Sahabatku yang katanya Atheis Telah Berpulang Entah Menemui Tuhan yang Mana

By Afrilia Utami - October 28, 2012


Sejak pagi, lonceng nyaring dibunyikan. Banyak suara agama menyerukan nasibnya sendiri. Entah bagi Tuhan. Kukatakan pada  seorang Atheis, sahabatku itu. Tuhan tak mau sombong, pura-pura datang. Lalu pergi untuk meninggalkan kepedihan lebih berat. Dunia serupa tabung, dan hampa waktu adalah bunyi sunyi. Kitab-kitab suci berputar.

Seorang sahabatku itu, mengajakku naik ke lantai atas. Lebih atas. Dalam ajakannya, kami harus melompat dari atas sana. “Apakah Tuhan akan menolong? “ Tanyanya. Lekas aku membalikkan badanku, yang sudah tak sesegar bunga melati pada pagi harinya. Ia menyekaku dengan lancang. Aku marah, tapi kemarahan yang sedang hinggap tak ia lihat. “Jika mau mati dengan cara sia-sia, jangan ajak aku!” Begitu marahku padanya. Ia memikirkan lama seolah ia berpikir kematian terlalu lama ia dapatkan.

Aku lalu pergi, tak berlari, tapi pergi. Ia menyusulku akhirnya. Lalu berkata, “Mengapa Tuhan menciptakan perbedaan?” katanya langsung menyeka. Aku diam, karena ada marah yang belum sempurna cair. Lalu aku berjalan lagi meninggalnya. Tapi ia keras menyusulku kembali. Aku menarik nafas, “mungkin bukan Tuhan yang menciptakan perbedaan. Jika pun ternyata ia memang menciptakannya. Tuhan menciptakan cinta untuk menyatukan.” Aku terus jalan lagi, tak menunggu apa lagi yang akan keluar dari mulutnya.

Beberapa pergi dengan diamnya, beberapa pergi dengan tangisnya, dan hanya beberapa saja pergi dengan senyuman di hatinya. Apakah hatiku sedang tersenyum, aku ingin menanyakan ini pada malaikat di dekatku. Namun malaikat pun tak terjamah olehku. Siapa yang bisa kutanya? Tuhan pun tak bersuara langsung menjawab tiap pertanyaan hambanya. Jalan-jalan yang gelap, tapi ada lampu kecil di sana. Lentera yang seperti lilin kecil itu berada diujung jalan.

Tak ada pilihan lain, selain mematuhi aturan hidup ini. tak ada. Bahkan apa yang ada? Apa yang tiada? Semua diam dengan misterinya. Apa ia tahu, lama aku bertarung di dalam diriku sendiri. Tapi Tuhan tak pernah mau tahu, ia telah maha segala tahu. Apakah ia tahu? Wajah bathinku berlinang dengan kesedihan yang tak terduga-duga hebatnya? Aku menulis lagi, aku membaca lagi. Ayat-ayat sunyi, sejarah-sejarah yang tak pernah mati.

Aku juga akan mati. Yang hidup ke mati. Dan begitu fasenya. Apa yang telah kita buat? Apa yang telah kita lakukan, hingga banyak bencana datang. Banyak kesakitan melanda. Tapi yang sedang bertahan sendiri, tetap hidup. Dalam hidup, dalam gerak yang minim, dalam sanubari doa-doa agung. Ke mana hendak bulan berpangku di langit yang luntur, sehatkan matahari di sana? Aku ingin melihat sendiri bagaimana perjalananku bermula, Tuhan.

Sahabatku datang. Tapi aku tak melihat kedatangannya dengan mata. Aku merasakan kehadirannya lagi, dengan bentuk yang berbeda. Ia telah mati, membunuh kepedihannya sendiri.

  • Share:

You Might Also Like

0 comments