Tik-tok

By Afrilia Utami - November 29, 2011


hujan baru berhenti, tujuh menit yang lalu sebelum aku menuju ruangan ini, kembali. tidak ada yang berubah. kecuali hari ini, aku merasakan tubuhku berat dan dingin yang bernafas di atas ranjang besar. tidak juga denganmu, matahari seolah mematuk-matuk kelingking. dan ibu jari yang tak pernah padam berkeliling kecil mengitari bibir kematian. tangan-tangan kita yang ingin mengatakan sesuatu, dari cahaya dengan bagan yang gelap. namun dengan begitu, semua memantul di mata kita.

aku kembali menggerakan mata, kucari-cari seperti ada yang sembunyi. mungkin begini, ada seorang wanita yang rajin mengenakan pakaian kebaya, dengan sekujur batik ditubuhnya. wanita tersebut menginginkan seseorang dapat mengenakan tubuhnya, saling tukar. agar jiwanya bisa berpindah, dari tubuh ke tubuh lain. dari takdir ke takdir yang lain. kita tak sempat menamakan semacam apa keinginan yang nihil itu. kita masukan dalam-dalam seolah-olah kita tak pernah memikirkan hal yang konyol itu, berharap tuhan tak dengar apa-apa. dan kita tahu tentang ia yang maha segala mengetahui, dan kita yang maha mencari-cari. bahkan kerap dalam keasingan. kita telan pelan-pelan. pura-pura tahu, pura-pura cukup, ini 'aku' itulah 'kamu' dan biginilah kita, juga begitulah mereka.


kini ada apa dengan mataku, yah, bu? atau siapa saja yang mendengarku! aku telah pura-pura mengenal dunia dengan mataku. berusaha mengenal apa aku sebenarnya, yang dari kedua dijumlahkan bertambah satu? lalu cinta mana yang murni, sedang kita berupaya memiliki sebanyak-banyaknya tanpa sedalam-dalamnya yang hakiki. kau, iya kau yang sedang membacaku. kapan kita tahu apa syurga dan neraka itu? di sana bebaskah? kukira lebih banyak anggota pers di neraka, yang ingin mewawancarai petaka-petaka yang mereka rakit dengan nuklir bernama tamak. cinta, kohormatan, kesatuan, kemenangan, kebahagiaan, kekayaan, apakah benar begitu, tuan? itu yang kucari-cari, yang ia cari dipinggiran jalan, dengan pengait tajam yang dibengkokkan ujungnya, ada grobak besar dipunggungnya ia panggul setiap hari, setiap ia merasa ia perlu hidup, maka ia perlu bertahan dan makan. atau yang mereka cari-cari di atas lembaran-lembaran materai, dengan deretan angka yang bernilai di belakangnya, lalu cukup duduk dengan tenang dikursi panas sambil pelan-pelan mendinginkan suhu tubuhnya, dengan kekuasaan, ia ingin kehidupan, maka ia perlu kekuasaan. 

dan lagi. aku hanya ingin menuliskan kata ke kata, yang buang-buang ini, yang dari jiwa-jiwa yang terkurung dalam perihnya, baginya batasan, adalah cara bagaimana memperlakukan sisa kehidupannya lebih gerak. berkata, bahagia itu bukan berada dalam batasan. inilah hidup, bukan kebebasan. tapi tujuan, menghapus garis-garis yang suram. agar terlihat inilah hidupku, hidupmu, hidupnya dalam pikiran masing-masing. yang berusaha kita cintai dengan iman. dengan asap-asap ujian. dan dari yang kita sebut, bahwa kita siap untuk bahagia.

kulihat lilin itu sendiri, dan tetap berdiri. lalu dengan jariku, kuletakan api kecil di atasnya. memang tak seberapa ia menerangi ruangan ini, karena ada lampu yang lebih menyala. namun setelah lampu dimatikan. kini, alasan aku dapat melihat ruangan ini, adalah binar api dari lilin kecil itu.

dengan menulis
aku merasa
berada dalam kebebasan.

  • Share:

You Might Also Like

0 comments