencuci baju dengan tangan, ketimbang dengan mesin cuci. udara begitu dingin, di desa yang kami tempati ini. bahkan kadang, mudah saja mendengar macam suara binatang ternak dari sini yang melewat belakang rumah, untuk di mandikan di kolam. kami duduk berhadapan dengan manja, berlomba mencuci baju sebanyak-banyaknya.



alhasil piama tidur kami basah, aku mudah bersin-bersin jika kedinginan. makanya baju yang tinggal sepasang itu ditinggalkan olehnya. dan ia lebih memilih mengantarkanku ke dalam ruangan untuk mengganti baju. kataku, tak apa itu tinggal sepasang. tapi ia tak suka melihatku bersin-bersin seperti tadi. aku orangnya kerasan juga, di lain sisi juga paham sebagai istri yang baik mesti menghormati apa kata suaminya.

jalan terasa agak panjang, dari tempat cuci ke kamar pribadi. pelan-pelan saja kami berjalan. pelan-pelan juga, aku menanyakan kepadanya, kamu tidak suka melihatku bersin-bersin ya. ia membalas, bukan, aku tidak dapat bertahan terlalu lama melihatmu sampai kelelahan. tugas suami meringankan beban istri, dan seorang istri menghapus beban suami. kami tersenyum berdua, saling memandang. mengingat masa-masa perkenalan dulu. rasanya, baru kemarin kami duduk saling gugup. dan kadang, begitu hingga detik ini pun.

suamiku menyuruhku istirahat di sofa teras utama. ia melanjutkan sepasang yang akan dicuci itu. daripada lama duduk, lebih baik menyiapkan segelas teh manis hangat untuknya. ia suka dengan teh manis. dari pada kopi pahit. aku bangga padanya, ia tekun menjaga pola sehatnya. setelah tiba, ia duduk di sampingku. kataku padanya, ini teh manis hangat untukmu, semoga kau suka. ia tersenyum lagi, dan mengesampingkan koran yang di bawanya tadi. setelah setengahnya habis, istriku paling bisa membuatkan kemanisan dalam kehidupan suaminya, ungkapnya. barangkali pipiku merah padam dilihatnya.

dalam kehidupan, bahasa juga dengan tubuhnya sendiri bergerak melalui kelembutan penggeraknya. cinta, seperti puisi yang tak pernah dapat diselesaikan. juga dengan mulanya keheningan diri, aku menuliskannya begitu.

pagi ini lebih indah dari hari lalu ya, ucapnya. iya, keindahan setiap harinya bertambah, karena ada dua hati mungil yang menjalankan cinta, tuturku. istriku, kau tak akan bosankan, hingga tua nanti kau akan merawatku kan, tanyanya. samahal ketika aku bertanya, kelak di hari nanti dan kini kau tak akan letihkan menjagaku. kami menghadapkan jalur pandangan. seolah melihat banyak malaikat bermunculan, tiba membawa sayap yang menerbangkan hati kami. berpagut di langit, dan melupakan tanah sementara. mungkin, begitu cinta muda. dan apakah cinta akan tua seiring waktu yang membawanya? aku rasa tidak, cinta akan tetap muda karena kita yang memilihnya untuk tetap demikian.

suamiku berkata, aku sudah halal menggenggam tanganmu. ia menggenggam tanganku, seolah membawa beban kekeliruanku selama ini. tanganku yang mudah basah, kini betah bertemu tangan kekasihnya. seperti tangan-tangan lainnya, yang inginnya berdua. kanan-kiri, kiri-kanan. kudengar mawar putih sedang berdialog, dengan tema dasar inginkan tangan, apa mereka cemburuan ya? he he, aku kira mereka memiliki tangan juga, dengan bentuk berbeda. tangan suamiku hangat, udara yang dingin seolah lenyap. aku berpapasan senyuman dengannya dan bergantian saling menghangatkan.

karena dalam sebuah pernikahan, satu ditambah satu sama dengan satu. maka begitulah Tuhan mengatur kehidupan kami, memadukan apa yang dikenali dengan cinta. aku belajar mencintainya, juga begitupun ia padaku. bahkan dalam kepercayaan yang besar, kasih sayang dan kesetiaan bagai rintik air dari langit di musim penghujan. jika pun kemarau datang, rintik air tak pernah surut oleh karena ia menjaga dengan keluasan samudera. suamiku kini dekat denganku, tak lagi di sampingku, tepat di depan hidungku. ia menyuruhku bangkit, dengan isyarat tubuhnya. aku berdiri, ia pun juga sama berdiri. dan ia merangkul wajahku di wajahnya, tak sadar tangan kami bergerak, mendekatkan tubuh yang sunyi. kami berpelukan, setiap pagi menyusul cerita barunya.

***

dalam perjalanan kami, kami tidak pernah bosan menunggu satu sama lain. suamiku masih dalam perjalanan setelah tanggungjawabnya dalam pekerjaan, ia berniat membelikanku sate madu sore ini.

pekerjaan senja jadi nampak berbeda. kini, tugasku menyiapkan sambutan tuk kepulangan suamiku. diberanda, aku jadi lebih suka menuliskan senja dengan pekerjaan secara bersamaan. kadang, iseng kubuka lagi foto-foto pascapernikahan kami. lucu, kulihat. gambar itu bercerita, seolah setiap harinya, adalah hari muda bagi seorang pengantin baru, juga dengan suaminya kini.

perkenalan kami, memang tak terbilang dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. padahal, aku juga mengetahui ia yang sebagai penulis suka menuliskan ceritanya yang memuat tentangku juga. makanya dalam akad, kuminta buku-bukunya yang menjadi mahar di hari penyatuan ikatan sakral kami. suamiku memang berwibawa dan memiliki kharisma, serta hal-hal yang membuatku merasa terpikat, ini tentang keingintahuan. aku bersyukur, Tuhan melahirkan kekasih sebijak itu untukku.

ternyata udara masih dingin, ini musim dingin. dingin yang jadi karib mengunjungi perkampungan kami. namun semua nampak baik-baik saja, bukan? suamiku sedang bekerja keras. dalam cerita kami, kami memiliki hari ini berdua, dan dengan bahagia.

"tunggu sebentar ya, istriku. kau tahu semenjak mobil bertambah dan jalanan sempit, ujungnya akan macet. mana senyumanmu? aku butuh semangat untuk terus fokus mengendarai kendaraan, jangan lupa doakan suamimu ini agar banyak tukang sate berjualan istimewa." sms diterima. aku tersenyum membacanya, kurasa ia juga begitu. kukirimkan simbol senyuman saja untuknya, aku ingin membuatnya penasaran dengan senyuman itu.

sms terkirim, dan yang terkirim itu mengirimkan balasan dengan tanda tanya, "kok irit, aku ingin membaca senyumanmu dengan detail", begitu isi smsnya. kujawab seadanya saja, "rindu tak tahan dingin.". sepertinya ia akan beranggapan jika istrinya sedang ngedumel di rumah, membanting piring dan gelas plastik, serta merobek-robek baju pengantinnya. hhehe, itu terlalu hiperbola ya? sampai meninggi keangkasa airmata tuh. tapi tak lama, aku juga khawatir jika ia panik, kemudian. makanya kukirimkan lanjutannya, "rindu tak tahan dingin, hati-hati di jalan ya. istrimu selalu menunggumu dengan apik senyuman manjanya. semoga tukang sate bisa berbaik hati, buka jam segini, hehe. jangan tergesa-gesa."

belum genap satu tahun, kami menikmati status sebagai sepasang yang dihalalkan. namun, memang benar adanya, jika rasa malu itu tak segan-segan masih kami pendam. setiap malam, kebiasaan suami sebelum tidur, melanjutkan hapalan hafizhnya. alhamdulillah ia sudah hafal sebanyak 23 juz. sebagai seorang istri, tentu ada kebanggaan tersendiri kepadanya suaminya. semenjak, aku menjadi seorang istri, suamiku banyak membimbingku dalam keselamatan, dengan kata lain, agama. agama membukakan lebih banyak kebahagiaan, dan keindahan, bagi mereka yang percaya akannya.

terdengar suara parkiran mobil di depan rumah. alhamdulillah, ia sudah pulang. lekas aku membukakan pintu, dan menjamu suamiku. tangannya basah, pasti ia telah kerja keras mencari-cari sate madu itu. tapi ia mencium keningku kemudian berbisik, ini untukmu. alhamdulillah berkat doamu aku selamat menuju kedamaianku, menemuimu, istriku. aku tersenyum dan membalas ucapannya, maafkan aku, pasti lelah melahirkan banyak kebahagiaan untuk istrinya. segera aku membawa tasnya, kemudian menyiapkan meja makan. setelah itu, air hangat untuknya mandi. setelah lengkap wangi dan rapih, ia berada di depanku. semangat menemaniku makan.

sebelum makan kami berdoa bersama, setelah berdoa pertanda suara kami dipadamkan. namun raut wajah kami mengisyaratkan bahasa gembiranya. sekali lagi, ia tersenyum manis padaku. rasa sate ini makin menjadi-jadi manisnya. tapi, makanan yang berpindah dari tempatnya menuju perut akhirnya hilang di atas piring. ketika akan membereskan piring-piring dan peralatan yang tadi kami pakai, suamiku menahanku melaju, tangannya menyeka wajahku, ada noda di wajahmu, biar aku yang membersihkannya dengan saputanganku, kata suamiku secara tiba-tiba. tapi tak berhenti sampai di situ, tangannya jatuh ke tanganku, dan melanjutkan ucapannya, terima kasih telah menjadi istriku yang manis, aku tak bisa lama jauh-jauh darimu, istriku. lagi ucapan manisnya, hampir setiap kalimat dan tingkah lakunya, selalu melukiskan warna cinta, dan kesejukkan tak terduga.

***
suami yang pintar memahami hal-hal yang tidak disukai istrinya. setelah mengaji, makan, kemudian cuci piring bersama. malam ini, suamiku yang memasak. ia paham istrinya tak suka bawang.

“Dan orang-orang yang beriman paling dahulu, Mereka itulah yang didekatkan kepada Allah. Berada dalam jannah kenikmatan. Segolongan besar dari orang-orang yang terdahulu, dan segolongan kecil dari orang-orang yang kemudian Mereka berada di atas dipan yang bertahta emas dan permata, seraya bertelekan di atasnya berhadap-hadapan. Mereka dikelilingi oleh anak-anak muda yang tetap muda, dengan membawa gelas, cerek dan minuman yang diambil dari air yang mengalir, mereka tidak pening karenanya dan tidak pula mabuk, dan buah-buahan dari apa yang mereka pilih, dan daging burung dari apa yang mereka inginkan. Dan ada bidadari-bidadari bermata jeli, laksana mutiara yang tersimpan baik. Sebagai balasan bagi apa yang telah mereka kerjakan. Mereka tidak mendengar di dalamnya perkataan yang sia-sia dan tidak pula perkataan yang menimbulkan dosa, akan tetapi mereka mendengar ucapan salam. Dan golongan kanan, alangkah bahagianya golongan kanan itu. Berada di antara pohon bidara yang tak berduri, dan pohon pisang yang bersusun-susun (buahnya), dan naungan yang terbentang luas, dan air yang tercurah, dan buah-buahan yang banyak, yang tidak berhenti (berbuah) dan tidak terlarang mengambilnya. dan kasur-kasur yang tebal lagi empuk. Sesungguhnya Kami menciptakan mereka (bidadari-bidadari) dengan langsung dan Kami jadikan mereka gadis-gadis perawan. penuh cinta lagi sebaya umurnya. (Kami ciptakan mereka) untuk golongan kanan, (yaitu) segolongan besar dari orang-orang yang terdahulu. dan segolongan besar pula dari orang-orang yang kemudian.”
( QS. Al-Waqi`ah: 10-40 )

alhamdulillah, usai kami mengaji. seperti pada biasanya, aku mencium tangan suamiku. dan ia membalasnya dengan mengusap kepalaku. lalu, aku bertanya padanya, suamiku menurutmu syurga itu seperti apa. syurga menurutku, keharuman cinta Tuhan yang tak terkira, dan sesuatu akan menjadi mutlak dalam keabadian. sepertimu juga, syurgaku. karena istri yang sholehah adalah syurga untuk para suaminya, papar suamiku. aku tersenyum padanya, kini dia membalasnya dalam sebuah pelukan hangat. aku berbisik dalam dekapan itu, semoga aku dapat menemanimu sampai kelak kita mengenal cucu-cucu dan cicit-cicit kita, syurga seorang istri berada di bawah telapak kaki suaminya yang bijak dengan kehidupan.

setelah merapihkan alat sholat, lekas aku menuju dapur. mengambilkan air mineral untuknya. tidak baik juga, melulu teh manis, meski dengan gula terbaik non-diabetes sekalipun. air mineral, dapat dianalogikan sebagai ketika kita mengenal manusia-manusia yang mirip dengan malaikat, yang baru kita temukan dalam kehidupan. ia bening awalnya, dalam pandangan kita. namun dalam pemerhati sesuatu bisa berubah, air bening pun tak selamanya bertahan dalam keadaan tersebut.

aku beralih ke bangku biasa, aku ingin menemukan cahaya baru, maka aku harus membaca sesuatu yang bercahaya. meski minim buku-buku terlahir dengan cahayanya dari tangan-tangan manusia. setidaknya, beberapa menunjukan sejarah dan bukti keberadaannya, entah itu berbentuk sejarah atau gagasan-gagasan yang istimewa. aku beranjak dengan cepat, menuju perpustakaan mini. baru dua-tiga lembar halaman, suamiku sudah memanggil-manggil namaku. aku hampiri, dan aku harus melupakan niatku tuk menamatkan buku tersebut. suamiku ingin aku menemaninya, menuliskan sesuatu.

hari ini, aku lebih ingin membuka dan mempelajari cinta dengan sedikit menuliskannya. cinta bisa jadi merupakan kata yang paling banyak dibicarakan manusia. setiap orang memiliki rasa cinta yang bisa diaplikasikan pada banyak hal. wanita, harta, anak, kendaraan, rumah dan berbagai kenikmatan dunia lainnya merupakan sasaran utama cinta dari kebanyakan manusia. cinta yang paling tinggi dan mulia adalah cinta seorang hamba kepada rabb-nya. berarti jelas bahwa cinta adalah ibadah hati yang bila keliru menempatkannya akan menjatuhkan kita ke dalam sesuatu yang dimurkai Allah.

aku lihat, ia menutup laptop hitamnya. kukira mungkin tulisannya telah selesai. tapi sengaja aku tak bertanya dan mendekat, membaca tulisan suamiku. biarkan itu menjadi buku dulu, kataku. setelah terlihat luang, kami malah saling berpandang. dan dalam kebingungan juga, karena pandangan kami tak saling menjelaskan. baiklah, ini waktunya aku mengajaknya ke halaman. bermain ayunan berwarna biru muda. dan ia harus mendorongku. dan seorang wanita memang seharusnya begitu, tidak mendorong ayunan. he he. aku katakan, aku masih seperti anak kecil, yang menyukai ayunan, menjabarkan inilah aku dengan angin yang saling bertemu. suamiku riang tertawa, kami bercerita penuh mesra.

bagaimana jika aku seperti anak kecil selamanya, tanyaku pada suamiku. suamiku berpura-pura berpikir lama untuk menjawab pertanyaan tersebut. aku juga malah diam, berpura-pura juga tak akan memulai sebelum ia menjawab. jadi, katanya pelan. baiklah, istriku boleh seperti anak kecil, tapi ijinkan juga aku menjadi anak laki-laki paling termanja oleh karenamu. begitu jawabnya. lalu aku bertutur padanya lagi, aku senang menjadi anak kecil, juga senang berusaha menjadi lebih dewasa,akan tetapi di dua tempat itu, aku lebih senang melihatmu gembira dengan memahami inilah sisi istrimu, yang membangkitkan semangatmu, kapiten! kami tertawa bersama lagi.

malam ini aku tak mau tidur, suamiku. kenapa, tanyanya. malam ini aku tak mau berada di kamar hanya berdua denganmu, jawabku. ia bertanya sama sambil tambah wajah yang heran, kenapa kita memang sudah biasa seperti itu, bukan. kadang aku masih sering takut, lagi jawabku. kamu takut denganku, kali ini ekspresi wajahnya berada distadium tiga. bukan, aku takut dengan maluku, kesekian jawabku. ia kulihat malah menahan tawa. malu, dengan suamimu sendiri? haha, kok kita sama ya. aku malah tertawa mendengar jawabnya, kalimat yang tengah kuduga-duga ternyata tolak hipotesis. iya, mungkin aku belum terbiasa seranjang berdua, jelasku singkat. tak apa, katanya dengan tenang. aku sudah terbiasa tidur disofa. gantian ya? ideku. jangan, balasnya. kenapa, aku bertanya. nanti masuk angin, apa mau sampai dikerok olehku?kan kau masih malu denganku, juga sebaliknya. ia tersenyum padahal dalam percakapan santai kami, aku pun serius dengan hal yang kumaksudkan. sebagai seorang istri, dalam hal ini sudah sewajarnya merasa bersalah.

***
"sepertimu suamiku, kita harus tetap bersemangat satu sama lain, menjaga nafas kita masing-masing."
 sebelum berangkat, kami menyelesaikan terlebih dahulu ritual pagi biasanya.

hari ini, aku harus check up. memastikan tidak terjadi apa-apa dengan tubuhku, dengan kata lain memeriksakan bahwa keadaan tubuhku telah normal semuanya. sekalian masih hari libur sekolah, aku juga ingin mengajak keluarga besarku mengunjungi tempat-tempat yang biasanya keluarga kami kunjungi. suamiku masih harus bekerja, dan aku akan ke bandung diantar keluargaku. ia agak sulit juga, melepasku pergi tanpanya. tapi kami pun memiliki tanggung jawab, di antaranya tak baik menyelingkuhi hal tersebut.

tidak sebentar kali ini, kami berhadapan. istriku, harus sehat dan bahagia, begitu bisiknya. aku menunduk, lama berada dalam doa kembali. jikapun terjadi sesuatu, itu adalah yang terbaik dari kehendak-Nya, balasku seadanya. suamiku terdiam lama, membisu kami bersama-sama.

***
Pagi yang dingin ini, aku ingin memasakan sesuatu yang membuatnya bahagia. itu saja dulu.
; belajar memasak.

setelah kemacetan semalam, di tol. alhamdulillah, akhirnya tengah malam tadi. aku memutuskan kecemasan yang terangkul di hati suamiku.pasti saja, selama aku pergi ia banyak bekerja keras memikirkanku. itu dapat diperkirakan, oleh karena sms dan telpon yang masuk darinya. di depan rumah, aku masih melihatnya berdiri sambil menyiram tanaman. tengah malam, menyiram tanaman. suamiku aneh juga, oleh karena kami sepasang orang aneh. mendengar suara mesin mobil, ia langsung berjalan tapi cepat menuju gerbang. bukan, pak enung kali ini yang membukakannya. tapi suamiku sendiri. kuperhatikan, ekspresi wajah suamiku, tersenyum sumringah tapi ada raut murungnya juga. aku membuat kesalahan, pikir bathinku.

sepasang tangannya, membuka dan membiru. seperti lagu yang kudengar di masa lalu. akhirnya, kau pulang juga, istriku, katanya sambil di bawah mendung malam. aku tak segera menjawabnya. kenapa, tanyanya. karena aku merasa aku telah membuat kesalahan padanya, diam-diam aku sedih dan menahannya sendiri. O, aku tahu di tol macet total, lanjutnya. dan aku hanya mengangguk mengiyakan hal tersebut. aku tersenyum padanya sebentar, dan memberanikan diri mendekat ke tangannya, lalu tanganku dan tangannya bersatu, ku arahkan tangan kami ke arah dadanya. maafkan aku telah membuatmu khawatir, ya, aku merasa bersalah, paparku padanya. ia membalaskan dengan senyuman yang tak sebentar, tiba-tiba dengan bahasa tubuhnya, bibirnya maju ke dahiku yang kering oleh karena AC di sepanjang jalan.

malam tadi, bukannya kami tertidur. kami malah bercerita mengenai hari-hari lalu yang kami lewati. ia tak luput menanyakan rekap medis, yang sengaja kutitipkan di ibuku. begitulah, hari ini kami masih berdua. dan di pagi ini, aku ingin memasakan masakan yang berbeda. kembali mempelajari resep makanan, dan menghapal jenis-jenis rempah yang akan digunakan. untuk siang nanti. sabtu ini, suamiku tak libur seperti sabtu lainnya. ada yang harus dibenahi dikantor, begitu alasan ia bekerja di hari liburnya.

***

akhir juli. di beranda depan rumah, kami berpamitan. ia akan pergi, katanya. dan aku tak bertanya, akan kemana ia pergi. karena ada surat dan tiket penerbangan yang menerangkan ke mana ia akan pergi dan tinggal di sana, sementara.bagiku tak baik terlalu bertanya, aku percaya padanya. seperti ketika ia mempercayaiku dapat lebih baik dari kemarin. kami berpamitan, untuk tiga bulan kedepan. kami akan bersama lagi.

karena hati kami telah saling mengenal. kami tak dapat menyembunyi rasa sedih. aku akan sendiri di rumah, mungkin di temani dengan pak enung yang menjaga pos. aku akan baik-baik saja, dan kami berjanji untuk kebaikan dikeduanya.

apa yang sedang dipikirkan oleh bunga melatiku. harumnya tak akan sampai mungkin ke suamiku yang nanti akan tak lagi berada di rumah bersamaku. mendorong ayunan sempit, atau menyeduh secangkir teh hangat. suamiku tersenyum lagi, melihatku mungkin dalam pandangannya melamun. apakah kita akan membiarkan kesedihan singgah lama, istriku, tanya suamiku. aku meraih matanya kini, mataku berpandang segaris dengan matanya. aku tersenyum, kau harus baik-baik saja. itu bukan kesedihan, mengetahui kau berada dalam keadaan baik. kataku pelan padanya. bukan, balasnya, aku tahu bukan itu saja. karena cinta dapat menyembuhkan, cinta pula dapat menyakitkan. rindu menyakitkan ya? tapi aku berjanji untuk lekas kembali. ia menarik nafas. aku tak mau, meninggalkan lama istriku sendiri, lanjutnya dengan lirih.

seringkali kami melemparkan senyuman. bagi kami, kadang airmata dapat menjadi sesuatu yang terlalu berlebihan bila diumbar diwajah-wajah yang menghampiri kesedihan kita. tapi 'wajah Tuhan' tak pernah ke mana-mana. ia berada, dan ia hafal akan air mata dalam tiap doa dan harapan.

cukup lama kami berbincang, mengenai apa yang akan kami ungkap selanjutnya. hanya tiga bulan ke depan, sementara kami terpisah oleh benua. Libya. Sudah sejak lama, Libya memiliki posisi penting dalam percaturan ekonomi-politik dunia. Secara geografis, posisi Libya yang strategis menjadikan negara ini “palang” bagi masuknya komoditas ekonomi ke Eropa yang terletak tepat di seberang utaranya. Afrika dan Eropa, sejak era kolonialisme, telah terlibat dalam hubungan yang ambigu dan traumatik yang berkisar pada keterkaitan antara sentimen ras dan eksploitasi alam. Merasa diri sebagai ras unggul dalam sejarah manusia, Eropa menjejakkan kaki di Afrika untuk melakukan “misi pemberadaban” (mission civilisatrice) atas orang-orang kulit hitam, yang menurut ilmu biologi yang berkembang pada saat itu, dapat digolongkan setara dengan kera dan hewan primata lainnya. Namun, sentimen rasial ini, yang didukung oleh bukti-bukti “ilmiah”, membawa-serta motivasi ekonomi di baliknya, yaitu eksplorasi dan eksploitasi alam. Meski sebagian besar Afrika terdiri dari padang tandus, tetapi berkat teknologi, ditemukan sumur-sumur minyak yang potensial di kemudian hari, yang nantinya mengundang hasrat orang-orang Eropa untuk kembali mendatangi benua ini.

kemudian, aku bergegas menyiapkan barang-barang yang akan di bawa oleh suamiku. agak telat memang, tapi tak apa. 7 jam lagi, tiket penerbangannya. beberapa sudah disiapkan sendiri olehnya. sementara setelah pack selesai. kami saling memperhatikan. ternyata suamiku, pria yang tampan. aku baru menyadarinya selama ini. aku pura-pura tidak membaca apa yang ia pikirkan tentangku. di dekatnya, aku selalu merasa menjadi wanita yang lebih. oleh karena sikap dan cara ia memperlakukanku. sepanjang kami bersama, hampir luput dari kepedihan itu sendiri. meski kami memahami, masa lalu kami dibesarkan oleh kepedihan. kepedihan oleh karena kami tak memiliki cerita sebagai masa pada umumnya. ternyata keduaorangtua kami, keras dengan kesibukannya. sesuatu harus menampar dengan tenaga, perpisahan dalam sebuah pernikahan terjadi. sebagai anak, tentu akan merasakan sebuah ketakutan teramat akan kepedihan serta trauma mendalam, dari waktu yang berjalan.

dulunya, aku tidak mempercayai cinta, sama sekalipun. bahkan rasa tertarik berlebih pada laki-laki pun aku tak punya, ketika itu. seperti yang pernah gie katakan, kuranglebih begini katanya : "pernikahan hanyalah sarang nafsu." oleh karena manusia membutuhkan pasangan untuk saling menembus hasrat nafsu di antara keduanya. aku juga pernah menyatakan, "mungkin, aku takkan menikah dengan siapapun." sehingga aku harus bersabar pasang kuping dingin, menerima nasehat kedua orangtuaku. menegaskan bahwa pernikahan adalah ibadah. namun, oleh karena penyakit yang lama mengidap ditubuhku. menipislah harapan itu. mungkin aku akan mati, dan tak menikah. usiaku 27 tahun ketika itu, kata ibuku, aku harus memikirkan masa depan panjang. bukan saja mengenai kesuksesan dan jalan yang tengah kunikmati pada masa itu. setiap hari, kesuksesan baru bermunculan, dan ia tidak berkesudahan. kini, ibuku tak sering menangis lagi. karena, di usiaku dikepala tiga. laki-laki yang dipilihkan ibu untukku, dapat membahagiakanku. dan mengenalkan kembali tentang hidup dan arti keseluruhannya.

aku harus siap, setelah suamiku siap. agak berat juga, mengantarkannya sampai bandara. kami akan berpisah di sana, kami akan melihat tubuh kami yang makin mengecil dalam retina mata kami. akhirnya, hilang dan tak terlihat lagi. bahkan bisikan terakhir kusimpan sendiri saja, karena terlalu indah untuk dituliskan. tulisanku belum seindah diri suamiku. kami saling belajar mencintai, kami saling tak mau melukai.

#bersambung...

  • Share:

You Might Also Like

0 comments