With Mith (Lipatan Takut dan Sepi)

By Afrilia Utami - August 04, 2011


  • Ilustrasi Image : Search Google 
Hari itu, awal pekan dibulan Februari. Sebelum bulan-bulan yang kaku kulewati tanggal dan jamnya. Tidak ada banyak yang kulihat di sini. Dalam ruang yang telah lama menimbun kejenuhan dan kepengatan dari berbagai batas dan larang. Tetapi, sekali lagi aku mengingat ini bagian kecil dari bekal makna hidup, jalan yang baik untuk coba kukemudikan.


Aku membuka mata dan beberapa kali hembuskan nafas. Sesekali aku mencoba menaikan kaki untuk melangkah secara bergantian, masih dalam lambat. Aku mengingat bagian yang pernah Mith lontarkan padaku dalam hal sulit ini. “Mematikan perasaan. Dan ini penting –tidak hanya bagi orang seperti aku, yang tinggal menanti ajal, tapi juga bagi orang yang masih berpikir sehat dalam mendampingi keadaan jiwanya.” Ya, itu yang perlu aku lakukan dan tentu aku bersyukur, dapat berjalan kembali, memiliki pondasi tanpa ketergantungan benda. Merasakan udara yang kuhirup. Atau membuka jendela inderaku, meski tak semudah dulu.

Ketika itu, aku sedang berusaha keras untuk melelapkan rasa sakit di tubuhku, meredam beberapa sesak. Dari pintu aku mendengar beberapa langkah dan suara-suara asing mendekat. Kemudian pintu terbuka, seluruh yang gulita dibiarkan pergi ketika pintu itu terbuka. Ada dua senyuman yang mekar juga lambaian tangan dari dua orang yang sudah tak asing kukenal. Mith dan Peter. Mereka membawa cinta di sekantung tatapan hangat rengkuhan mata.

“Akhirnya, aku dapat melakukan ini, Afril... aku tidak hanya menanti kehadiranmu untuk menjengukku. Tapi kini aku dapat melakukan hal yang biasa kau lakukan untukku.” Mith tersenyum, dalam senyumnya segala yang muram dibenakku ia hapus.

Aku tersenyum, “Jangan ada embun pagi di matamu. Aku merasa jauh lebih baik sebelum keadaanku yang lalu, percayalah..”

“Aku tahu tentangmu, dan itu cukup untuk membukakan pintu rasa selebar-lebarnya. Sudah lama aku ingin melihatmu, mendekap anak perempuanku. Tapi sekali lagi aku harus mengubur apa yang ingin kulakukan untukmu. Aku tidak bisa memelukmu..”

“Mendekatlah Mith, aku sudah lama kehilangan rasa hangat dihitungan hariku..” Aku berusaha sekuat mungkin, dan itupun mendapat bantuan dari Peter. Aku memeluknya kesekian kali, lagi. Bukan untuk terakhir kali –itu yang kucatat.

Pendekatan Mith betul-betul membawa rasa gusar dan khawatir itu hilang. Dari rasa takut itu kita biarkan, apabila kita menerimanya seperti ketika mengenakan sebuah pakaian yang sudah biasa kita pakai, kita akan berkata kepada diri sendiri, “Sudahlah, ini hanya rasa takut. Aku tidak akan membiarkannya mengendalikanku, aku berhak takut, juga berhak untuk menyingkirkan rasa takut itu. Aku memandangnya seperti apa adanya.”. Samahal dengan lipatan kesepian : kita membiarkannya datang dan menyediakan suguhan di dalamnya. Kita membiarkan airmata mengalir  dari kering mata agar kembali basah karenanya, kita membiarkan diri merasakan secara utuh –tetapi pada akhirnya kita sanggup berkata, “Baik, begitulah rasanya ketika aku kesepian. Aku tidak takut merasa sepi, tapi sekarang aku akan menyampingkan rasa sepi dan sadar bahwa di dunia ini emosi-emosi lain masih ada, maka aku akan mencoba mengalami semuanya.”

“Afril... aku perlu untuk meredam rasa ketakutan ini. Dan kita akan bergenggam tangan, maka akan banyak cinta yang mengalir di antara kita. Tiap pagi, aku perhatikan tumbuhan yang tumbuh di dekat rumah, seberapa kuat angin berhembus yang masih bisa kurasakan. Karena aku tahu waktuku mungkin tidak akan lama lagi. Aku tertarik menghayati alam seolah-olah baru pertama kali melihatnya. Dan Aku heran, mengapa aku berani membangun banyak harapan di tengahnya.”

“Tanpa harapan, mungkin kita tidak akan terbiasa untuk menjalani hidup dengan arti antara perjuangan dan pengorbanan akan rasa takut tidak tergapainya harapan tersebut. Seperti katamu, mengabdikan hidup untuk menciptakan sesuatu yang mempunyai tujuan dan makna hidup.” Menarik nafas, “Mith, awalnya aku tidak terlalu berharap banyak, tetapi untuk hal ini aku berani berharap lebih dari yang lalu. Kita akan jadi dua tangan yang saling menggenggam  atau sepasang mata yang menatap searah yang sama, atau cinta yang tak pernah berkurang, karena banyaknya bergantian datang membekal bahagia itu ada dan nyata. Cukup menjaga dan melindungi apa yang masih bisa kita lakukan.”

Lanjutku “kita belum lengkap menghitung kuku-kuku di tubuh, Mith.. dan berjanjilah dengan genggam yang sama. saat pertama kita menuntun hitungan, membilang apa yang hilang. katakanlah, ada yang lebih dekat dari ruang yang renggang ini.”

Tangan Mith, semakin erat menggenggam tanganku yang sudah tak selincah dulu.   Penyusutan tajam fisiknya kuperhatikan. Tetapi semangat dan jiwa kasihnya tak ada kata surut atau kemarau sekalipun tanpa meskipun..

Dalam ruang diagonal origami
Lipatan takut, sepi hanya segaris berkas
Yang tak perlu diperpanjang –berulangkali.
Cukup dipelajari tiap yang berbeda
Dari akar hingga pucuk yang berjalan–rangting usia.

12 Mei 2011

  • Share:

You Might Also Like

0 comments