FootNotes

By Afrilia Utami - August 23, 2011


_ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ __ _ _ _ _ __ _ _ _ _ _ _ _ __  _ _ _

Akhi, di jendela tidak ada siapa pun. Ana melihat kekosongan, yang belum memenuhi isi. Ana buka buku berulangkali, tapi Ana bingung akan membaca dan menuliskan apa? Sebab kata-kata telah terpenjara. Akhi, Ana ingin melihat Akhi di sini, jam-jam melompong, ketika Ustad itu belumlah tiba. Ana menarik penggaris 30cm, Ana jadi kembali teringat. Akhi, setia membuatkan garis dipembatas surat-surat yang dititipkan untuk Ana.

- -------
-------------------------------------


Akhi, selepas Dzuhur, tiba-tiba Ana bertemu dengan Ikhwan, mirip dengan Akhi. Sungguh. Ikhwan itu membawa beberapa kitab di rengkuhan dua tangannya, sesekali Ana perhatikan, Ikhwan itu seperti menghindar dari ketukan mata angin. Ana mencoba menerka-nerka, dan bertanya-tanya. Namun Ikhwan itu lekas mempercepat langkahnya, seperti ada petir yang mengejarnya. Ana mencoba melukiskan lekuk wajahnya, ya .. mirip sekali dengan Akhi. Akhi, hanya memperbolehkan Ana untuk menyimpan senyuman Akhi diam-diam di airmata lukisan ini.

- --------------------------------------------

Akhi, hari ini terasa rumit. Beberapa masalah dan ujian bertubi-tubi dihadapan Ana, Akhi jangan dulu marah, karena Ana sungguh merasa senang, Ana tidak mengeluh, Akhi. Ujian dan masalah yang akan menaikan derajat Ana dihadapan-Nya, insyaAllah. Do'akanlah ana, Akhi. Agar kerumitan ini memudah jalan ana menemukan ilmu. Menemukan makna kehidupan. Akhi, ana ingin sekali berbincang dengan Akhi. Ana merasa perlu berbicara, setelah lama ana membisu. Syukron, Akhi.. Akhi masih menemani ana dalam keadaan apapun.

- --------------------------------------------

Akhi, seseorang yang sempat ana ceritakan baru saja hadir. Ia membawakan cahaya dari ranum senyumannya, sesekali ana malu dan mencoba menundukan wajah. Akhi, di ruang tadi ana begitu ingin berdiri memanggil namanya. Tapi di dada ada yang lebih bergemuruh sesak, dan ana harus menahan sakit itu kembali, Akhi. Akhi jangan bersedih, ana baik-baik saja. Ana akan menjaga kesehatan ana, untuk kesehatan Akhi di sana. Husnudzonlah, Akhi.. Sebentar lagi, magribh. Ana ingin sekali menyiapkan tajil untuk Akhi.

----------------------------------------

Akhi,Ana kembali teringat. Ketika ana membaca angka dan dari tiap penjelasan. Ana teringat dengan akhi.. biasanya Akhilah yang selalu tahu mengapa ada akar dan kuadrat yang perlu disederharnakan.Meski ana tahu. Terkadang ana selalu kalah cepat dengan akhi. Dan kita selalu bersaing tercepat pada akhirnya. Kini sering kali ana menyelesaikan lebih dulu dari yang lain, tapi tidak ada Akhi di sini. Akhi, ana enggan dengan angka.. namun angka adalah kepastian, berbedahan dengan kata. Dari kelas ini, mungkin ana akan membilang keterhilangan jarak tanpa akhi. Akhi tahu? judul buku yang menjadi santapan kita selain kitab kuning? selain Khalil Gibran atau Jalaludi Rumi. Akhi selalu menarikan jari untuk menuliskan secarik bait, atau sepatah paragraf untuk ana sambung di bawahnya. Kini tidak ada lagi seseorang itu mengirim sebait nada kata yang sederharna, yang menabung sejuk di hati ana.. Kapan Akhi kembali?

Agustus 2011

  • Share:

You Might Also Like

0 comments