Dari Jantung yang Retak

By Afrilia Utami - September 10, 2011


 Retak langit mengetuk-ngetuk mata.Aku tahu tentang hujan yang surut dan tiba di mataku.Tentang suatu hal yang tak jadi-jadi hingga mimpi-mimpi di rapat mata jadi basi. Dua lantai rumahku, penuh debu. Sisa bangkai kenangan yang telah mengakar baunya, kucium beberapa kali,dan dari beberapa itu berulang aku jatuh dalam antara sadar tak sadar.Ubin kramik bergambar wajahmu yang selalu kuinjak. Dan di dinding kamarku, tubuhmu tergambar tanpa busana yang menutup sehelai kulit putihmu.

“Adakah aku terperangkap dalam kemarau sepi?” Bisikku pada guci yang menampung semua berkas sentuhmu.


Almari ini tengah penuh dan sulit menutup.Tiap membuka ada hal yang tak perlu keluar dan datang dengan jalan-jalan yang rumit di jalan kepalaku! Mungkin dia tak tahu, selama bertahun-tahun aku tak mati di sepanjang jalan yang macet ini. Sebotol racun telah kuteguk lagi dan lagi.Dan lagi aku tak jadi mati hanya seikat perih yang sengau. Di manakah aku akan mengikat kencang sabuk pengamanku, jika sama aku menduduki kursi tua yang tetap bisu.
***

Hari Kamis, aku beranikan datang ke rumahnya, menjemput penawar sakit yang sudah cukup lama aku derita. Meski aku tahu, berhadapan dengan siapa jika aku datang ke rumahnya. Akan ada orang-orang membawa senapan berisi penuh peluru-peluru yang mungkin siap bersarang di tubuhku.

Jalan yang menuju rumahnya kembali menawarkan gerah. Pendingin kendaraan tak cukup mencairkan panas suhu tubuhku. Matahari yang kuboncengi terus bernyanyi di atas kepalaku dengan kepul yang bara. Aku tak heran seberapa ganas udara di ibukota ini dapat membakar sekujur kulit hingga matang daging-dagingku. Tapi aku tak mengerti mengapa dia lebih sulit dari sempit ibukota ini. Butuh berkali lipat dari waktu normal  untuk menjangkau rumahnya. Husni Thamrin kembali tersedat.

“Berapa lama lagi jalan ini dapat berjalan normal, Ja?” sontakku kali ini membangunkan Rajak, salah satu kariawan bagian staf perbendarahaan di kantorku yang kuajak.

“Sepertinya masih lama, Pak. Ya, beginilah jika jam kepulangan kantor. Pasti macet.” Teguk Rajak.

Aku kembali duduk dan melihat jam yang melingkari tangan kiri. Dan motor-motor yang mendesak ingin masuk. Mungkin lebih baik jika aku tidur, dan membiarkan mimpi itu singgah untuk membangunkan aku kemudian. Dengan hadirnya.
***

Sepuluh meter dari sini adalah gerbang rumahnya. Aku malah diam dan megacuhkan Rajak. Aku ingin membenamkan bahwa aku tak akan datang dan menjemputnya pulang. nihil.

“Maaf Pak mau mencari siapa?” laki-laki tua dengan kacamata tebal menggantung di wajahnya, dengan tinggi lebih dari 171 cm menyapaku lewat jendela mobil yang sedang terbuka mengundang angin jalanan masuk.

“Bapak kenal dengan Reva? Sepuluh meter dari sini adalah rumahnya.” Jelasku singkat.

“Owh,Reva..baru seminggu yang lalu dia pindah, Pak.” Sambil memicingkan tajam alisnya.

“Pindah? Pindah kemana?!”

“Maaf, Bapak sendiri siapanya Reva?” membalik tanya.

“Pak Reza ini, suaminya Reva, Pak.”  Rajak langsung memotong jawabku.

“Oh..,”  “baiklah bapak harus pergi dulu. Ada pekerjaan.” Raut laki-laki tua itu dengan cepat langsung berubah masam.
“Terimakasih, Pak.”

Aku heran, dengan bapak tua yang tadi.Atau heran dengan apa yang membuat wajahnya mendadak jadi masam. Tapi ada apa dengan Reva? Seberapa lama aku meninggalkannya, tanpa tahu bagaimana kabar tentangnya. Memang aku bukan suami yang baik untuknya. Aku tak menyediakan waktu untuk kebahagiaannya.Aku selalu memukulinya dengan tajam ucapanku. Dan kini aku sadar, setelah semua pamit dengan wangi yang membekas luka. Tapi setidaknya aku selalu berusaha belajar mendapati baik itu jika ada bersamanya, yang kini pergi menghindariku. Yang terlambat?

Selama tujuh belas menit yang singkat,aku diam. Barangkali Reva akan kembali kesini. Tapi tak saja aku melihat raut dan tubuhnya di penglihatanku. “Reva, aku mencarimu. Aku mencari di mana maafmu.Untuk selanjutnya kita berdua, membuka lembar yang putih. Aku menunggumu hingga detik-detik ini.” Aku malah tertidur dan tuli tanpa tahu di mana istriku berada.Reva.

Dari bawah pohon cemara, dengan lebat ranting dan jari-jari hijau yang lahir. Burung-burung bertengger dan beberapa ada yang hinggap membuat sangkar. Aku memperhatikan tentang burung-burung. Tentang keluarga burung-burung dengan kicau dan terbang yang terbang.Mungkin aku ingin menjadi burung yang sedang berpasang itu atau batang saja?yang sepertinya tak pernah kesepian berkawan karib dengan cuaca dan yang hinggap.
***

Matahari berat ke barat.Mulai gelap, Rajak masih menemaniku dengan ocehan yang masuk dari telinga kanan dan keluar begitu saja tanpa hambatan melalui telinga kiri. Pasti jalanan lebih macet sore ini. Tapi aku belum menemukan hambatan untuk aku tetap menunggunya di sini. Karena mungkin aku akan mati sebentar  lagi. Jika belatiku diam-diam menarik jantungku untuk keluar mencarinya.

“Mungkin kita tak perlu menunggunya lebih lama..” putusku pasrah.

“Jangan begitu Pak..owh iya, sebaiknya kita cari makan dulu. Yang namanya cinta yang cinta nda’akan kemana-kemana Pak.”  Jawaban yang membuatku tetap mempertahankan.Sementara Rajak masih mencuri tatapannya ke Foto yang sedang aku genggam.
***

Akan kaunamai apa rinduku ini, Reva?
Genangan waktu yang memungkiri untuk tetap menghilangkanmu
Tapi aku tak dapat membuat duri dari rusukku itu lunak
Senyummu memampang dalam tiap bayangku
Adakakah kamu abadi di aku?

Selempangmu tertinggal, di kamar kita.
Pun aku ditinggal, separuh diriku terbawa
Langkahmu.
Akan kunamai apa kelak judul kematian yang tanpamu?
***

“Aku menulis ini. Di saat aku terbaring lemah. Di saat aku meracuni kematianku untuk tetap hidup menemukanmu, Istriku. Di saat ruang ini menutupi untuk aku melangkah keluar ruangan. Di saat terakhir aku menemukan nafasmu, yang kini tertidur di sampingku, dan di saat aku yang akan mati dengan tenang setelahnya…”

Juli 2011

  • Share:

You Might Also Like

0 comments