Dari Ruang Hati

By Afrilia Utami - September 23, 2011


Gerimis masih bermain, di luar sana. Pagi. Burung-burung berteduh di atas ranting, dekat dengan jendela yang menghadap utara, ruang tidurku. Hari ini, aku diselimuti lapisan dingin yang membakar sekujurku. Sementara, aku ingin dapat berhujan, seperti masa-masa dulu. Masa aku dapat, bertemu dengan dunia, dengan tanah halaman yang kupijaki.

Di atas kursi roda ini, aku berharap esok aku dapat berlari dengan kebebasan yang kuhirup, lebih dari ruang persegi ini. Aku hanya dapat melihat dunia dari jendela kecil sini, televisi yang mengabarkan wajah-wajah asing, dan surat kabar yang setia mengabarkan tentang peristiwa di luar sana. Meski, terkadang aku jenuh dengan isu dan kasus yang sama sepanjang pekan.


Dari sini aku dapat mendengar detak jantungku, yang terkadang lambat, terkadang sontak menaikan kecepatan getar. Adakalanya dadaku seperti terhentak. Berulang-ulang kali, aku menahan rasa sakit di atas ranjang ini. Namun, ranjang yang kusinggahi tidak pernah rusak. Dan harapanku yang kerap retak. Tapi aku tahu, aku tidak sendiri. Seburuk apapun itu, Tuhan selalu dekat bersamaku.
***

10 meter dari sini, aku mendengar langkah cepat menuju pintu kamarku.
“Tuk..tuk…tuk…tuk…tuk..” begitu suara sepatu yang sedang berlomba.

“Trek..” pintu membuka.

Tiba-tiba seseorang laki-laki menghampiriku dengan kacamata yang menggantung kokoh di atas hidungnya. Mengenakan kemeja putih bergaris-garis hitam, dan celana hitam dengan tiga saku. Membuka tatapan dekatku, dengan senyuman yang mekar, dan dua alis hitam tebalnya yang mengangkat. Janggut tipisnya terlihat melambai-lambai.

“Assalamu’alaikum, Lia.. remember me?” lontar pertamanya, sambil menaruh seikat bunga di atas meja kecil, dekat di samping ranjangku.

“Wa’alaikumsalam..” aku tersenyum, sambil mengerutkan dahi. Mencoba mengingat dengan pelan.

“Anti lupa ya? Ana Ali, sahabat kecil yang dulu sering mengajak Anti, bermain layang-layang. Kemarin, Ana ke sini, namun Anti masih tertidur dengan lelap. Ana tahu, Anti adalah wanita yang kuat.”

“Ali..Ali.. Subhannallah, Akh.. Antum sudah terlihat berbeda sekali. Selama ini kemana saja? Alhamdulillah.. Allah masih menjagaku dengan indah cinta-Nya.”

“Anti  lebih terlihat cantik.” Tersenyum. “Selama ini, Ana telah menyelesaikan SI di Kairo, Alhamdulillah.. Ana dapat kembali ke sini. Anti harus yakin, untuk kesembuhan, Anti. Insya Allah, Anti akan lekas pulih seperti dulu kala. Anti jangan pernah menyerah, karena Allah tidak menyukai orang yang berputus asa dalam ujian kehidupan.”

Aku tersenyum. “Subhannallah.. aku turut bahagia  atas kesuksesan, Akh.. Na’am, Akh.. aku selalu percaya Allah selalu memberi jalan terbaik untuk umat-Nya yang baik bagi-Nya. Syukron, Akh.. Antum tidak melupakanku, dan kembali menemuiku, meski di tempat ini.”

“Di tempat mana pun, Ana bersyukur dapat menemui Anti. Asalkan Anti masih bernafas dengan semangat karena Allah. Sudah hampir 5 tahun kita berpisah, Anti. Selama lima tahun itu pula Ana rajin menulis surat untuk mengetahui kabar Anti, melalui Fikri.”

“Insya Allah, selalu dan tentu, Akh.. Karena Allah. Benarkah? Mengapa Fikri tidak memberi tahuku? Syukron, Akh. Meski telah berpisah lama. Antum masih ingat bunga kesukaanku. Cantik sekali, Akh…”

“Mas’syukri.. Selama Ana di sana. Ana selalu mencari-cari toko bunga. Meski memang cukup sulit. Ana, ingin sekali membeli bibitnya dari sini lalu menanamnya di sana. Namun pada kenyataannya, Ana nda’ pandai bertanam. Selalu layu dan gagal. Sebelum ke sini, Ana sempatkan untuk mencari toko bunga. Untuk membeli seikat mawar putih, untuk Anti.. Ana merasa senang, jika Anti menyukainya.” Jika ia tersenyum, lesung pipinya terlihat lebih manis.

“Antum baik sekali..” aku mulai menundukan kepala.

Kemudian, Ali menawarkanku untur berkeliling di sekitar rumah sakit.  Ada suster yang datang, membantuku untuk menaiki kursi roda. Hari itu, adalah hari pertama dalam tiga bulan ini, keluar dari ruangan yang telah pengap akan senyap.

Aku tidak menyadari di belakang gedung ini, ada sebuah tempat yang sangat indah. Taman dengan penuh bunga dan rindang pohon, di tambah air mancur lingkaran di tengahnya. Rumput-rumput hijau yang rapih. Di senja itu, langit terlihat lebih cantik dari yang selalu kuperhatikan lewat jendela kecil ruanganku.

Ada beberapa ayunan, yang menunggu ada seseorang yang menaikinya. Ali, menawarkanku untuk menjadi seseorang itu. Suster yang berjaga-jaga membantuku kembali, untuk mengangkat tubuhku mengalihkan ke atas ayunan berwarna biru tua itu. Dari belakang, Ali mendorong dengan pelan. Kami berbincang tentang masa-masa dulu. Saat tinggiku baru 6 kaki, Ali adalah sahabat sekaligus Kakak yang selalu melindungi dan menghadirkan riang itu hadir.

Dari detik ke menit lalu menjadikan jam-jam yang telah terlewati. Ali menanyakan tentang rencanaku setelah ini. Begitupun denganya..

“Anti..” wajahnya mulai serius, dengan nada yang masih perlahan. Dan...



26 Agustus 2011

  • Share:

You Might Also Like

0 comments