Akhsan, Abang Es De

By Afrilia Utami - September 10, 2011


Apakabar sahabat kecilku, Akhsan? Entahlah, apa yang membuatku kembali menikung ingatan pada masa kanak. Masa saat kamu berusia 7 tahun, dan selisih kita hanyalah 1tahun 7 bulan. Saat itu masa awal aku dipanggil ke depan. Menuntunmu, menyusun kalimat perkenalan. Ya, kamu melayu. Dari serumpun Kuala Lumpur, pindah ke Indonesia karena kontrak kerja kedua orangtuamu.

Akhsan begitu nama depan yang masih sempat kuingat hari ini. Tapi aku amnesia nama lengkapmu, dan aku ingin mencarimu. Namun tidak mudah, ada berjuta nama yang sama. tapi hanya satu ‘abang’ sepertimu. Ya, abang.. begitu inginmu kupanggil dengan malu tegur senyum yang sama kita curi dari semut-semut merah di kursi ayunan.


Seperti hari-hari lampau. Saat ada beberapa anak-anak kecil, seumur kita. Meneriakan namaku dan namamu. Secara lantang kamu menjelma Pak Dudu, guru matematika tampan kita yang paling lugas berbicara, dan lantang menjelaskan angka-angka yang kita abaikan di papan tulis hitam. Ya kapur-kapur itu, seperti anak-anak seusia kita yang sedang menuliskan nama kita berdua.
**
Mengapa ada anak laki-laki yang berani mendekatiku dengan sebuah tawaran genggam? Siapa yang terjatuh saat mencoba menaiki dinding Mozaik? Siapa yang pernah menawarkan sapu tangan berwarna putih persegi, yang biasanya tersimpan manja dalam sakumu. Abang, aku masih mencoba berpikir polos dan lugu untuk saat ini,meski sulit. Mungkin juga akan tahu tiap aku mengingatmu aku akan merasakan gigil di ujung jari, karena dulu terbiasa oleh ujung jarimu mengitari kuku kecilku.

Ya, Ahksan, abangku yang paling setia menemani di siang hari. Saat jam lonceng gaduh itu berbunyi berulang kali, kemudian sebagian anak-anak berloncatan dan berlari ke sana ke mari. Tanda jam pelajaran usai. Tapi hanya kita berdua dan beberapa orang dewasa menemani kita pergi ke taman belakang sekolah. Katamu, kita gantian naik ayunan berwarna biru muda di sana, tapi nyatanya sebagian paruh waktu hanya aku terduduk di atasnya. Kamu hanya tertawa dan semangat mengayunkan ayunanku agar lebih cepat, agar lebih aku merasakan angin yang mendekati kita. Sambil mengiringi lagu sekotak kupu-kupu.

Semasa itu, selama 3th kita lewati dengan cemburunya anak-anak kelas di sana. Karena kita hanya memilih berdua, dan saling bertukar makanan di bawah pohon Cemara. Beberapa anak selalu merasa asing, ketika kamu mulai berceloteh dengan logat melayu kentalmu.Tapi kita tidak tahu, tentang monyet yang membekal cinta di pisang berwarna kuningnya seragam putih dan merah. Ada cinta yang mengalir, kasih sayang sebagaimana kakak dan adik kandungnya.

Bang Akhsan, apa kamu sempat berpikir tentangku? Tentang bagaimana aku tumbuh menjadi seorang wanita yang belajar menggiring penanggalan bulan dikakinya. Aku hanya tersenyum membayang dan menerka tentangmu, mungkin saja kamu telah memiliki seorang wanita yang setia hadir bersama cita dalam usiamu. Atau beberapa anak yang tertitip dipangkuanmu. Bang, ingatkanlah aku lengkap namamu, Aku ingin bertemu dan mengembalikan sapu tanganmu yang sudah tak putih lagi.

 2011

  • Share:

You Might Also Like

0 comments