Qais dan Layla

By Afrilia Utami - November 12, 2010

(Serupa Dialog)

“Telah kutemukan alasan untuk memulai hal baru
Tak sedikitpun maksud hati melukaimu, Qais.
Sungguh leluka ini terus menari dalam nyala api
Bukan kekecewaan kutuai di akhir
Namun sudah berapa kali,
Nyawa telah engkau pertaruhkan.

Kini Aku kehilangan cinta yang dulu kita sucikan
Sentuhan jarimu menggetarkan debaran nadi
Bisikanmu juga bisikku dengan berkas nikotin
Bukan seperti sekarang kau tak kan puas, Qais.
Mati berulang kali disamping tangis
sebelum beranjak dari ringisnya gerimis ini. “






“Aku tak kan mampu melepasmu, Layla.
Aku akan kemarau tanpa hujanmu diladang jiwaku.
Diranah yang berdua kita lahirkan hingga ada.
Hati ini masih membara untuk menghangatkan
Dinginmu. Sungguh, terlalu berat tiapnya detik
Tak disampingmu. Kaulah wanitaku.
Aku hadir di sini untuk ciptakan bahagiamu,
Bukan luka-luka. Untukku, kulihat tiap senyummu.

Kita belum kehilangan cinta yang dulu kita sucikan
Lebih kumemilih setia digenggammu, Layla
Masih ada lagi kata lisan yang ingin kubisikan padamu
Belum selesai cerita kita dilembar halaman besar.
Aku milikmu.. karena itu aku ingin selalu ada bersamamu
Bersamamu. Berteduh satu di bawah gerimis yang manis.”



“Qais, aku wanita yang sukar membaca bahagia untukmu..!”


“Layla, kau tak perlu membacanya. Tapi dengarlah apa arti bahagia untukku.
Aku menderita jauh dari sisimu.”


“Dari mana hilir melaju di sungai tanpa muara?”


“Dari sungai nilmu aku bertemu dengan muara bahagia itu.”


“Aku tak ingin melukaimu, Qais!. Tapi harus apa yang laku kuperbuat
Agar aku bisa pergi meninggalkanmu. Perih kulihat engkau terluka karenaku."


“Mengenalmu dan bersamamu aku tak mengenal apa itu sakit yang kauberikan, Layla. Hanya saja tentang perpisahan kita. Ada luka rindu yang tiap harinya melahirkan anak-anak baru, dan aku kenalkan siapa ibu anak-anak rindu itu. Hanya kau, Layla. Ibu dari anak-anak rinduku  yang tiapnya merengek memanggil-manggil hadirmu.”


“Sulit untukku, Qais. Pun sama masih tentang rindu ini yang urung sudahi akhir kegelisahan, resah dan Ah! Selalu datang, berdenting ditiapnya sepi. Sepi ini selalu menaruh curiga. Akan kerinduan yang sontak menggusar  pada pertemuan. Jangan terlalu lama kau mendzikirkan namaku, Qais. Sebab aku terpanggil ditiap zikirmu memanggil-manggilku.”


“Layla.. maukah berjanji untukku?”


“Qais, aku tak bisa berjanji. Aku takut menjadikannya dusta.”


“Kau akan mendampingiku dengan setia dengan apanya adaku. Tanpa ada perubahan saat awal kita mulai menuai cinta. Sebab, aku terlanjur sangat mencintaimu. Dan aku tak ingin sangat membencimu.. aku milikmu, Layla.”


“Qais, aku masih belajar bagaimana cara untuk aku mencintamu dengan baik. Aku takut dalam pelajaran ini pun aku belajar bagaimana membencimu dengan baik. Kau lelaki yang sulit kuhapus dalam daftar riwayat hidup. Sebab, sama pernah aku terlanjur jatuh dalam dekap cintamu. Tapi aku ragu, untuk selalu bersama dalam waktumu, Qais. Aku ragu bisa membahagiakanmu.”


“apa masih kau meragukan semua itu, Layla. Lihatlah mataku, dan tolong bacalah apa yang sedang kupikirkan saat ini. Aku sangat takut kehilanganmu, Layla. Aku sangat takut bagaimana cara untuk melupakan cinta ini, aku takut! Layla, percayalah padaku. Biar kau anggap aku ini lelaki penggombal, tapi gombalku ini hanya untukmu dan sungguh kali ini aku tak menggombalkan apa pun, aku ingin berbicara dengan kejujuran. Bahwa kaulah wanita yang terindah, dan aku hanya seorang lelaki yang tak tahu bagaimana cara memiliki indahmu dan menjaga indah yang kaumiliki. Layla, kumohon jangan meragukan semua ini. Aku sangat mencintaimu… mendekatlah jika perlu semua ini kubuktikan.”


Bersambung ...

:Afrilia Utami 
23 Oktober 2010

  • Share:

You Might Also Like

0 comments