Wanita Penunggu Maleo

By Afrilia Utami - September 10, 2011


Seorang wanita bermata lampu kecil, sedang terduduk manja di bawah rimbun daun-daun Taman Ismail Marzuki. Ia hanya memakai hasil berkodi tenunan benang yang dikirim tuhan lewat pak pos bertangan salju, dengan motif batik pemberian nenek moyangnya sendiri. Ada cinta yang melingkar hangat di lehernya. Juga serangkai buku-buku yang penuh debu, catatan volume hidupnya. Masa itu,perjalanan di mana pernah sempat ia berlayar, membuat gua-gua dari bahan bakar budi pekerti dan sisa harapan juga tumpuan akan keyakinan.


Sedari pagi, wanita itu hanya membilang ada berapa banyak burung yang bisa ditemuinya hari ini? Padahal ini hari yang gunung oleh mendung dan wanita itu hampir tak dapat melihat jam ditangan kanannya. Namun, wanita itu gemar sekali menghabisi waktu tanpa pernah ada sesal. Sambil mengenal barisan deret aritmatika yang terus runut ia hitung, sampai bibirnya terpasung di angka tujuh ratus tiga puluh delapan ribu. Ia menyebut angka-angka itu sebagai kepastian.

Seperti patung pinggir taman, wanita itu setia dengan posisi yang sama dengan patung dirinya. “Aku sedang menunggu, Tuhan menyapaku di sini.” kembali, ia memahat  wajah kehidupan. Ia tetap jadi bintang di antara siang dan malam. Hanya sepertiga waktu untuk ia kembali merangkai nafasnya. Nafas yang tiapnya tersengal dibeberapa jeda lalu lintas dentingan detik. Di antara jari-jari yang cantik. Ia menumbuhkan edelweiss digenggamannya. Aku melihat, ada banyak kupu-kupu yang sedang menari, di dua matanya yang menyangkut pada genting jiwaku. 

Hingga tiba, rodanya terlanjur berkarat karena hujan yang belum surut. Wanita itu, hendak menjelma jadi rumput yang kuyup. Dadanya mulai lagi merasakan sesak, sesak yang penat. Dalam dahinya seperti ada gemuruh, gemuruh riuh yang pernah teracuhkan waktu. Dengan derit luluh langkah, yang kini kian membisu. Ia merasakan sakit, yang ia tak bisa jeritkan sakitnya. Di jantungnya matahari seperti akan terlahir.

“Aku tidak tahu.. mungkin di Taman ini. Aku akan habisi bagian detik-detik akhirku. Sementara burung-burung itu masih belum mendekat dan memberitahu. Bagaimana cara ia bisa terlihat bebas tanpa waktu yang menunggu... aku tidak menunggu matiku. Aku hanya menunggu bebasku. Mungkin seperti hal burung itu. Coba lihatlah.. dan gambarkan bagaimana burung itu? Aku sudah serabun ini untuk mengetahui lekuk dan sayap indahnya. Maleo.”

aku menepi di degup lacimu, wanita.
dan curiga kita sempat menabungkan
sisa usia kita. pada Maleo yang sama kita tunggu.

2011

  • Share:

You Might Also Like

0 comments