(di)hari kematian kita

By Afrilia Utami - November 03, 2011



aku pernah bersandar di kota ini, bersamamu. merencanakan untuk panen, dengan para petani penjual tomat, wortel, bayam, kubis, mentimun, dan nama sayuran yang dulunya rajin ditanam di syurga tanah kita. namun, tiba-tiba langit sepi mengirimkan pelangi-pelangi yang sepotong. dimasa sebelum itu, ruangan ini kedap, mulanya. aku dapat membayangkan bebas apapun dari sini, mungkin aku tahu diluar sedang hujan, tiba-tiba musim kemarau, enam detik sebelumnya adalah musim dingin, itu terserahku, di sini aku yang mengatur dan di ruang ini aku  mengemudikan tubuhku untuk menyeberang menuju jempatan itu. sebuah kota baru terlihat. aku senang, aku menemukan kota, diruangan yang senyap ini. kemudian, aku melihatmu, sebagai elang yang baru turun dari langit. tatapanmu selalu sama. tajam dan membekas. kemudian, kau mengajakku untuk mengerti mengapa semua ini begitu rumit, karena kita harus bahagia. karena kita tahu, hidup ini hanyalah sekali. dan tinggalah sementara bersama waktu, membeli pakan-pakan kehidupan dari yang mati kemarin.

aku pernah bersandar di kota yang sama. melipatkan sunyi-sunyi kecil di dalam saku bajuku, dan sisa dari topimu yang selalu terlihat hangus ketika topi itu tersimpan di atas kursi yang menghadap jendela yang tertutup itu. aku tidak suka dengan penyair, kataku. tapi aku bukan penyair, katanya. tapi mengapa hanya sempat untuk merapihkan syair-syair di kamar mandi, dan lupa mencuci bagaimana senja itu tenggelam di kamar kecil para semut, dan tihang-tihang yang melindungi padi milik belalang, dan ruang tempat aku menghidupkanmu, tanyaku. kamu mengerti, aku tidak mau hidup semudah itu, dan mati secepat itu, apalagi meninggalkan sepi ini denganmu. aku ingin membuat semua menjadi abadi, aku meninggalkan ini untukmu, karena hanya dengan ini aku dapat melihat matamu membaca keberadaanku, begitu katanya.



aku pernah mengenakan baju yang sama. dihari kematian kita.

"coba liriklah sebentar, aku selalu bahagia. karena kau telah mengajarkan arti sepi. hingga begitu berarti. kini, kitalah yang kemudian mengakrabi sepi. bahkan di sini, aku telah terbiasa membaca sepi itu di matamu. di waktu yang seperti kayu dengan api, katamu. aku harus terus membaca. bahkan dari dalam sini. dihari kematian kita"

aku pernah mengenakan baju yang sama. dihari kematian kita. 

  • Share:

You Might Also Like

0 comments