"Kapan ibu pulang, Yah?" -2

By Afrilia Utami - November 12, 2011



Langit tampak kusam, sayang. Dan hanya antara aku dan anak kita.

"Ayah, Alfan ingin mengatakan sesuatu. Tapi mengapa begitu sulit ya, Yah?" tanya Alfan, dengan tatapan yang menunjukan kuat akan keinginannya.

"Jika begitu, tulislah, Nak. Kadang sesuatu itu sulit untuk diungkap. Dengan kata, mungkin akan lebih mudah. Meski kata-kata masih terdengar bungkam di dalamnya."

"Ayah..."

"Ya, Alfan?"

"Tapi tulisanku masih jelek. Satu huruf saja sulit, Yah. Hanya i dan t yang paling mudah."

"Tidak ada yang tidak mudah, selama kita berusaha untuk bisa, anggaplah mudah segala sesuatu, meski sesulit apapun itu."

ia menunduk.
"Alfan ingin pergi, ke atas sana. Barangkali ibu masih menunggu kita di atas sana, Yah!"

"Tidak, ibu ada di sini. Dekat dengan kita sayang.."

***


Coba dengarlah, apa yang diterjemahkan oleh perakit keberadaan. Aku tahu, kau itu dekat. Kadang, aku dapat merasakan hadirmu, di sini. Dalam lahunanku, seperti dulu. Tertawa kecil, sambil meraih mimpi-mimpi tentang masa depan kita. Setelah menikah. Aku bahagia, aku telah menjadi ayah, karenamu. Tapi mengapa hanya separuh bahagia, istriku? Aku tak dapat mengikis keringat sunyi ini, rindu yang paling kubenci. Tapi aku terlanjur mencintai, adakah benar begini cara yang lebih baik?

Istriku yang juwita, anak laki-laki kita selalu ingin mengungkap hal-hal yang kadang buatku ingin menangis, tapi itu tak mungkin kulakukan dihadapannya. Atau ada airmata kita jatuh bersama, teruraikan genangan waktu. Pelipis antara dimensi, aku, suamimu dan, kau istriku. Orangtua dari anak kita. Langit masih kusam, aku tak tega membisikan ini ditelinga anak kita. Kadang langit sepi itu memiliki bait-bait yang terbang, kemudian jatuh ketika dipandang. Membasahi teras kamar kita.

***
"Yah...! Ayah....!"

"Ya, ada apa Alfan?!"

"Alfan takut, Yah!"

"Takut kenapa, sayang?"

"Alfan takut, ibu sedih..."

"Sedih? sedih karena apa?"

"Karena Alfan menuliskan kebencian, mengapa ibu pergi. Maaf Alfan, Yah!.. Maaf..." Alfan menangis dengan mudah, dalam dekapanku. Aku malah kian meneruskan kepedihan itu, di mataku.

"Sayang, dengar Ayah baik-baik ya. Alfan anak yang baik, selama Alfan menjadi baik dan lebih baik, ibu akan tersenyum untuk Alfan. Jangan membenci, Sayang. Tapi berbagilah cinta, semakin banyak cinta yang kamu berikan. Semakin kebaikan itu memudahkan kebahagiaan yang akan kamu rasakan. Begitulah kehidupan, Sayang. Suatu pekerjaan yang serius untuk tidak terlalu serius." 

"Yah..."

"Apa, Sayang?"

"Terimakasih, Ayah udah jadi. Ayah terbaik untuk Alfan. Ibu pasti sedang senyum, kan Yah? Untuk Ayah. Dan Alfan juga. Ayah, jangan sedih. Alfan takut, melihat kesedihan Ayah.."Kini aku tahu, alasan mengapa kalian begitu sama denganku.
 takut melihat kesedihan.

Aku dan anakku, masih berada dalam pelukan. Juga bersama, istriku..
aku tahu, ia selalu menjaga kami dari sini. Tuhan pun berkata, demikian.
mencintai dengan yang indah, dengan mula dan berakhir pada indah pula
pada kebesaran-Nya. Aku dapat menjadi suami untuk wanita yang kucintai
dan seorang Ayah untuk anak laki-lakiku yang selalu kubanggakan. 

Terimakasih, anakku. Kau sudah tahu, bahwa kehadiranmulah yang mampu membuat Ayah bertahan.
Sebelum tidur, biasanya aku membisikan 'terimakasih telah menjadi istriku' ditelinga kananmu setelah kita berdo'a bersama.

  • Share:

You Might Also Like

0 comments