Qais dan Layla (Part 2)

By Afrilia Utami - December 01, 2010

(Qais dan Layla termagu di waktu sore ini. Saling membaca apa yang terkata untuk terbaca dengan sepenuh  jiwa, mendengar dengan penuh ketenangan. Qais yang lembut mendidik gemulai tingkahnya, masih dalam dekapan. Terlihat mata Layla mulai mengabarkan cerita baru diladang hatinya. Sementara Qais terus saja menikmati tiap detiknya. Sore ini.)


“Adakah waktu yang mengakhiri?
Menatap dua mata disaku hatimu
Lihatlah, Qais..
Aku menanam belati ini di tempat
Paling sudut yang sukar akan kaudapati
Namun mudah tuk menepi pada apa itu sakit
Setipis kuromankan dengan empedu pahit

Masihkah ingin kau dapati madu di danau racun ini?”


“Aku sudah meneguknya beberapa kali
Perkali hangatnya  merebus dingin, kian memilin
Menjadi uap-uap degil malam yang bersiap
membangunkan pagi.
Tidak untuk sore ini, Layla
Madumu hanyalah madu untukku.
Jika racunmu adalah maduku.

Akan kutiba tiap racunmu diliang waktuku.”

“Jangan kau lepaskan, Layla
Aku ingin menggenggammu lebih lama..”


“Hangat genggaman ini nyatanya masih sama, Qais.
dan pada mulanya Aku masih mengenalmu sebagai lelaki yang santun berucap, ramah
Kasihmu membibitkan semangat akan bahagia yang selalu tiapnya
Kau timangkan untukku, bijakmu mengolah ladang kesepian ini.
Qais, akan seperti inikah selalu?
Pada muasal dan berakhir pada apa yang disebut pada pertemuan nisan?”




“Layla, bersandarlah di pundak kananku.
Perhatikan gumpalan awan-awan itu,
Lihatlah sore ini hadirkan senja, secerah
Lampu-lampu yang menata dijendela matamu
Aku ingin melukiskanmu, Layla.
Tetapi setelah sempurna gelap tiba.
Tak ingin satu pun meribakan iri
Pada tiap indahmu menjelang waktu luruhku.

Aku masih milikmu, Layla.
Sedang kurakit nisan kita berdua.
Dan sengaja tak kucoreti dengan satu nama
Tetapi dua nama, purba akan terbaca lain mata.”




“Ya, kudengar kicau lelagu sore ini
Aku mulai terlelap, Qais
Dinyanyikan syair-syair dalam lukismu
Mulanya aku tak sadar
Mulai hidup disamping debar nafasmu
Hingga menjadikan sebuah sahara bertema kita
Ataukah masih Nil yang tak kenal apa itu kemarau

Dan aku milikmu, Qais.
Akan berapa lagi kah berkubik dosa dalam mencintai
Rasa cinta kita?”

“Layla, aku rela mendewasakan dosa-dosa cinta kita.
Sudah lama aku tertidur manja tumbuh di rahim cintamu..
Maka biarlah kutertidur lebih lama menafkahi ladang hijau
Derasnya hilir Nil, bahkan Sahara yang ada padamu, Layla…”

“Aku masih ingin merasakan
hembus nafasmu membelai lembut
ubun-ubun jiwaku, Qais..
kini aku tahu, akan di mana saat nafasku
terhenti..

dinafasmu, ku ada.”

(Tepat ketika Matahari mulai tenggelam, Qais dan Layla masih terduduk berdua di bangku kayu yang cukup berumur tua. Ada beberapa hewan yang melantunkan pesta rimba, mereka gembira bahwa Qais yang sangat penyayang sedang berbahagia akan Layla kekasih yang sangat ia cintai tak jadi pergi mendatangkan asap-asap kelabu. Namun, tiba-tiba pesta seperti mati lampu. Para rimba saling berlari karena panik, akibat letusan senjata berapi dari tiga orang pria berpakaian hitam. Qais tertembak… Qais tertembak! Dan Layla terjatuh tak sadarkan diri setelah salah seorang pria dari ketiga itu membiusnya dengan saputangan. Layla menangis dalam bawah sadarnya.. Layla semakin tangis, kian ringis…. Dibawanya Layla bersama ketiga pria berpakaian hitam-hitam tersebut.)

“Qais, dinafasmu, ku ada…….”


To Be Continued…
24 Oktober 2010

Afrilia Utami

  • Share:

You Might Also Like

0 comments