"Lif" Terakhir Kurekam

By Afrilia Utami - September 10, 2011


Siang masih menggenangkan kenangan-kenangan yang tidak jadi hilang, ia pulang membawa cenderamata yang dulu sempat dimakamkan dalam raka’at yang terbilang olehnya. Seorang lelaki terus menundukan wajah, menatap album di ruang tengah, cerita yang terekam di selembar kertas foto. Ia mendapati kekosongan yang dingin dalam usianya. Dalam sendiri yang senyap oleh kedinginan sifat. Tetapi lelaki inilah, yang mengingatkanku pada masa-masa yang ketika itu pernah aku alami. Adalah hari ini, aku menemuinya di tempat sama, dan tanggal yang sama pula.


Aku ingin terbang bebas seperti burung, kataku. Tapi kamu tidak mempunyai sepasang sayap untuk bisa melakukannya, katanya. Tapi aku memiliki mimpi dan keinginan itu yang membuatku suatu kelak, mungkin bisa terjadi, kataku. Dia tersenyum malas, hilang dari muramnya. Jika begitu, perlukah sayap untuk terbang, tanyanya. Sesayap jiwa dengan do’a dan ikhtiar, setidaknya kita masih memiliki cinta. Buatlah cinta itu tersenyum, kataku. Tapi tidak denganku, mungkin hidupmulah yang selalu penuh cinta dan bahagia selalu, Afrilia, katanya. Dia seperti bercerita kepada kehidupannya sendiri.

Lif, kamu tidak akan yakin sampai kapan pun keyakinan itu didirikan oleh yakinmu, bukan aku atau lainnya. Mungkin sepi, sunyi, dan asing adalah sahabat karib kita yang mewartakan kejenuhan dan emosi-emosi dari layunya bahagia. Kamu lelaki  yang dapat memainkan gagasan-gagasan yang kita cari dalam tulisan atau pemikiran-pemikiran yang mulanya kita anggap tidak pernah jelas. Di tempat inilah aku terduduk denganmu, menghadap wajah pasi, dan kamu menolak untuk menyimak waktu dan menatap mata-mata yang ingin ikut serta berbicara padamu. Itulah kamu, Lif. Dengan kamulah, aku menyadari masih belum sesuai menemukan titik kenyamanan berbincang dengan manusia. Alasan itulah yang dulu aku gunakan untuk bersembunyi, dan mulai menulis dengan papan ketik.

Apa aku memiliki airmata, tanyanya. Tentu, kataku. Begitu juga denganmu, lagi tanyanya. Ya, aku kira aku masih memiliki sisi manusia, kataku. boleh aku menangis, tanyanya. Menangislah jika itu lebih baik untukmu, kataku. Tapi aku ingin menangis dengan airmatamu, katanya. Ia mengajakku untuk mengerti, aku memahi ajakannya. Kini aku yang bertanya, dari senyumku, apa yang kamu lihat Lif, tanyaku. Airmata, katanya. Dari mataku apa yang kamu dapatkan, Lif, tanyaku. Aku tidak dapat menjawab, katanya. Tataplah mataku dengan sepi di matamu, kataku. Ya, aku dapat melihat sepi itu luas, dan segala yang sembunyi dan ada pantulan bayangku, di matamu, katanya.  Tapi senyumku ini, tidak menghabiskan airmata yang membuat mataku surut nantinya, kamu mengerti, Lif? Aku yakin kamu mengerti itu, kataku. Aku sudah lama, merasa hilang itu saja, katanya. Dan baru-baru ini, aku merasa perubahan dalam kehidupan yang telah lama aku jalani, kataku. Kamu, selalu selamat dari kematian, katanya. Bukan itu yang terpenting, tapi aku selamat untuk mengubah sikapku dan caraku memangdang kehidupan ini, kataku. Dia memejamkan mata, tangan kanannya menggaruk-garuk dagu panjangnya. Aku sudah lama, tidak memperhatikan orang-orang, katanya. Aku sudah lama mencermati kesalahan orang-orang, kataku. Aku selalu merasa gagal masuk dalam orang-orang itu, katanya. Dari kegagalan aku mencari alasan yang akan memperbaiki kegagalan itu, menjadi kaki yang berjalan menuju keberhasilan dengan cara yang berbeda, kataku.

Langit masih mendung,  sejak pagi tadilah langit memang memayungi dengan sedikit sinar matahari, karena awan-awan abu sedang menyangguli rambut matahari. Gerimis pun mulai berdatang, kami semakin menghayati tentang pertemuan kami yang terjadi setahun sekali. Kataku, gerimis inilah bukti perubahan akan kesementaraan tidak ada yang selamanya utuh dan tetap. Namun katanya, gerimis ini adalah kepahitan yang semakin ingin membasahi tubuhnya secara perlahan. Aku tidak sepandai  kamu, Lif, kataku. Aku tidak secerdas kamu, katanya. Aku masih mencari-cari letak yang ingin kutemukan, kataku. Aku hanya ingin diam, memendam semua dengan topeng kepalsuan, katanya. Kamu ingin bahagia, tanyaku. Aku ingin bahagia dengan caraku sendiri, katanya. Baiklah, ceritakanlah caramu untuk bahagia, tanyaku. Tidak ada cerita yang dapat aku ceritakan, jawabnya. Aku cukup melihatmu bahagia, itu yang aku lakukan, sambungnya.

Aku membawakan daun-daun yang jatuh di halaman, samping kolam hias. Warnanya sudah tidak hijau, dan mulai kering. Aku kumpulkan, dan kumasukan dalam toples berbentuk kubus. Kumasukan juga air, dan Sembilan batu kecil. Terakhir, aku memasukan foto yang telah lama aku simpan rapat, di dalam saku dompetku.

Selamat mensyukuri hari lahirmu, Lif Mengikuti langkah Adam. Kepada lelaki yang kujuluki “Lif”. Kehidupan adalah seni. Seni adalah keindahan. Dan keindahan adalah apa yang melahirkan bahagia. Lalu bahagia adalah hari-hari ini, ketika kita diberikan peluang untuk mengenal kehidupan. Sebelum kepastian lengkap tiba, mengkafani seluruh kenangan, menutup sejarah, menguburnya bersama wangi senyuman.

  • Share:

You Might Also Like

0 comments