_ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ __ _ _ _ _ __ _ _ _ _ _ _ _ __ _ _ _
Akhi, di jendela tidak ada siapa pun. Ana melihat kekosongan, yang belum memenuhi isi. Ana buka buku berulangkali, tapi Ana bingung akan membaca dan menuliskan apa? Sebab kata-kata telah terpenjara. Akhi, Ana ingin melihat Akhi di sini, jam-jam melompong, ketika Ustad itu belumlah tiba. Ana menarik penggaris 30cm, Ana jadi kembali teringat. Akhi, setia membuatkan garis dipembatas surat-surat yang dititipkan untuk Ana.
- -------
: Arin Budiarti
Arin, dari lorong kelas ini aku
melihatmu centil mengedipkan dua
matamu.
Dengan langkah sayu aku melaju
Menujumu
Membeli seikat bunga Matahari
Sesampul cahaya dari namamu, menari-
nari.
Arin, dari bangku kelas. Aku menyusun
spidol yang habis tinta. Penghapus hitam.
Papan masih putih sedikit kumal,
Aku meniup hatimu di jarak-jarak dekat
Dari dua hati yang meletup-letup
Ingin bercumbu dengan do'a
Dekat dari lajur sini
Adalah rumahmu..
Akhi, terduduk dan menunduk
Membaca kitab, menjadi ayat-
Ayat yang hinggap ditelinga ana
Pagi menabur dingin. Pucuk-pucuk beku.
Di dalam, Akhi mengepalkan tangan
Menggenggam Almasurat. Akhi berdo'a
Untuk Ana. Terbaring kuat dengan kuatmu.
Terkapar sejuk, dengan syahdu murottal
Adalah rumahmu..
Akhi, terduduk dan menunduk
Membaca kitab, menjadi ayat-
Ayat yang hinggap ditelinga ana
Pagi menabur dingin. Pucuk-pucuk beku.
Di dalam, Akhi mengepalkan tangan
Menggenggam Almasurat. Akhi berdo'a
Untuk Ana. Terbaring kuat dengan kuatmu.
Terkapar sejuk, dengan syahdu murottal
Dari tandus rintik hujan
api tumbuh. Dari rambut hitammu
Aku datang ke rumah, membawa lipatan surat
Mengais ayat-ayat. Mendoktrin jasad-
jasad yang terkumpul dengan bara
di atasnya. Di ruang-ruang aku kecil, dan kembali.
Di sana ibu berdiam. Meronce airmata
... .... ... dengan nada phytagoras.
di tungkau pakaian yang layu. Ibu terkurung
menanak belati di kamar mandi. Menguras
kenangan dari yang bertulis nama, ibu.
Sketsa pelangi sedang bersajak, membawa rindu mengembala disela-sela hati.Jarak adalah tali layang yang kini terbang di punggung biru langit, menitih namamu di salju yang jatuh di pelupuk mataku.Sementara Lelagu musim berganti dengan sama gigil yang kuikatkan pada jendela rinduku.Di lengan waktu dan kesekian jeda yang menunda ketertuntasanku di wajah yang tersapu senyum beku.Ingatan dari sekata nada sederharna yang menjadikan istimewa tentang beribu tatanan kata.
Bayangmu menjadi kunang-kunang yang erat kugenggam dengan tatapan yang kekal. Dalam hening yang tak sepi denganmu.Kita adalah binar jiwa yang memainkan dawai cinta dengan segenggam ranggam.Aku jatuh satu-satu hingga kau rekatkan aku dengan dekapan do’a.
Mataku mungkin setia merapat,
tanpa sepercik cahaya-Nya yang maha Magfirah.
Bawakanlah aku sekepal senyuman
di tiap jilid nada dalam relung kehidupan
Waktu mungkin terlalu tua, untuk kita
mengais-ngais ilmu yang ada dilembar halaman.
Mungkin di dunia lainlah, tempat aku
dan tempatmu..
Abadi menetap satu menahutkan rindu
Langit belum kering, hujan yang jatuh hari ini.
Aku melangkah menyimpan sisa wajahnya, berjalan di sekitar
Dalam kesekian hening, gulita tanpa rasi bintang
Di dadanya, aku mendengar nafas
Dia ingin aku menjadi jantung, yang berdetak
Di tubuhnya..
Dari ranjang, dia menyembunyikan penutup mataku
Mengemudikan sepi di riak jalanan sungai malam.
Bukankah sang Permaisuri telah menjadikan indah mimpi?
Namun, ia kembali menatap segumam filsafat
Membuat tumpahan tanya disaku bajunya
Lantai-lantai basah, jendela menuturkan
Sisa cahaya.. Di satu hati,
Aku melangkah menyimpan sisa wajahnya, berjalan di sekitar
Dalam kesekian hening, gulita tanpa rasi bintang
Di dadanya, aku mendengar nafas
Dia ingin aku menjadi jantung, yang berdetak
Di tubuhnya..
Dari ranjang, dia menyembunyikan penutup mataku
Mengemudikan sepi di riak jalanan sungai malam.
Bukankah sang Permaisuri telah menjadikan indah mimpi?
Namun, ia kembali menatap segumam filsafat
Membuat tumpahan tanya disaku bajunya
Lantai-lantai basah, jendela menuturkan
Sisa cahaya.. Di satu hati,
Sujudku retak, Kekasih.
Ingin bertemu. Mengadu cerita..
Di sejadah waktu Engkau, aku jadi batu
diam dan bisu dengan tengadah do'a.
12 Juli 2011
Sepanjang jalan, hujan belum jadi tepi
Hujan bayangmu, lelaki
Suara empat kaki kucing
Saling bersaing.
Diam-diam aku memakamkan senja
Mencuri sunset dari hijau matamu
Dan menjadikan mata tengah kepala
Delapan puluh empat kursi berisi sebagian bisu.
Memahat prasasti, segelas tawadhu di kuku waktu.
Lantas akan kemana kutemukan tentangmu ?
Sementara hati sedang berkeliling di hilir do'a.
Di sini, tempat sesunyi sabit bertengger.
Sepanjang lorong, orang-orang karam di cangkir kopi.
Dengan sepasang rayap yang tumpul giginya
Sebagian darimu, hendak meragas ke wajahku yang pucat.
Gontai jalan-jalan yang fana kembali dari jahiliyah
Memahat prasasti, segelas tawadhu di kuku waktu.
Lantas akan kemana kutemukan tentangmu ?
Sementara hati sedang berkeliling di hilir do'a.
Di sini, tempat sesunyi sabit bertengger.
Sepanjang lorong, orang-orang karam di cangkir kopi.
Dengan sepasang rayap yang tumpul giginya
Sebagian darimu, hendak meragas ke wajahku yang pucat.
Gontai jalan-jalan yang fana kembali dari jahiliyah
Katakanlah jika aku mengerti cinta
dari batang kesumba yang hilang-
bagian, atau tumbuh dari kekar api neraka -
menjadikan kaki syurga
Begitu nyata.
Katakanlah jika aku memberkati cinta
Padamu, muasal aku menumbuhkan duri
Dari mahkota bernama gembira
Yang menjadikanmu penyamun lara
Akibat gumpalan rindu yang tak terkira.
dari batang kesumba yang hilang-
bagian, atau tumbuh dari kekar api neraka -
menjadikan kaki syurga
Begitu nyata.
Katakanlah jika aku memberkati cinta
Padamu, muasal aku menumbuhkan duri
Dari mahkota bernama gembira
Yang menjadikanmu penyamun lara
Akibat gumpalan rindu yang tak terkira.
: Asmansyah Timutiah
Seperlima laju keadaan jadi payung cuaca, kang
dan mereka hilang tanya dan lebam diwajahnya.
- mereka berpikir ini tahun kesekian
dengan do'a yang ditanggalkan
di tali jemuran tentangga ketika hujan berjatuhan.
Lalu, langkah-langkah itu ikut membualkan sepi
bersamamu. membawa busur panah. mata pagi
dari pucuk embun dan kuncup bunga
menjadikan mekar tubuhmu..
Lagi menulis dilipatan secarik kertas
Seperlima laju keadaan jadi payung cuaca, kang
dan mereka hilang tanya dan lebam diwajahnya.
- mereka berpikir ini tahun kesekian
dengan do'a yang ditanggalkan
di tali jemuran tentangga ketika hujan berjatuhan.
Lalu, langkah-langkah itu ikut membualkan sepi
bersamamu. membawa busur panah. mata pagi
dari pucuk embun dan kuncup bunga
menjadikan mekar tubuhmu..
Lagi menulis dilipatan secarik kertas
Aku tiba di sebuah pemukim orang Qurais
mengikuti jejak Sa'ad bin Abi Waqqas
bersama bulan, mata dari lampu langkahku
Surat At-Taubah ayat 4, berulang aku menjadi
bunyi ayat-ayat suci itu.
Sekawan Ash-Shabi telah terpanah, bertubi-tubi.
darah mereka dipungut dan diperebutkan
Di padang gersang dipuja diperhatikan
dengan do'a yang kini berbicara dengannya,
setelahnya dikenakan kain kafan yang bertahta mulia.
mengikuti jejak Sa'ad bin Abi Waqqas
bersama bulan, mata dari lampu langkahku
Surat At-Taubah ayat 4, berulang aku menjadi
bunyi ayat-ayat suci itu.
Sekawan Ash-Shabi telah terpanah, bertubi-tubi.
darah mereka dipungut dan diperebutkan
Di padang gersang dipuja diperhatikan
dengan do'a yang kini berbicara dengannya,
setelahnya dikenakan kain kafan yang bertahta mulia.
Kekasih, malam begitu angkuh
Alangkah rindu mebuncah
Ingin menyeretmu dari jarak sana
Urungkanlah tangismu, Kasih
Kau seorang pelaut
Dan aku akan membalut lukamu
Seusai perang, dari luas samudera
Dan jurang sebuah palung dasar
Rindu yang mengepal-ngepal awan.
Alangkah rindu mebuncah
Ingin menyeretmu dari jarak sana
Urungkanlah tangismu, Kasih
Kau seorang pelaut
Dan aku akan membalut lukamu
Seusai perang, dari luas samudera
Dan jurang sebuah palung dasar
Rindu yang mengepal-ngepal awan.
lilin-lilin malam. bayang dari yang meleleh dalam-dalam. Sekumpulan gumam, atau racauan yang perlahan karam?
Ada dua yang sedang separuh terpisah. Saya jadi bagian dari redup mata-kepala, raut bulan. Lolongan anjing yang malang, atau pekik suara kucing sedang mencari tikus yang kencing dikolam. Kemarau memanggut dibathinnya.
Ada dua yang sedang separuh terpisah. Saya jadi bagian dari redup mata-kepala, raut bulan. Lolongan anjing yang malang, atau pekik suara kucing sedang mencari tikus yang kencing dikolam. Kemarau memanggut dibathinnya.
/1/
gamang memelukmu
berlari liar menerbangkan batu tua
di halaman dada-dada angkasa
lazuardi berdiri dan bertasbih
seperti sujud malam,
rebah dengan telapak penuh garam.
gamang memelukmu
berlari liar menerbangkan batu tua
di halaman dada-dada angkasa
lazuardi berdiri dan bertasbih
seperti sujud malam,
rebah dengan telapak penuh garam.
Ketika itu mungkin aku jadi seratus bulu matamu
mengedip sama. Menutup satu-satu dengan ragu.
- air mata yang sia-sia
Ada Thales yang mati hari ini, dalam jubah yang digantung.
dari dua mata yang menutup selamanya dengan setia
di tubuh rapuh, menanam biji-biji layu.
Pagi mulai surut
Aspal-aspal dihitam bulat roda
Tapal kuda banyak berjejak
Di sepanjang jalan Pancasila
Angkot-angkot menagih muatan
Becak, dan andong saling menunggu
Dengan wajah gerah.
Aku masih berjalan diatas dua roda
Sepedahku dengan cepat mengundang
Petir dan halilintar di jalan yang tidak -
Aku tahu namanya. Kota Tasikmalaya
Begitulah paru-paru terbakar di dalamnya
Aspal-aspal dihitam bulat roda
Tapal kuda banyak berjejak
Di sepanjang jalan Pancasila
Angkot-angkot menagih muatan
Becak, dan andong saling menunggu
Dengan wajah gerah.
Aku masih berjalan diatas dua roda
Sepedahku dengan cepat mengundang
Petir dan halilintar di jalan yang tidak -
Aku tahu namanya. Kota Tasikmalaya
Begitulah paru-paru terbakar di dalamnya
/1/
aku tidak bisa sedekat itu dengan alas kukumu
silau cahaya buatku tertunduk mengembalikan ingatan lampau
melangkah melewati sampah-sampah setelah rumah tangismu
kamu tidak akan pernah tahu
seberapa banyak coretan penuhi catatan bathinku
liriklah barang sebentar, aku menunggu dua matamu
di lampu tua, pinggiran jalan-jalan yang mengatarkan
kehidupan -
pada kematian.
kemarin aku sendirian di dunia ini, kekasih
di dalam gerbong, antrian dari sebaris diam
dan kesendirianku yang tak terjamah,
sebengis dari kematian…
kemarin diriku hanyalah perintah kata yang tak bersuara…
di luar jendela, di dalam pikiran malam.
di ambang perbatasan. kehidupan.
: Reski Handani
Dua puluh dua berlari dari halaman sejarah
Berumahkan laut dan seikat bambu tajam.
Dengan kail arah pada raut sang pemanah.
Tanpa pejam.
Membakar akar rambut mengemasi sedari yang jadi
Sekamar kepala menjatuhkan air asin, menarik sisa.
Lengkap dengan busana hujan yang dibawa basah –di dalam.
Engkaukah..
Dengan pemancing tawa, penata halaman dari yang tersedia.
Tangkai perahu yang berdemaga di tepi lautan, bintang pemimpi
Segenggam nadi kata terus berdetak jadi padma tak bergelap.
Lelagu di dasar memarkirkan pecahan keringat di dahinya
: Rangga Umara
Di samping jiwamu, ada aku.
Berjalan mengemudikan sisa waktu
lampu-lampu Tuhan dan segelintir mata tahanan
-keheningan yang membilang
Aku bersembunyi di senyummu, menulis dengan sebiji kapur.
Ketika pemuda kecil meniup lilin kehidupan. Menyalakan yang baru.
Ketika aku merapalkan do'a dibalik deras hujan.
... jari kelingking yang gigil.
Aku tiba bersama waktu dengan gerobak
berkayu tua dan rayap yang giginya ompong dua.
Ada ibu diroda yang berputar, membawa tulangtulang ayah-
menggelinding di sepasang cincin bermata cinta,
separuhnya telah retak.
Kakiku berjalan ketika itu, dengan kursiroda yang berlari.
Banyak lubang dalam-dalam menanamkan bom-bom teroris
yang mati kemarin. Memeluk sepi sepanjang kematian.
Ayah berpesan. "Tanamlah bom itu ditempat yang sesuai."
: Di diriku aku menanam bom.
Ini aku.
Genangan penantian-
tentang mimpi-mimpi yang sama
dia miliki.
Kepada bintang timur seusai takhbiratul ikhram.
Inilah
Aku yang menyanggupi dalam senyummu,
yang ketika itu dia tahu.
Aku sembunyi
........ dikecil airmatamu.
Ini adalah aku.
Sebaris nyanyian sore,
--membatik do'a kematian di tubuhmu.
Dia paham aku telah terkubur lama, dan
tinggal dalam menara kehidupan anak nelayan.
Mengarungi tubuh usiamu. Dari Zaman Paleolitikum.
.....dari palung dua telapak tanganmu.
Pada persimpangan catatan waktu
kita bertemu dengan secarik lembar ukhuwah
kulihat luka berpendar di pipimu,
........saat seujung ucapkan pisah.
Senyumku mungkin mengering karenanya.
Kita mengambil sisa kapur yang telah patah.
Papan hitam. Penggaris panjang. Kata serta angka-
Jam dinding kusam.
Bangkubangku tua dengan wajah kemasan.
Dari kacamata-
yang retak sebelah.
kecuplah aku dengan senyummu
biarku istirahat disepanjang ranjang ini,
kedua mataku telah terjatuh dalam penutupan;
biar sajak-sajak membalut lembut. kolom-kolom jiwa.
--merentangkan mungil tiap kepala do'a
bergetaran dan menyejukkan jiwaku;
terbangkanlah dawai-dawai harpa petikan dua tanganmu
dari sisa tulangtulang di persimpangan jalan yang mengantarkanku.
bisikanlah bayangan Tuhan dan singkapkan tabir duka hatiku.
seseorang datang di bulan Mei.
selaci do'a, dan berkantung sujud
dalam tiap roka'at.
melagu luruh
sebidang luh mata arah
hari-hari awalnya penuh rencana
dari api yang surut membakar koarkoar
trotoar perkampusan tragedi semanggi.
dia mengingat wajah Monalisa
atau ibu Raden Kartini, wanita dengan bahasa.
kisah pelangi dengan tujuh bidadari membawa warna.
/1/
sepertimu ..
tidak ada kamar yang kosong tanpa jendela
sisi dari ubin dan lampu yang bersitatap muka
serupa aurora dalam bilangan jantung hati
atau karmina
dari dua baris yang menetap setia.
danau api melebur batangan emas menjadi berharga ..
kutinggalkan raut pintu waktu, di depan jarimu.
jangan meminjamkan aku keladi
dari serat benalu dalam inang bunga
Bunga Anggrek. atau melati yang berjalan
gerah di puncak, serambi berkurva hati.
engkau tertunduk, menutup buku.
duduk dibawah kenari yang bernyanyi
setelah tangis adzan dari kaum perantau
tertidur di dalam lemari dengan belati.
............galau kemarau...............
dalam guci kita umpama menanam biji matatinta
dan mereka berdiri, menggenggam pedang-pedang sahara.
menari dengan Rumi, atau Kahlil Gibran kian merahimkan cinta.
membara.
kata dan angka, lalu menunjuk Esa.
02 April 2011
Sebelah dari hati yang kumiliki jadi rautmu, Dik. Malam ini, Aku ingin membilang malam bersamamu, menuntunmu tertidur dipankuan pundakku. Celotehmu saat usia baru menginjak Sekolah untuk pertama kalinya. Tapi kini, volume tubuhmu bertambah. Wajahmu semakin tampan, dengan tatapan yang diwarisi dari mendiang ayah.
***
“Kaka sangat merindukan sandarmu ketika tangis membasahi baju, menyediakan lautan garam yang parau menuju Oase. Di mana Kaka mengembara jauh, Dari Gobin menuju Sahara. Gurun-gurun yang tertidur membawa jejak pada pepasir, yang hilang kemudian.”
- Ilustrasi Image : Search Google
Hari itu, awal pekan dibulan Februari. Sebelum bulan-bulan yang kaku kulewati tanggal dan jamnya. Tidak ada banyak yang kulihat di sini. Dalam ruang yang telah lama menimbun kejenuhan dan kepengatan dari berbagai batas dan larang. Tetapi, sekali lagi aku mengingat ini bagian kecil dari bekal makna hidup, jalan yang baik untuk coba kukemudikan.
Aku mengenalmu
Seperti pada simbol yang tertera
Pada hitam papan keyboardku
Di mana aku mengetik sebuah isyarat
Dan kau yang menghadirkan ruang itu
Menjadi perintah yang tertata ruah.
Aku mengenalmu
Laku pada sebuah suara
Suara yang berbeda-beda.
Apa saja ada. Mulutmu berbicara
Pada dua speaker gagahku.
Dengan keras kauadukan malas bisuku.
Dengan pelan, tiduri semua gusar berjalan
Ditaman banjir kemarauku.
Tapi, bukan pada unit CPU
Ada kau yang kukenal ada. Sebab
Bukan otak yang selalu berpetak
Dengan wajah kotak. Katak-katak
Retak. Mengatur tindak. Hanya saja
Bukankah kau, merayu proses pada wujud
Terciptanya sebuah gagasan akan perintah
Lalu terciptalah lagi sebuah perangkat
Lunak agar brainware dapat mudah. Menarikan
Klik dan klik lagi. Pada tikus berasumsi listrik.
Namun, jelas kumengenalmu
Sebagai engkau yang ada bersembunyi
Di balik kumis manismu itu...
*terinspirasi dari seorang ahli tehnik yang berjasa ..
30 November 2010