burung itu jauh terbangdan lupa jalan pulang..bernyanyi di atas akasia-kicaukan nada-nada sumbang.
Mith, Akan bagaimana aku merasakan kesedihan ini, dari lekuk jarak dan lipatan ruas jari yang kerap tertutup berulang kali. Membilang angka-angka yang hilang, kemudian. Menerpa apa yang tidak tampak. Ya, aku bertanya pada yang tidak pernah memulai tanya.
Dari lubang pintu berwarna perak abu, aku mendengar denting jam melangkah, pada jarum panjang berwarna hitam. Di bawah lantai, airmatamu surut dalam sedihku. Terbakar hangus, oleh diam. Mith, kapan kita akan berkicau bersama? Membilang kembali seberapa tanggal yang telah kita coreti. Kematian belumlah tiba. Di kursi tua dari kayu berwarna coklat muda, banyak coretan kita memenuhi yang mulanya polos. Namun, aku merasa sesepi ini, Mith. Karena menunggumu, dalam yang tak tentu.
Kusaksikan air yang meredam di wajahmu, Mith. Dari segumpal darah yang telah mati dan masih sedia diri dalam padam. Sementara aku masih menunggu dalam dzikir, aku ingin membuahi sujud-sujudku pada lail. Namun, sejenak saja, aku ingin beristirahat di kakimu, sebelum jejak-jejak terbit lebih asing. Sudah lama, aku tidak tertidur dengan penutupan sakral.
sepanjang waktu, burung itu bergantungdi ranting. sendiri. membuat bayang-bayang.hingga mati terjatuh, bersama gugur daun-daun melagukan kedamaian.jiwanya kini bebas terbang, tanpa ada perihtanpa sepi. Tersenyum dalam rengkulanmerdu cahaya.
2011
1 comments
asyik ceritanya.
ReplyDelete