Dari Ruang Hati #3

By Afrilia Utami - September 23, 2011


 Sebelumnya...

"Anti, jagalah diri Anti baik-baik. Ana harus jujur, Ana ingin menjadi bintang-bintang di atas sana. Agar dapat selalu memperhatikan Anti, menemani Anti, menghibur Anti. Anti mungkin bulan yang penuh dengan cahaya indah itu." lanjutnya.

"Mengapa, Antum berkata seperti tadi?"

"Karena Allah, Ana mencintai, Anti. Sejak lama,  Ana harus siap berpisah dengan Anti jika memang adalah sebuah rencana lain-Nya atau bersama menunaikan perintah-Nya." Kini, aku mendengar sebuah ucapan yang berderak-derak di hatiku. Seujung gigil yang tak pernah terjamah, sekarang mulai purnah.

Aku tersenyum kecil, dan dari dua mataku seperti ada embun dari kabut di langit. Aku seperti baru dihantam pukulan Tyson, masih belum genap percaya. Karena pada akhirnya ada yang jujur mengatakan tentang kebahagiaan dari tatanan harapan. Laki-laki yang kukenal seperti saudara, kini ia mengungkapkan cerita cinta yang ingin kami tulis bersama.

*** 

Aku melihat ini di senja kala terakhir. Ketika kaki-kakiku merapat pada alas yang menyentuh rumput-rumput yang bermalu, menemani secercahnya mimpi-mimpi di halaman itu. Tetapi, tidak lagi hari-hari ini. Dari mulut-mulut yang membawa obat, zat kimia, dan kacamata yang gelap itu. Aku ingin pergi. Menemui di mana aku berada. Di mana aku merasakan haus akan cinta-Nya, dahaga dengan cara misteri-Nya. Apa itu cinta? yang dimiliki oleh manusia? itukah sebab aku terlahir? Ibu dan Ayah? apakah benar cinta itukah yang sementara di antara hal-hal yang tercipta dengan istimewa. Kata Nurse, cintalah yang satunya abadi di antara yang terciptakan dengan durasi waktu. Tapi, apa itu cinta? yang dikirim Tuhan? Aku berada di hati Tuhan, dan hanya mengenal cinta dari dan untuk-Nya. Apa aku memiliki? hal sama yang di inginkan para perempuan lainnya? 


Seorang nurse datang menghampiriku, membawakan phone. Seseorang sedang merindukanmu, katanya.

"Assalamu'alaikum,.. "

"Waalaikum salam, Khaifahalluk, Ukh?"

"Alhamdulillah, bagaimana kabarmu, Akhi? sudah di Indonesia?"

"Na'am. Alhamdulillah, Syukron. Jika Ukhti bersedia, hari ini Ana ingin izin datang menjenguk Ukhti. Ana baru sampai di Daerah Kebayoran. Bagaimana?"  

"Terimakasih, Akh.. Senang mendengarnya. Baiklah, akan aku tunggu ya? kebetulan di jam-jam ini, adalah jam yang menggantungkan jantung sunyi."

"Ukhti jangan menunggu, jalanan macet. Merayap. Istirahat sajalah dulu ya?"

"Sambil menunggu dalam rehat, di sini. Itu tidak menyita tenaga, Akh.."

"Baiklah, mana senyuman Ukhti? coba kirimkanlah ke sini untuk Ana ya?"

"Hehehe, Akhi ini bisa saja? dikirim lewat mana? Ana sedang tersenyum kali ini lebih mekar dari mawar putih yang menemaniku di sini."

"Kirimkanlah ke hati Ana. Ana akan senang sekali, Ukh.. hehehe."
***

Entah.. apa yang kunamai apa, mengapa yang tak menanyakan alasan, dan bagaimana yang hilang dari gerakan. Di antara ini, aku hanya ingin menuliskan kisah-kisahku. Cahaya-cahaya seperti sentuhan yang gaib. Tak dapat kulihat sempurna wujudnya, namun rasa-rasa itu sungguh tercipta dari yang peka. Aku suka mendengan lantunan Adzan yang kemudian memasuki jalan. Jalan-jalan bernama Iman pengendali nurani. Hatikah aku? Tidakkah dari sini, aku hilang dari peradaban. Suara Hyena, dan kepakan Phoenyx masih kucabuti di duniaku, di waktu yang berbeda. Lalu cintakah ini? yang menggenggam erat jiwa-jiwa dari yang terkasih. Sementara aku lemah, dari yang lemah. Mendekat dari lubang yang jauh. Mencari celah dari lapang sebiji titik.

"Akh, di depan mataku aku melihat sangkar itu tiba-tiba berubah menjadi kerangka manusia. Yang tak berbicara. dan burung yang mati memakan hati manusia yang berlumur darah dari luka yang dalam yang  sebuah suatu yang datang."

"Allah, memisahkan jiwa dari dirinya dan menghiasinya. Ia memercikkan padanya berkah kebaikan. Ia memberinya cankir kebahagiaan.”

Untuk pertama kalinya, airmataku mengalir bebas dihadapannya. Ia menatapku. Bukan pada mataku, tapi pada apa yang kali ini aku tak ungkapkan di sini.

  • Share:

You Might Also Like

0 comments