[fiksi] Lelaki itu adalah Suamiku [2]

By Afrilia Utami - October 28, 2012


Diary seorang istri untuk suaminya

Surat kecil ditulis tanggal 27 juli 

: someone who I called my husband

apa kabarmu di rentang tempatmu, suamiku? langit betapa paham, kejaran rindu kita. serta cuaca di sini, sempurna menempahkan segala macam laranya. bolehkah aku merindukanmu, dan pura-pura tak merasakan betapa kita berada di benua yang berbeda. dalam-dalam cahaya menepis, dikejauhan. apa yang terlihat, suamiku? aku melihatmu. aku hilang denganmu, dan kau aku menjadi bayangan yang bertampilan dipikiran yang sibuk menuliskan izin mengemudikan kesendirian.

aku jadi sering kalut, mendengar kematian di komplek ini. padahal kematian, adalah satu-satunya kepastian yang kita tahui di masa depan. apa yang harus kita takuti, suamiku? apakah kau akan takut, bila aku lebih dulu pergi? maaf, aku membuatmu sedih membaca surat ini.

udara begitu sempit. aku merasa dadaku sudah tak sesehat dulu. karena terlalu banyak rindu meretas di atas kertas ini dan berpanggulan dengan harapan, di dada yang minim ini. kematian makin jelas terlihat. aku menyaksikan ia, sedang menemui nomer antrian paling kecil. namun jangan khawatir, aku baik-baik saja, suamiku. kita paham, antara nafasmu dan nafasku tak pernah lekang terpisahkan oleh suatu apapun. karena kau dan aku terhubung dengan ikatan, kemahasucian cinta tuhan.

suamiku, ajaklah aku ke laut sekali lagi. aku ingin laut seakan mengenal tubuhku yang asin ini. dan keasinan di tubuhmu, akan lekas hilang. oleh karena kita berada di laut. berdua, dengan keikhlasan. satu di antara kita mungkin akan tenggalam. satu di antara kita mungkin selamat. satu di antara kita yang telah satu mungkin dapat melanjutkan kisah ini. karena, ketika cinta telah kau sumbangkan pada seorang wanita yang menuliskan ini. maka kau akan hidup pada keabadian, yang tidak semua orang tahu. betapa cinta, dapat menjadi doa yang tak pernah terselesaikan.

selama ini, aku kerap menyembunyikan kegelisahan padamu, suamiku. maafku. tapi itu hanya sedikit. kegelisahan akan purna, setelah kau dekap aku. sambil berusaha sekencang-kencangnya mendorong ayunan berwarna biru muda. "dan aku mencintaimu, istriku..." hatiku tersenyum, sekaligus ia terisak oleh tangis yang terendam lama. kau serupa matahari, yang hanya diam diporosnya. poros yang hanya dengan penuh cinta, dan kelembutan. ku dengar suara cicit anak-anak dalam mimpimu, memanggil-manggil "ayah.. ibu", dalam tidurmu, aku melihat wajahmu menggulum senyuman begitu manis. tengah malam, jika kau sudah tertidur di sofa itu. aku mendekatimu, menghayati penuh, mimpi-mimpimu. kukecup mimpimu dengan pelan, agar kau tak terbangun lalu hendak menangis, jatuh dalam pundakku. tapi kau tak menuntut, mimpimu itu segera hadir bersama kita. 

sebenarnya,
aku ingin menjadi seorang ibu.
untuk anak-anakmu-
yang lalu memanggilmu "ayah.. abi.."


aku bayangkan, mereka berlarian mungil. melintasi keindahan hari-hari kita. aku memangkunya, dengan hati-hati. tak berharap ada luka, pada anak kita. kau, suka menceritakan cerita sempurna tentangku. pada anak-anak kita. aku tersenyum melihatmu, setiap pulang kerja. kau menuju kamar anak kita. lalu kau kecup dahi mereka, kau usapi perlahan rambutnya. "jadilah malaikat kecil kebanggaan ayah dan ibumu.." bisikmu padanya. anak kita tumbuh, sebagaimana ayahnya yang amat penuh dengan kesantunan kasih, iman, dan semangat hidup. lalu aku mendengarkanmu, menciptakan lagu untukku, juga anak kita. tak lagi kau hiasi dinding-dinding rumah ini dengan puisi, keindahan hari-hari yang kita lewati lebih puisi. 

lagi aku membayangkan, aku dapat menemanimu. hingga kita dapat melihat cucu-cucu kita tumbuh, dengan bahagia dan syurga kehidupannya. setelah mengenalmu, aku menemukan miniatur syurga dalam usia kehidupan.

yang mencintaimu,
your wife. 

balasan surat kecilku 06 agustus..
: someone who i called my wife
bagaimana kabarmu di sana, malaikat hidupku? sepanjang waktu, seringkali aku membaca ulang surat-suratmu, tulisan-tulisanmu. jangan mencegahku, sebagai seorang lelaki. selalu aku berniat untuk membalasmu dengan cara lain. yang dapat membuatmu tak menduga-duga, lalu tersenyum lepas. seperti saat kita bersama.

lebih baik kita pura-pura tak mengetahui apa-apa, istriku. itu akan lebih mudah, dari individual-individual yang sibuk mencari apa yang telah kita temukan. aku tak lagi memikirkan asin pada laut mati, hampa pada galaksi, dan sunyinya di sini. aku hanya memikirkanmu, istriku yang cantik. membayangkan kau membawakanku handuk, dan mengeringkan tubuhku yang basah karena ini. rindu tak pernah menyerah, membuatku bekerja keras.

tinggal lima hari lagi, aku berada dalam perjalanan. kembali, pulang. menuju kepangkuanmu dan rumah kita. aku harus berjihad dalam pekerjaan ini, kau pun begitu. berjihad menjaga hatimu untukku.

istriku yang baikhati.. hidup memang pilihan, selama aku dan kau berhadapan dengan keberadaan ruang dan waktu. butir mata yang mutiara, kulihat di wajahmu. jangan kau jatuhkan mutiara itu. biar ia tetap menyala dengan senyap yang berdua kita ceritakan. aku menyayangimu, walau betapa jahatnya aku. meninggalkanmu, di sana. meninggalkan kekeliruan baru dengan pertanyaan. bertahankah kita seperti ini? berdua saling membayangkan, padahal kita tak tahu di mana tangan harus meletakan sandarnya. kau tak di sampingku, mengelus wajahku dan begitu pun aku sebaliknya. sehatlah selalu, istriku. bahagialah selalu. nafasmu adalah nafasku, kita teriring dalam sebuah cerita indah saja.

yang mencintaimu,
your husband.


****

ditulis 13 agustus

Lusa ini, kami berdua menghabiskan waktu di rumah. Akhir ramadhan, baru kami dapat merasai berdua saling bersampingan di meja makan. Rambut dagunya memanjang, katanya ia tak ingin mencukur bekas sentuhan terakhirku. Seperti penyanyi yang baru-baru ini dengan kenangan bersama istrinya yang telah pergi dari dimensi pertama manusia kenali. 

Sebenarnya, aku juga pernah meninggalkannya. Saat itu bulan februari 2003, genap tiga tahun hubungan kami. Ia mengetahui selama itu, aku sakit keras. Dan selalu kembali ke rumah sakit minimal dua kali dalam seminggu, untuk melakukan terapi, pascaoperasi. Siapa yang tak tahan, melihat sahabat hatinya selalu gundah dan murung memikirkan apa yang dirasakan oleh wanita yang ia cintai selalu ditimpa sakit. Aku pergi, jauh sekali meninggalkannya. Dengan niat tak lain, aku ingin ia bahagia dan memilih jalan hidup yang lebih baik ketimbang denganku. Namun sejauh apapun sempat kami terpisah, aku menemukannya, dan ia menemukanku kembali. Kami tak terlepas satu sama lain. Ia telah melupakan, bahwa wanita yang kini menjadi istrinya pernah sejahat itu padanya. Suamiku sangat baik, ia mengenali sejahat apapun, kebaikan tetap ada di diri sejatinya manusia.

Apa yang kamu khawatirkan, istriku? Saat aku tak di sampingmu, kata suamiku bertanya. Aku menunduk, menumpahkan jawaban padanya. Mengapa kau menunduk?, heran ia menyeka dengan tangannya di wajahku. Aku, kataku. Aku menunduk, inilah yang terjadi saat tak ada kau di sampingku. Aku seperti tak melihat masa depan, terjebak dengan kesaksian paling mengenaskan. Kemudian, mata suamiku berkaca-kaca mendengar apa yang tadi ku katakan padanya. Ia sejenak menggumpalkan kalimat dimulutnya, memilih langsung mendekapku dengan sepenuh erat. Aku memahami, bahasa jiwanya. Ia sama denganku, tak ingin lagi kehilangan.

Lama kami berdekapan, kami melupakan waktu tidur, waktu buku-buku terbuka untuk kami berikan pada mimpi-mimpi malam. Aku tak mau jauh darimu, itu menyakitkan, bisiknya. Aku tak membalas bisikannya dengan cepat. Aku ingin ia paham, pada akhirnya kami harus terbiasa saling jauh. Apalagi kelak, mungkin aku akan pergi ke dimensi yang hanya dikenali manusia oleh dari ayat-ayat kitab suci, dan kisah-kisah dari mulut ke mulut. Suamiku, bagaimana aku pergi lebih dulu ke syurga? Untuk menyiapkan segala sesuatu untukmu di sana, gurauku padanya. Wajahnya berubah, ia seperti marah mendengar aku berkata demikian. Tangannya pindah ke dahi, tangan dan dahi menempel lekat. Kau berbicara apa, istriku? Tidak ada yang pergi ke tempat jauh itu, hanya di sinilah tempatmu. Bersamaku. Barangkali aku telah dosa, mengatakan ini padamu. Mencintaimu merupakan ibadahku, juga dosa yang kecil saja, kata suamiku sambil memuluk, menyita bayangan lainku; mengenai kematian.

Aku telah banyak menerima luka. Ini menjawab, mengapa tak perlu lama aku menuliskan luka-luka dengan begitu menarik mereka tampil di mata yang membacanya. Menarik, kata seorang pembaca yang mengaku pengagum paling abadi. Apa menariknya luka? Hanya oleh karena hati mampu berbuka kemudian mengatup-ngatup, ingin berbicara. Hati tak suka derita, tapi aku menimpalnya dengan terus-terus kepedihan. Maka ia marah, maka ia sering memarahiku dalam tiap katanya. Namun luka itu dapat reda, dalam dekapan suamiku, ia selalu berkata, “waktu untuk kita, bukan untuk luka. Yang mencintaimu adalah suamimu, yang menjagamu adalah suami yang mencintaimu. Cinta sejati tak pernah melukai dan merusak aliran cintanya, akan tetapi ia memperbaiki dunia; duniaku, duniamu, juga jagad raya, andai setiap manusia memiliki cinta sejatinya.”

***
Cinta tak pernah salah, yang salah ialah pilihan mencintai kesalahan.

Kondisi tubuhku sedang memburuk, aku batuk-batuk dalam dekapan suamiku. Itu tak baik, kataku pada tubuhku. Padahal sekuat mungkin aku menahannya, selain rasa sakit di dadaku. Akhirnya, suamiku tahu. Aku sedang kurang sehat merayakan hari kepulangannya di rumah, padahal hari ini belum genap 24 jam kedatangannya. Tapi dengan keringat di dahinya, ia merawatku dengan sempurna.

Suamiku, panggilku padanya. Apa? Balasnya. Aku belum mengatakan padamu sesuatu di dua tahun ini, balasku. Sesuatu apa, istriku? Timpalnya. Aku tersenyum, seraya berbisik ; terimakasih telah menjadi suamiku. Aku mencintaimu, terimakasih telah membawa cinta sejati, dan memperkenalkannya padaku. Aku berjanji akan merawatnya dengan kebaikan. Allah tak pernah memberikan ujian diluar kesanggupan hamba-Nya. Aku akan baik-baik saja, untukmu..

***

ditulis 15 agustus

Malam tak pernah begitu angkuh, melolongkan srigala-srigala yang lapar. Mereka dibiarkan begitu, oleh memang begitulah mereka berdialog.  Angin tak pernah gentar di halaman ini, aku mendengar pangggilan samar menyerukan sebuah ajakan. Tapi aku tak gubris semuanya, aku tak melihat masa lampau di seberang sana. Aku melupakannya. Kecuali aku tengok ia dibeberapa waktu untuk pelajaran, menjauhi jurang yang sama.

Masa depanku kini, ialah menjadi ibu dari calon anakku kelak. Semisal itu terjadi, aku telah berhasil menjadi wanita yang dapat benar membahagiakan suami dan kedua orangtuanya. Tapi aku harus sembuh dulu. Aku tak mungkin membiarkan diri ini sakit-sakitan, aku harus benar sehat untuk menjaga calon anakku kelak.

Sebagai orangtua, hampir tak retak keinginannya, selalu yang terbaik untuk anak-anaknya di masa mendatang. Anakku harus menjadi yang terbaik di antara yang terbaik. Karena hidup berlomba-lomba, berkompetisi dari hukum seleksi. Hanya mereka yang berpondasi kuat, hanya mereka yang berani bersikap, hanya mereka yang berkharakter cerdas, hanya mereka yang percaya akan keajaiban Tuhan dapat hidup memperpanjang kebahagiaannya.

Di desa ini, cuaca selalu dingin. Juga tubuhku yang dingin pula. Mereka berpadu, antara cuaca dan tubuhku yang sama memiliki dingin yang serupa. Apakah aku wanita terdingin, suamiku? Aku bertanya padanya, tapi ia tak menjawab. Ia tertidur hangat di sofa coklatmuda. Tiap aku menyimak farasnya yang sedang terlelap, sebenarnya aku tahu ia terjaga. Sama sepertiku, amat terjaga, tak bisa terjatuh lebih dalam ke dalam kesenyapan jalan cerita dimensi berbeda. Akan tetapi hari ini, telah membuatnya sangat kelelahan. Maka sewajarnya, ia terlelap malam ini.

Aku mendekatinya, aku mendekati rasa bersalahku kembali. Aku ingin menjaganya, agar ia tak dingin, seperti dingin angin malam ini. Satu selimut tak cukup, maka kubawakan satu selimutku untuknya. Aku berdoa di selimut yang tengah kulingkari di tubuhnya. Semoga kelak, hangat selimut inilah yang akan menjadi kehangatan yang paling terjaga ketika aku tidak di dekatnya.

kesakitan di tubuhku, tak pernah menghentikan langkahku untuk menaiki tangga lebih tinggi. 

Aku berjalan, menjauhi kamar. Setelah memakai shall birutua, yang kulingkari di leherku. Malam ini, aku ingin menuju ayunan. Meski udara dingin, meski angin tak pernah mau mengalah mengajakku bermain. Biar kurebahkan segala kekalutan di dadaku. Pada ayunan biru itu. Ayunan yang mengambang, kataku. Hidup yang mengkhawatirkan.

Sejam, dua jam. Aku membahayakan diriku di luar sini. Tubuhku bergetar, juga dua tanganku, serupa tengah terguncang dahsyat. Ada apa ini, Tuhan? Jika dengan ini engkau menjagaku dengan kasih dan cara-Mu, kuikhlaskan apa yang ada di diriku ini. Aku lemas, begitu terguncang kepalaku, hingga perih ke bola mataku. Dan aku teringat, akan janji pada suamiku; aku akan baik-baik saja untuknya.


Dari ayunan, aku terjatuh. Agak merangkak menyeret tubuhku. Rumput hijau, basah. Juga aku, basah oleh keringat dingin yang tak seberapa dibanding kuyup rerumputan itu. Aku terjatuh, lagi kukatakan. Tapi dengan sekuat tenaga, aku belajar untuk berdiri. Seperti seorang bayi, yang ingin keluar dari kasur sempitnya. Melangkah dengan keadaan baik-baik saja menuju kamar. Aku tak mungkin membuat suamiku, menemukanku di luar sini. Aku tak akan mati, secepat ini, ujarku mengulang. Maka aku harus berdiri, menuju kamarku.

***

Hanya dengan ini, istriku, kata suamiku dengan selimut yang ia kembalikan di tubuhku yang kisut. Hanya dengan inikah, kau yakin akan menghapus segala dingin di tubuhku?. Ia tak pernah terlihat semarah ini, alis kanannya naik turun, dan urat nadi dilehernya timbul tenggelam. Bahkan, matanya tak kering oleh karenaku. Aku bersalah, lagi bersalah, aku katakan pada hati kecilku maka aku memilih membisu, memejamkan mataku. Harus dengan cara apa, lanjutnya. Aku dapat membuatmu, bahagia bersamaku? Sehat denganku? Berjanji menemani kedinginan yang membuat kita bertemu. Apa tidak cukup garam dapur, untuk mengasinkan hatiku? Hatiku terluka, melihatmu menahan duka di tubuhmu. Aku ingin belajar menjadi suami yang baik hanya untukmu saja. tolong pahami inginku ini! sakitmu, adalah kritisku..

Aku beranikan untuk tersenyum padanya, wajah suamiku yang cemas keasinan. Aku menarik nafas dalam, dan mulai mengatakan padanya, aku akan hidup lebih lama untukmu, berdoalah agar Allah dapat menjaga kita dengan ar-rahim-Nya. Kelak akan ada dipangkuanmu yang memanggilmu ayah, juga dipelukanku yang akan memanggilku, ibu. Indah sekali, bukan? Malaikat kecil kita. Tiba-tiba aku menjadi seorang arsitektur yang merancang sebuah bangunan kehidupan kita yang bahagia selalu; Dalam dunia kita.

***
ditulis 11 Oktober
suamiku yang baik, jalan begitu rapih menyembunyikan kesibukannya. kita seolah bersaing mendapatkan jalan yang lebih baik. dan yang terbaik ialah menyayangi sesuatu secara alami. seperti menyayangi sore ini, aku bayangkan kita di sini bersama. menceritakan cerita yang bahagia saja.

tiga tahun bukan waktu yang amat panjang. kita suka dipertemukan tiba-tiba, juga harus suka dipisahkan tiba-tiba. jadi apa yang lebih baik, selain memiliki harapan. hari ini kita harus bahagia bersama. aku sedang duduk, mulai menarik nafas. setiap hela, aku ingin menyusun cerita baru.namun, aku baru mudah memulai cerita setelah aku menemukanmu di dekatku. waktu urung untuk itu. aku dan kamu saling menebak, di mana lagi kata harus diletakan dengan tepat.

senyap yang telah kita akrabbi sejak lama, suka menggugurkan air dari tubuhnya. aku duduk dekat keran yang menyala. air memiliki bunyi, suamiku. bunyi, kataku lagi. dan jika saja air bisa diajak bicara, aku ingin air memiliki tubuhnya untuk berkata. namun, kita tak usah cemas atau sedih untuk mengulang kejadian biasa. selama ini, aku berdoa supaya Allah menjaga kita dengan rahim-nya. semoga ia melapangkan dan menguatkan jiwa kau dan aku. pada satu judul cerita tentang bahagia, itu saja.

(mungkin bersambung..)

  • Share:

You Might Also Like

0 comments