Kekasihku,
terbang tinggi ke awan
Dilemparkan
sayap para dewa
Hingga
hilang, membawa kesenyapan.
Mengapa
harus terbang? Mungkin kita bisa menyeberangi gurun Sahara yang luas, berwarna
abu-abu ketika malam. Atau ilalang? sepanjang mereka menutupi tubuh kita. Mungkin
gletser? tubuhmu tak akan beku dan tubuhku pun begitu atau kita akan sama
menjadi beku. Rintangan bukan halangan untuk kita, bukan? Serta mimpi-mimpi
yang masih berada di puncak bintang yang selalu dilemparkan angin ke arah mata
kita.
Jalan
masihlah panjang. Karena hari ini aku masih bernafas, juga denganmu. Aku ingin
mengajakmu terbang di atas samudera yang sepi. Namun yang kita temukan hanya
pijakan tepian pantai, yang menghempaskan kita berkali-kali. Langkahkan saja.
Kita ada untuk cerita ini. Takdirku tak tertahan dalam kebisuan ini, tapi
denganmu aku ingin tahu. Mengapa sepanjang waktu, aku kerap bertanya, dan
berdo’a. kuingin kau di sini. Aku belum dapat terbang sepertimu. Dari hari ke
hari. Dari kepala ke kaki. dan dari aku ke kau. Dan, dari kesunyian yang
panjang ini.
Percayalah
harapan itu masih ada, begitu katamu. Tapi lukaku belum sembuh, kataku. Biar
aku menjadi benda-benda itu dulu, agar aku dapat membalut lukamu, dan membuatmu
dapat terbang meraih apapun, lagi katamu. Tapi kau akan mati dengan begitu,
kataku. Aku mati berulang-ulang melihatmu seperti ini, luka tumbuh ditubuhmu,
dan aku tak sampai ingin membuat hatimu pun terluka, begitu katamu. Jangan,
mungkin begini yang bernama takdir. Kita ada untuk cerita ini, begitu kataku.
Aku tak ingin kesendirian di antara kita, lanjutmu, biarlah sesaat pertemuan
ini mempertemukan muara matamu dan mataku. Sebenarnya aku tak berani terbang
sejauh apapun, karena aku selalu datang dalam tiap mimpimu, pejaman matamu.
Semenjak itu aku hidup, dan begitu katamu sambil membawakan sayap baru untukku.
Akhirnya….
Kita
pun terbang bersama ..
Bahagia
di negeri awan
Meninggalkan
jasad kita
Pada
cakrawala yang lapar
Saat
itu.
0 comments