“Layla, Aku akan di sisimu, apapun yang terjadi.. “
“Qais.. Di nafasmu, aku ada.”
Perkataan tersebut masih membekas dihati keduanya. Lama sudah mereka terpisah. Walau jauh, walau jarak yang tak terkira membatasi, serupa gagahnya tembok cina, lebih puncak dari sebuah menara Eifel. Diberanda hati, mereka selalu bertemu.
Luka peluru dibagian pundak kanan Qais, masih membekas. Para rimba menjaga Qais dengan sangat baik, sebagaimana Qais yang sangat penyayang terhadap para binatang dan kehidupan alam. Lewat angin, Qais percaya bisiknya untuk Layla akan tersampaikan. Bahkan sekawanan burung, dan beberapa merpati terkadang patuh untuk sampaikan sebuah sandi-sandi akan nafasnya yang masih berdiri, untuk Layla. Qais terlalu gila mencintai Layla.
“Tiap aku bernafas, aku merasakan engkau ada Layla.
Sengaja aku menunda kematianku. Agar selalu engkaulah
Yang mengenalkan keberadaanmu akan tubuh cinta, kita
Hidup kita.”
Sementara, di tempat berbeda. Layla masih dengan setia bersabar menunggu Qais. Menunggu dan menanti, menanti dan menunggu. Bahkan tidak jarang Layla mendengar sebuah bisikan, sebuah ucapan lembut dan pelan yang membuatkan ketenangan jiwa gelisahnya, resah batin pikirnya. Dari beberapa gemuruh angin yang tiba mengetuk-ngetuk jendela keheningan, pintu dimana guci-guci rindu yang telah purba masih kokoh tersimpan rapih. Meski kini, pada kenyataan Layla sudah menjadi milik seorang lelaki kaya dan terpandang di Kotanya. Tetapi, segenap jiwa dan utuh hatinya hanya untuk Qais.
“Aku ingin mengantongi sebuah tanya. Di mana setiapnya aku tersenyum. Sesudah itu airmataku kuyup membuat pakaian gerahku tak jadi kering. Layla, aku sudah benar gila. Benar gila. Gila yang benar! Yang aku tahu, kini kau sedang belajar bagaimana mencintai gilanya aku ini. Gilanya seorang lelaki untuk mengkawini cinta kepada seorang wanita. Gila... gila.... ya, aku gila!”
Aku ingin menemuimu, Layla!Sebagai matahari yang paling beraniSebagai langit terdalam digenang tatapmuSebagai aku yang mencintaimuSebagai rindu ini,Rindu yang terlalu bisuLelap tertidur dalam lamunanDua waktu.
***
Aku sudah tak mengenal waktu, QaisKarena aku tahu. Waktu hanya berjalanKetika ada engkau di sisiku. Dua mataMasih terbuka, untuk kita saling berkataBercermin dihamparan gurun marunLalu, kita membuat sebuah rumahSebuah Nil, sungai tempat kau dan akuMembesarkan anak-anak kita. KebahagiaanDan tawa, suka. Hanya itu saja.
17 November 2010
0 comments