"Kapan ibu pulang, Yah?" -1

By Afrilia Utami - November 12, 2011





“Ayah, Ibu ada di mana?”

“Ibu sedang menyiapkan kejutan untuk kita, Nak.”


“Kenapa tiap kali, Alfan tanya. Jawabnya sama, Yah? Ibu sudah lama meninggalkan kita. Apa ibu benci sama Alfan, Yah? Alfan udah janji gak akan nakal lagi. Alfan dah janji akan turuti apa yang ibu pinta. Dan Alfan hanya meminta ibu kembali bersama kita, Ayah!”

______________________________________________________________________________

Kepada siapa yang kusebut istriku. Mengapa tidak kunjung pulang, sayang? Anak kita selalu bertanya tentangmu, begitu pun denganku yang sangat mengkhawatirkan keadaanmu. Mengapa pergi tanpa pamit, Sayang? Apakah aku tak bisa menjadi seorang suami yang baik untukmu? Aku menitipkan kehidupanku didetak jantungmu. Lalu akan kemana kuungsikan nafasku tanpa ada kehidupan yang aku miliki. Anak kita baru berusia 7th. Dia sangat membutuhkan kasih dari seorang ibu yang melahirkannya. Apa alasan yang akan kupakai lagi. Jika masih sama pertanyaan tentang ibunya.


Tiap hari kumenulis surat ini untukmu, tapi aku sendiri tidak tahu. kemana akan kukirimkan semua ini, agar kau membaca dan mengerti betapa aku kesepian tanpamu, buah hati kita selalu murung, ia selalu menanyakan kabar pelukan dan belaian dari ibunya, 3th yang lalu ia masih bertanya dan hingga saat ini.
Kelengkapan sebuah keluarga. Sampai detik ini aku menunggumu dengan cinta..



_____________________________________________________________________________

“Alfan, sedang menggambar apa?” tanyaku, di tengah halaman dekat kolam hias. Kulihat anakku akhir-akhir ini sering mengunjungi tempat ini.

enggak ada yang Alfan gambar, Yah. Alfan enggak bisa gambar.”  lekas Alfan menyembunyikan gambar dibalik badannya.

“Kata siapa? Gambarmu itu bagus, sayang.. Ayah bisa lihat walau kamu sembunyikan, Nak.”

“Apa yang bagus, Yah? Tadi di sekolah ibu guru menyuruhku membuat gambar keluarga. Sedangkan Alfan enggak punya ibu. Hanya ayah yang Alfan punya.” Nada bicaranya meninggi. Dan sesaat kulihat mata beningnya mengembun.

“Sayang, Alfan punya ayah dan ibu. Boleh ayah pinjam pensilmu? Ayah juga ingin belajar menggambar, boleh, Nak?”

“Sudahlah ayah. (mulai menangis), Ayah sedih kan? Alfan gak mau buat ayah sedih. Sudah bertahun-tahun Alfan nggak ketemu sama ibu, Alfan ingin ibu pulang. Kembali dengan kita!” jawab anakku dengan airmata yang mendidih. Ia langsung memelukku, memeluk seorang ayah yang semakin rapuh. Kekuatan yang aku miliki hanya tersimpan di anakku. Alfan.


***
Hari Minggu ini, masih aku dan anakku, Alfan. Istriku belum pulang, atau mengirimkan alasan. Sesekali kuperhatikan wajah anakku. Selalu mengingatkan aku pada wanita yang aku cintai, yang kini pergi tak kunjung kembali. Semenjak lebih dari 3th. Dulu awalnya, aku merakit mimpi dan harapan yang satu-satu jadi nyata, hingga terputus. Aku tidak tahu dengan hidupku kini. Aku memiliki seorang anak laki-laki, yang kuat dan selalu dapat menghibur sedihku. Meski sesekali aku tahu, anak laki-lakiku sangatlah merasakan derita atas kepergian ibunya. Tiap kali tatapan sinar mata anakku selalu mengingatkan pada Istri yang masih temani ruang hati, walau semakin mendingin.

Setiap hari libur, Alfan selalu memintaku untuk menemaninya di halaman belakang rumah. Dia tidak suka dengan dunia luar, meski sesekali kuajak dia bersepedah di puncak atau daerah bukit. Ya, Anak laki-lakiku gemar bersepedah. Aku menyadari sebagai seorang ayah yang terkadang lupa akan waktunya. Terlalu egois jika berlama dengan pekerjaan tanpa pernah menyisipkan waktu untuk anak semata wayangku. Meski tuntutan terkadang memaksa, aku selalu mengajak anak laki-lakiku pergi menemaniku, dan kuajarkan pula bagaimana bertanggung jawab, dan bersikap toleransi dalam tiap kebijakan juga kuat dan berani.

Sampai tiba-tiba pertanyaan itu kembali kudengar.

“Yah, di mana ibu? Masihkah menyiapkan kejutan untuk kita berdua?”

Setiap malam, anak laki-lakiku terbangun. Ia sempatkan untuk menangis membasahi dadaku. Aku menjadi seorang ayah yang lebih berharga jika dekat di sisinya. Ia tak pernah menuntutku agar dapat menangis sepertinya. Tapi anakku selalu ingin aku tersenyum ketika ia menangis. Pada malam, juga ketika ia mengenal sekolah untuk pertama kali. Guru-guru wanita selalu menjadi pelampiasannya untuk mengenal sesosok ibu.

Maafkan aku, kepada yang kupanggil istriku. Aku menjawab tanya anak kita dengan apa yang seharusnya sejak awal kusampaikan padanya.

“Sayang, ibu menunggu kita. Bukan, kita yang menunggu ibu. Ibumu sangatlah cantik dan berhati baik, tadi malam ibu mengirimi ayah surat. Di dalam isi surat tersebut. Ibu berkata sangat menyayangimu dan ingin sekali memelukmu, atau pada malam ini menyanyikan lagu ninabobo tukmu. Tetapi percayalah anakku Alfan, ibu selalu ada dekat di dalam dirimu. Ibu sedang menunggu kita.”

“Menunggu di mana, Ayah?” dengan tangisnya yang masih bertahap derasnya.

“Dalam kebahagian, sayang. Di alam lain, di kehidupan abadi.”

“Kenapa,? Apa ibu nggak bahagia bersama kita, Yah?”

“Karena ibumu sangatlah berhati mulia kepada sesama dan sangat dicintai oleh Allah, Tuhan kita. Kamu harusnya merasa beruntung memiliki ibu seperti ibumu, sayang.”

“Alfan hanya ingin bertemu ibu, Ayah...”

“Jika kamu ingin menemuinya kamu harus menjadi orang yang bisa berjalan dalam ketenangan dan kebahagian yang kamu ciptakan dalam dirimu. Bukan ayah, atau mereka. Tapi dalam dirimu. Berjanjilah dari sekarang, anak laki-laki Ayah, akan menjadi laki-laki yang tangguh tanpa pernah membiarkan airmata wanita menitik dalam kesedihan. Juga selalu ingat untuk apa dilahirkan, hanya mengadu dan berpasrahlah pada Tuhanmu dengan cinta lebih hangat, dari ayah dan ibumu.. itu pesan ayah, Nak.”

“Baiklah Ayah, Alfan ingin menjadi apa yang ayah inginkan, dan janji ya Ayah. Kita akan bertemu ibu..” Alfan memelukuk, semakin erat.
***

Sore ini, kuajak anak kita mengunjungi rumahmu. Dengan bunga yang anak kita pilih untukmu, sayang.
Di sini ada airmataku dan anak kita tertanam di rumahmu.

“Yah, Nama ibu sangat cantik sekali ya?”

  • Share:

You Might Also Like

0 comments