Separuh Malam, Berlayar di Atas Jembatan

By Afrilia Utami - November 03, 2011


Kudengar malam ini masih bergurau pada sepekat langit yang gelap. Tentang suatu hal. Dingin masih dibawa langkah angin. Tarian manakah lagi? langit seperti mengirim sebungkus kotak awan, jadi kelebat rindu yang akrab diwartakan. Aku ingin berlari, malam ini saja. Mungkin kau akan menemaniku? marilah sebentar saja dari detik yang mengaliri pergelangan kehidupan yang fana ini.

Sudah cukup lama aku tidak melihat paruh itu, jemarijarimu yang menuliskan surat, yang biasanya kau melipatnya dengan hati-hati, kemudian menjadikannya burung-burung kertas, lalu kau sendiri yang menggantungkan itu di jendela kamarku. Katamu, "aku ingin menjadi burung-burung kertas itu, yang tiap pagi akan menyambutmu dari luar jendela sini."

Ketika kita berpikir sama, mungkin derai waktu sedang melagukan nada-nada yang sama. Rindukah ini? belai separuh senyuman, aku ingin membisik kecil tidak jauh dari bayangmu yang melahirkan banyak sapi-sapi yang kuperas susunya tiap aku merasa, ini pagi. Saat aku melihat burung-burung kertas itu.


Masih ingatkah? Sepulang siang, kita biasakan senja berlabuh. Kita menikmatinya dibawah Masjid. Masjid yang selalu membisikan sesuatu untuk kita, menyuruh pulang dan kembali datang, pada selang waktu ditempat yang sama. Aku masih menyimpan kacamatamu yang saat itu terjatuh, dan sebelah kacanya retak. Kacanya kubiarkan retak, agar kau dapat melihat kehidupan dan kisah kita ini secara nyata, hanya dari dua matamu yang memantul dari mataku, yang tertunduk jika berawal temu.

Sepekan yang lalu, aku masih dapat bercerita padamu. Di bulan yang sama aku mulai ingin mengancingkan kisah-kisah dari jembatan jarak ini pada tahun esok yang berbeda. Jagalah petak tentang kisah kita, mungkin Tuhan selalu membisikan cinta-Nya di dua telinga, pintu hati, dan jendela jiwa yang terkadang bebas berterbang meski harus berusaha keras menembus dinding anyaman penyamun rindu.

  • Share:

You Might Also Like

0 comments