Cerita Saat Hujan

By Afrilia Utami - March 07, 2012

Hujan itu seperti gordin tua yang tidak mau membuka atau menutup cahaya yang timbul dari bening kaca. Lama, mata rabun itu menatap jendela, berharap dari sini hujan lahirkan pelangi yang menawan.. 

Saya berjalan, tidak untuk menyalakan lampu antik yang setia menempel di dinding tua. Tapi membawa lilin, saya suka melihat api kecil yang lebih nyata. Walaupun kecil, api itu menarik. Karena di luar sedang hujan. Api kecil tidak dapat hidup senang di sana, tapi itu menurut saya saja. Saya tidak tahu jelas senangnya api seperti apa. Membakar orang di depan konstitusi itu, atau gedung-gedung teduh tempat angkuh, maupun di lidah orang yang memilikinya ya? Tuhan lebih memiliki api abadi, yang selalu senang setiap harinya. 

Baiklah, tiga jam kemudian, hujan naik. Sebagian lagi turun dan meliuk-liuk di drainase atau tertampung di tengah jalan karena berlubang. Saya tunggu, pelangi itu belum juga tampak. Dan hujan itu terlihat bernego dengan awan berwarna abu-abu. Agar mereka bersedia menutup mata yang ingin ke yang cerah itu. 

Lama saya duduk dengan lilin kecil, saya memulai sebuah lagu lugu. 
"hujan...hujan... 
Air yang berjatuhan 
Belum surut, mengembalikan 
Sisa-sisa ingatan dari hujan 
O.. Hujan" 
Jika saya Bernyanyi, saya kira lilin di dekat saya senang. Saya kira ia juga menemani saya bernyanyi namun bedanya saya dapat mendengar sumbang suara saya, akan tetapi saya tidak diperbolehkan mendengar merdu suara api kecil itu. 




Lilin kecil. Pemetik api di atas mulai menghabisi batang yang semula tinggi. Saya berbisik sambil menahan nafas di dekatnya, api mengapa kamu jahat melelehkan batang yang menjadikanmu berdiri dan menyala di depan saya? Jadi, kamu menyala untuk padam selanjutnya. Api, saya kasihan saya kamu. Kamu tahu saya lama kasihan pada diri saya karena api dan lilin itu, saya jadi berpikir mana di antara kita yang benar paling menderita?. Saya diam sejenak, karena hujan yang tadinya ke atas ternyata cemburu dan turun lebih deras. Suara hujan yang gaduh, isyarat api mengatakan seperti itu. Lalu saya mendekatkan jari saya ke api kecil itu, panas kata mulut saya. Padahal yang panas jari saya bukan mulut saya, sayangnya dia tidak memiliki suara seperti mulut saya yang dapat mangap dan bungkam lagi. Saya, kira api dapat menjadi jinak jika diajak berteman. Seperti nabi Ibrahim yang dibakar tapi kedinginan. Tuhan itu Kuasa benar. 

Lilin kecil itu semakin kecil, saya khawatir ia akan mati dan hilang tinggal cairan putih yang meluber lalu padat dan kembali menjadi putih, tapi tidak dapat menyalakan api kembali. Dan tidak berdiri seperti semula, dan itu bukan lilin lagi namanya. 

Setelah api itu, Saya membaca Afrizal dengan dewa-dewa yang runtuh dari langit, karena matahari jadi dekor-dekor yang sengsara, katanya pelan-pelan. 

Mengapa ia tidak hendak berada? Ternyata Pelangi itu sudah lama tidak memiliki alamat rumah saya.

  • Share:

You Might Also Like

0 comments