Lewat Kesunyian ( selalu basah)

By Afrilia Utami - November 03, 2011


Hujan bagai sang harimau jantan
yang mencari di mana betina berada

Pakaian-pakaianmu selalu terlihat basah, dari jam dinding yang mengantarkanmu pulang ke ruang ini. Aku hanya ingin pergi, begitu yang dikatakan. Tapi mengapa tidak saja kau mengajaku pergi, mungkin bersamamu? Sementara berkali-kali kita lupa mengatakan ingin dan pergi. Yang bersentuhan dengan pengantar jauh.

Dinding-dinding yang berlumut. Karena menjauhkan sentuhan. Mungkin langit telah kusam. Itulah yang mengepulkan awan-awan gelap itu jatuh-jatuh di ruang kepala ini. Tiba-tiba petir menangkap gerutuan sang pemangkul waktu. Sampai kapan kita akan menyusuri jurang dan juram? Liriklah para rumput liar di halaman itu, menari-nari di bawah sinar bulan, yang belum tentu esok akan ada.

Cinta itu berlari-lari diujung aliran airmata, dari tangan yang mendadak membuka telapaknya. Melimpahkan apa yang ingin dibicarakan, kepada pemangkul hujan. Tidak mengapa, sepanjang ini. Kita larungkan tentang tubuh kesunyian.


Kadang dari pikiran. Aku menyaksikan badai itu, memporakporandakan bayangan. Kau mengunci hal-hal yang ingin kutidurkan di sampingmu. Tidak ada seorang pun yang tahu, dari balik kaca aku mengeluarkan kedua bola mataku. Untuk menelusuri apa itu senja, saat hujan kembali menggenggamkan seonggok nyanyian desa, di sebuah bukit hijau dengan sedikit manusia. Hanya ada sepasang harimau yang lapar.

Tiba-tiba aku teringat senyummu. Menjajahkan, belenggu yang telah larut, dan berulang kali mengkristalkan diri. Mungkin, ia memilih untuk hidup kembali. Tapi tali langit tak pernah putus, dan kita tak dapat membisikan hal yang sama bahwa kita dapat melihat tali-tali itu.

“Aku hanya ingin pergi. Dan kau harus di sini. Menjaga ini, kisah kita. Agar kelak kita tahu. Mengapa aku, mengapa kamu. Lebih sering menikmati cinta dengan kesiap sunyi. Aku bukanlah awan gelap itu, dan jangan tanya mengapa, pakaianku selalu basah.” Kau pun mulai melangkah, di malam yang tua itu. Hingga senja kembali merapihkan hujan-hujan baru, meski membakar. Aku tetap mengantarkanmu.

karena,

kita selalu resah
mengapa hujan
tak kunjung reda
di hati kita.

  • Share:

You Might Also Like

0 comments