Api dalam Sepi Terakhir

By Afrilia Utami - October 28, 2012


api terus berkobar membakar tubuhku, anatha. tubuhku akan hangus sama seperti kayu yang telah menjadi abu, karena api. anatha, pergilah dan berlari jangan terlalu dekat dengan denganku. api ini akan mengikuti bathin, dan tangisan adalah bahan bakarnya. jangan menangis, untuk aku. jangan mengurung bulan itu di dekatku. langit tampak padam, dan hanya panas api yang membakar tubuhku juga bulan yang hampir separuh terlahap mulut naga.

anatha, pergilah. jangan berbalik, biarkan api dan tubuhku padam dengan sendirinya. melangkahlah terus, ikuti lampu-lampu di depan sana. tetapi jangan mengikuti lampu palsu yang terlalu menyilaukan sepasang matamu, anatha. ikutilah anak-anak mungil yang sedang bermain, menyebrangi jembatan untuk bertemu dengan kehidupan. jangan katakan, malam telah hilang diporandakan api. jangan katakan api telah membuat rapuh dan mati. jangan, anatha. karena api, aku menyuruhmu pergi untuk mengenal tanah, air, dan udara. supaya kau dapat kembali ke asalmu, tempat tiada yang terbakar dan hangus seperti kayu itu.

"tapi, aku tak dapat pergi. dan karena api, mataku telah terbakar dan tak bisa melihat!" 

bukan karena api. bukan. hanya saja kau terlalu dekat dengan api. dan melihat bagaimana rasanya matamu terbakar padahal panasnya bukan api, dan yang membakar bukan api, hanya setelah sentuhnya terjebak dalam ilusi-ilusi yang menakutkan. anatha, api itu membawa malaikat dengan sayap yang ketujuhnya telah terbakar, dan ia tak dapat pulang. tersalib di sini, bersamaku, anatha. bulunya telah hangus juga kulitku. dan jantungku yang kini melolonglolong, dan tanganku yang telah patah masih ingin menuliskan sesuatu sehabis api itu, melahapku.

anatha pergilah
ini malam
sudah larut
dan 
malam.
api-api
membakar hati
yang
tak hati-hati
ingatlah, anatha

jangan terbakar
seperti kayu
jangan.

25 Desember 2011

  • Share:

You Might Also Like

0 comments