bersama gie, letak kelas ini

By Afrilia Utami - October 28, 2012


Aku di dalam kelas. Dan terkejut akan kedatangan gie duduk di sampingku. Kukira ia tak akan kembali ke bumi. Ternyata ia tersenyum, dan bukan tak ingin kembali. Hok gie, satu di antara banyak laki-laki yang suka menaiki puncak-puncak gunung. Aku tahu kau telah menjadi abu, gie. Bukan terkubur dalam tanah. satu hari setelahnya, di kala itu, adalah ulang tahunmu. Tapi aku tahu kau telah mengetahui kematian di hari itu, atau kah kita sepakat untuk tidak pernah mengetahui kapan kematian kita itu.  Apakah kau sengaja mendekati gas beracun itu? Dan, Di syurgakah kau gie? Gie hanya tersenyum padaku, enggan bersuara, sekali lagi. Laki-laki sederharna ini, memahami yang tertulis, yang kelak akan berangsur kembali atau pergi dan ditinggalkan menuju dunia asingnya. Dengan kepalan kaku di depan dadanya.


Gie tersenyum lagi dengan caranya. Aku tersenyum padanya juga. Kami tersenyum dan berangkapan hari ini kami dianugrahi kemurahan senyum yang indah. Aku melihat tipis bibirnya, sipit matanya. Aku kira hatinya masih merah, cintanya belum mati pada seorang wanita yang dulu ia kejar dengan angin kasih yang ia peroleh dari lembah cintanya. Gie menujuku lebih dekat. Seperti akan membisikan sesuatu, dan ku akui seperti berada dalam mimpi. Aku tak dapat memperoleh keleluasan menggerakan sendi tubuhku. Aku diam, dan begitulah mimpi itu merancang gerikku. Gie terus mendekat, aku takut jika Aku akan membunuhnya kembali.

Dalam kedekatan, yang kuperoleh adalah ia membisikan sesuatu dengan suara yang amat halus. “tuliskan..” dalam bisikannya. Singkat, namun amat panjang kurekam itu semua. Aku harus menuliskan apa lagi gie? Tulisan-tulisan di ladang harau. Yang bergantian menjungjung langit abu. Coba, dalam tulisan ada gie yang mengajariku untuk memimpin reformasi bangsa. Aku menoleh ke kanan, gie berada di kiri. Berpikir lama, tak menjawab juga. Dan aku kembalikan lirikanku pada wajah gie. Ia tengah menuliskan puisi. “untukmu, tulislah.” Gie berkata lagi. Aku diam lagi. Mungkin gie, hanya ingin di dengar olehku. Dan aku tak boleh bersuara dan menjawab. Gie, apakah aku bisa sehat jika terus menulis?

Gie mengangkat kepalanya, duduknya tegap. Meski agak berisi, mendekati lumayan kurus, kataku. Tapi gie baik, mau menerimaku untuk menemuinya. Apa hari tak pernah carut. Aku berada dalam fana, dan kau gie, telah mengetahui kekekalan. Apakah kau lihat syurga di sana? Syurgakah di mana kelak kita semua berada? Atau tak ada apa-apa sama sekali, gie? Seperti katamu yang tak pernah menanamkan apa-apa. Pada kenyataannya, kau telah menanamkan perubahan dalam dunia, kukira. Aku saja yang berkata itu, aku saja yang menuliskan bahwa kau menjumpaiku. Aku harus berbicara apa? Kelak kita membisu lagi, kelak pura-pura hidup ini. Sebenarnya banyak batu-batu menangis. Jiwa-jiwa yang terangkat ke langit tegak yang membiru, yang memutih, lalu menggelap. Denganmu, aku ingin merasai indahnya rasa menjadi aktivis pemuda, setidaknya aku baru bisa sedikit menulis.

  • Share:

You Might Also Like

0 comments