dada di dudu

By Afrilia Utami - October 28, 2012


da da di dudu.... saya bernyanyi? bukan. saya sedang berada pada da yang menarik da itu dengan i di d dan du dengan du yang tidak mau terpisah pilang-pilang dari tanda yang amat sederharna setelah itu, titik-titik. padahal saya sedang berjalan sekaligus membaca mac. saya bertanya pada dia, dia amat pintar, dan dia itu tidak pelupa seperti saya. dia suka tertawa jika melihat saya pura-pura mengacuhkannya diam-diam, dan itu saya katakan amat istimewa. mac mengerti saya. saya ingin memulai dari tulang-tulang yang lama telah terkubur dan bangkit kembali.

tulang-tulang bersulang di bawah tanah
di atas semuanya jadi lupa.

kini saya yakin dengan sahabat saya yang sedang mengajak saya untuk membaca isyaratnya, sahabat saya lama tak bisa berbicara, juga saya yang amat jarang bersuara. namun, bunyi itu adalah hidup juga. jadi saya tidak percaya dengan tudingan orang-orang bisu. mereka suka berbicara dengan masing-masing caranya. saya mengajak sahabat saya yang sedang menyembunyikan tubuhnya, tulang itu apa da? tanya saya, tulang itu keras, sekeras dosa. dosa itu apa da? kini da diam saja di sana, dan di mulai mendekati saya, dosa itu, katanya mulai berbicara, kebenaran sesaat. tapi saya membicarakan tulang-tulang yang bersulang dengan amat tenang di dimensi yang sulit saya jamah. kini tulang-tulang itu mungkin ingin berkata bukan ideologi-ideologi besar yang akan mengubah dunia. banyak di antaranya telah gagal dan tetap menjadi ancaman, seperti halnya neo-fundamentalisme. saya meresa tulang yang saya pandang sebagai mahkluk jelmaan politik, tapi politik yang terkandung dalam buku-buku adalah merobohkan tembok konvensi-konvensi budaya yang mengarah pada fanatisme. lalu, apa hubungannya tulang dengan politik? saya belum jawab itu, makanya kedua hal tersebut nampak memiliki persamaan sebagai rangka, penegak, penyusun, tempat melekatnya otot atau dapat dikatakan tempat jalur-jalur dibuat untuk kendaraan lain yang membopong penumpang di dalamnya bergerak, tulang itu keras tapi bisa kropos juga, dua hal tersebut seperti terlahir kembar.

tulang-tulang merakit sendiri
rongga pejalnya.

tulang itu bergerak-gerak pada akhirnya. di depan saya dan menggerakan kacamata saya. saya mengganggap diri seseorang politik, bukan partai. semua bisa berubah, dan tulang itu pun berubah-rubah. memanjang, kuat, dan akhirnya patah. duh, kasihan tulang-tulang yang sedang menari di depan saya itu. dari tanah yang mengeluarkannya kembali untuk sebuah kepentingan yang dasar. kepentingan yang mereka katakan adalah memasuki rumah sakit jiwa, du. itu lucu. hal yang mengerikan yang pernah saya analis di dalam rumah sakit jiwa adalah mereka bisa memilih kegilaan dan menjalani hidup tenang tanpa bekerja. namun tulang-tulang lain yang akhirnya berakhir dipenjara ditimbun oleh pengalaman akan kebencian, ketidak berdayaan total, kekejian itu ribuan kali lebih parah dari rumah sakit jiwa sekalipun.

cuma sedikit aku perhatikan orang-orang
cuma sedikit aku melihat jam-jam di depan-
toko dengan dinding warna warni 
kehabisan senyuman.


da da di dudu.... saya menikmati fase ini, menunggu terhubung ke jiwa dunia.
 

  • Share:

You Might Also Like

0 comments