Sebuah Ode Sederharna : Angka 22

By Afrilia Utami - August 04, 2011

 : Reski Handani

Dua puluh dua  berlari dari halaman sejarah
Berumahkan laut dan seikat bambu tajam.
Dengan kail arah pada raut sang pemanah.
Tanpa pejam.

Membakar akar rambut mengemasi sedari yang jadi

Sekamar kepala menjatuhkan air asin, menarik sisa.
Lengkap dengan busana hujan yang dibawa basah –di dalam.
Engkaukah..
Dengan pemancing tawa, penata halaman dari yang tersedia.
Tangkai perahu yang berdemaga di tepi lautan, bintang pemimpi
Segenggam nadi kata terus berdetak jadi padma tak bergelap.

Lelagu di dasar memarkirkan pecahan keringat di dahinya


Dua puluh dua sambil dengan wajah
Menggoreng kepiting, udang, dan kemerang-
Dekat dengan kapal kenanga,atau tentang segala yang riang.
Merebus kapas debu, asap jalanan, tangisan sembilu
Di usia baru. Aku mendengar kedatanganya  --bertubuh.
     Pada dua puluh tiga...

Menelusuri lenganlengan angin, meniti detak dengan do’a

Mei 2011
oleh Afrilia Utami pada 24 Juli 2011 jam 10:55
/1/
Melingkari malam dengan jari di atas panci yang mengukus sunyi. Cicak berenang di tengah kuah tanpa garam, merica atau bubuk rempah-rempah, menunggunya mengepulkan permata dari airmata yang tergelincir.

Di kolam tua
Cermin menghantu
Gemeretak di hati

/2/
Permintaan itu tersasar dan kini sedang menunggu kabar dari waktu dipemberhentian, halte. Dia tahu matahari akan pulang, dan dari langit yang mulai berjatuhan. Ia membalik badan dan pakaian, mengeja tubuhnya yang gigil karena orang-orang bugil tengah menertawakannya, dengan gila yang sebenarnya mereka punya.

Di barisan tunggu halte kota 
Menjelang gila menyalakan api
Orang-orang bercukur bulu, satu-satu. 

2011

  • Share:

You Might Also Like

0 comments