mith

By Afrilia Utami - October 28, 2012

Ruang 4095F. Di dalam letak sofa yang dingin, dan Mith yang masih terbaring di atas tempat tidur kecilnya. Kami bergantian terbaring di sini. Dan, kedatangnku kali ini sengaja untuk menganggunya, membangunkannya. Dinding biru muda, seolah ruang dalam bentuk balok, dan ada kami di dalam. Dua manusia yang suka membicarakan tentang sisa kehidupan dan kesempatan. 

Tanganku sudah berada di depan pintu bernomer 4095F, sedikit bergetar. Berdoa, agar aku tidak mendapatkan sesuatu yang lebih buruk setelah ini. Wajahku makin kusam, dan keringat dingin lagi. Dan telapak tanganku terlanjur basah. 

Perlahan, aku mendorong pintu hitam itu. Tiga detik terakhir ketika itu, sebuah lukisan lilin kecil menjadi wajah yang menempel di dinding menyapaku. 

Aku segara menghampiri, syurga kecil itu-Mith yang terbaring. Dia masih menutupkan matanya, dan tangannya yang kini tinggal tulang dan kulit yang menempel longgar. Aku menahan air mataku kali ini, memegang dadaku. Dan duduk dikursi dekat syurga kecil. Aku diam beberapa saat, memperhatikan kondisi Mith. Aku mengajak ia berbicara, dari hati. 

Lama aku diam di dekatnya, ia belum juga membuka mata, atau menggerakan jari-jarinya saja. Aku bangkit dari sofa itu, membenarkan selimutnya. Dan aku memasukan tanganku, untuk mencari tangannya. Aku menggenggamnya. Tanganku yang dingin dan basah, juga sama dengan tangannya. Jadi tidak ada rasa dingin kembali, karena tangan kami kini bertemu pasangan yang sama.

Aku menundukan tubuhku, hingga ikut menyender di atas syurga kecil itu. Kupeluk Mith dengan pelan, tanganku yang tidak panjang. Tak dapat melingkari tubuhnya. 

Mith, kataku pelan. Aku ingin tidur di dekatmu. Kamu harus bangun setelah aku bangun ya, kita sudah sangat lama kehilangan pasangan sepasang mata. Aku kangen dengan bahasamu. Bahasa yang tidak pernah berhasil mati.

Aku bertahan menutupkan mataku, berharap aku dapat bertemu dimimpimu. Tapi aku hanya menutupkan mataku, dan tidak ada angin yang bergoyang di sini. Hanya dingin AC, dan udara yang kian menambah hampa. Tapi ada Mith di sini. Aku tidak perlu merasa lebih tenggelam dalam pejaman yang tidak sempurna. 

Aku masih merasakan detakan jantungnya, aku merasa ia seolah memainkan kembali suara piano yang indah. Satu jam aku berusaha tertidur di sisinya. Nuster datang menemuiku untuk kedua kalinya. Aku mengabaikan kehadirannya, Nurse itu hanya mengganti cairan infus, dan mengelap wajah, lalu tangan kanan dan ke kiri kemudian ke dua kakinya.

Mith..
Aku yang telah lama menahan kekhawatiran ini.
Gerak yang mulai melambat. Tubuhku yang makin renta.
Kegelisahan jiwa yang tidak mudah dipadamkan
Seperti lilin kecil di dinding polos. Menyapaku
Dan kemudian hanya kembali diam
Menjadi lukisan bisu.

Mith...

  • Share:

You Might Also Like

0 comments