Lewat Kesunyian yang Berwarna Merah

By Afrilia Utami - November 03, 2011



lewat hujan masih terdengar dzikir
sampaikan pesan dari desir angin.
di mana pun kau berada pada genggam
lewat kesunyian gelap, do'a-do'a panjang
yang melingkari lehermu.

aku melihat api baru terbakar. matahari kurang asin, dan senja yang merah ini kuhabiskan di dekatmu. itu, adalah pertemuan pertama kita, diikuti dengan hujan dan angin, pembukaan yang meriah, menyambut kita di luar gedung.  Ketika itu, aku sempat sembunyi, mencari-cari seseorang dengan nama yang telah rapat-rapat kutuliskan di telapak tanganku, yang hampir basah. mungkin kau tak pernah yakin, aku ini nyata. yang tadi berada di depan matamu. yang akhirnya mata kita saling bersitatap. ya, kita tersenyum. sore itu.

dari barisan kursi lipat berwarna hitam, sedikit empuk. aku senang melihatmu dari jauh sini. meski hari itu, dingin. kau mesti membuat barisan ini seperti harapku, mengakarkan rasa-rasa baru, yang dapat membuatku betah, lebih lama melihat api yang menyala. dari penghayatan suara-suara yang keluar dari mulut itu. bait-bait syair, yang tertutup, kemudian diperbincangkan oleh mulut-mulut yang banyak terbuka. di atas podium, ada kain berwarna merah dan putih, yang terpisah, tak seperti bendera negara. tapi aku cukup melihatmu dari jauh sini. sambil bertanya, apakah waktu telah memperbolehkan kita untuk sua dalam sebuah percakapan hangat? tapi, waktu membiarkan kita berjalan sendiri-sendiri.



hujan belum reda, di luar sana. sementara, ada banyak capung yang ingin ikut berteduh di sini. mereka mengajakku untuk memperhatikanmu. ya, kau terlihat indah memakai kemeja putih itu. aku suka lelaki, dengan kemeja putih, mungkin karena putih, aku menyukai warna. sesekali kita saling berhadapan dengan senyuman, yang memantul dari mata kita. aku senang sekali berenang, sesekali aku ingin mengajakmu, kataku. barangkali memang seperti ini seharusnya, hanya ada aku dan kau berenang di retina mata kita. mungkin, aku terlalu sibuk melupakan, ada rokok yang terbakar di gedung tua itu. aku tak suka asap itu, tapi biarlah, mungkin begitu alasan mereka. namun, aku berhasil mematikan rokok itu di bibirmu, dan kau hanya tersenyum mengeja senyapku di sini. mungkin itu cukup untuk saat ini. sambil mendengarkan deklamasi capung-capung yang kulihat gagah di atas mikropon sana. jam ditanganku lagi-lagi berdering, menanyakan ini waktuku untuk pulang. waktuku tidak akan lama. bahkan, sebelum api itu padam. seharusnya aku tak berada di sini.

tiba-tiba, kita terlintas dalam sebuah percakapan.
"aku ingin membicarakan ini padamu, kutunggu di kantin. ada yang ingin kutuliskan dibukumu. namun aku bukan iwan fals, yang ingin selalu meminjam bukumu itu." begitu katamu, lewat surat kecil yang dititipkan kepada seseorang petugas keamanan.

"sepertinya, kau yang harus menghampiriku di mushola ini. aku ingin mengajakmu berenang, di tempat air wudhu yang berdatangan, mengalir. dan di sini ada cermin kecil. mungkin aku ingin mengabadikan pertemuan kita di sini, di tempat kita saling mencerminkan tentang ini." jawabku dengan kalimat yang rancu.

"tapi aku tak bisa. aku ingin mengajakmu makan bersama di sini. aku tidak mungkin kembali ke tempat yang sudah kudatangi dalam jeda yang pendek." 

"baiklah, sepertinya kita tidak perlu bertemu hari ini." 

kau pun diam, seperti mengaku kalah. kembali memasuki gedung tua itu. aku ingin mengabari setidaknya, aku ini nyata. dan itu cukup, bukan? tapi kata-kata itu seakan pecah di matamu. mungkin benar begitu kata penyair eska, ia memasuki malam, perlahan, tanpa senyuman atau keraguan. demi semua diam, demi semua jeritan terpendam. begitu katanya. dan, disore itu tubuhku kembali berkeringat, ada yang menggenggam erat jantungku, lagi. hingga terasa tiap detak itu adalah tiap hantaman yang mendarat di depan dadaku. aku tidak sadar, nyatanya kau telah berada dekat denganku. kemudian menyelipkan mawar putih di jariku yang sedang sibuk mengepal-ngepal, menahan rasa sakit. bersabarlah, begitu katamu. dan aku selalu ada dekat denganmu, bahkan menjagamu dari mana pun, dari yang tidak pernah kau ketahui, lanjutmu.

senyuman itu, masih kudekap. kurangkul.
barangkali kau akan ke mari
menagihnya kembali.

"sejak pertemuan ini, aku kira, aku tidak akan sempat menikah" tiba-tiba kita saling bercerita.

"mengapa?" pukasku.

"aku tidak tahu. mungkin beginilah. aku telah tahu, di dekatku aku telah menemukan kehidupan. namun aku pun tahu, aku tidak dapat memiliki kehidupan itu." seolah-olah bulan itu turun lebih cepat, kau menunduk dan merapat pada tatap.

kita bisa menyamakan ini. oleh sebuah harapan dan mimpi yang masih mengambang-ngambang di udara. yang berbicara atas diri. mungkin memang demikianlah adanya. usiaku kini, sesingkat pertemuan kita. sebagian senja yang merah, dan angin yang menolak sebuah keberadaan. aku rasa. kau rasa. pada kematian yang sama.

  • Share:

You Might Also Like

0 comments