Cerita Lucu Pertama

By Afrilia Utami - March 07, 2012


Jalan masih lenggang, saya merasa menjadi manusia pertama. Tapi yang pertama berarti yang paling tak tahu apa-apa. Kemudian suara itu kian dekat saja, saya tidak mengenal jenis suara apa itu. Sudah saya katakan yang belum tahu cara mengenal. 

Saya lihat banyak jalan, belum memiliki rambu-rambu dilarang berhenti. Tapi kaki saya sudah sakit, terus dipaksa melaju di aspal yang warnanya merah. Semerah tanah liat ketika saya berasal dari sana. 

Diprasasti tertuliskan saya berasal dari liang kuburan. Ajaibnya saya selamat, karena bantuan Tuhan. Berarti saya kedua dari pertama. Ibu saya Tuhan ya? Saya tidak tahu itu,dan tidak mau tahu. Makanya saya menggantikan belum di sana dengan tidak. 

Kasihan kaki dan mata saya. Yang semenjak ada, langsung bisa berdiri dan melihat bahkan membaca ketika saya langsung berdiri. Itu aneh ya? Tapi Tuhan yang Maha Aneh itu, makanya Ia kerap menciptakan yang aneh-aneh. 



Di sana saya lihat ada gundukan batu-batu besar. Ada baiknya saya berhenti, dan bagian perut saya terus bergerak meriuk-meriuk. Tanda apa itu? Saya merasa lunglai setelah bertahan dua jam waktu bagian wilayah Tuhan, ibu saya. 

Tiba-tiba saya melihat langit bergemuruh. Dan awan kian dekat, lalu menembus tubuh saya. Munculah warna yang lebih terang dari warna yang pernah saya lihat di bumi ini. Ia berkata pada saya "iqralah! Ikhtiarlah! Beribadahlah! Cukupi makan dan minummu! Dan carilah warteg terdekat!" kemudian tiba-tiba hilang tanpa jejak, seperti saya. Saya terus bingung memikirkan kata terahirnya 'carilah warteg terdekat!" apa itu warteg dan berada di mana mereka semua?! 

Maaf mulut saya mulai tidak rasional. Saya terlalu banyak bertanya sebelum itu. Dan batu besar di dekat saya, hanya diam dan pergi lagi tapi ke batu yang sama. Diam yang diam, batu. Benda pertama yang saya kenali setelah Tuhan.

Lalu, saya mengangkat batu itu dari tempatnya. Sangat berat, kata tangan saya. Tapi saya terus berusaha, karena saya butuh teman seperjalanan. Saya bosan terlalu lama sendiri dari langkah ke langkah, menyeret kaki sampai terluka kembali. 

Satu waktu saya bertemu dengan sesuatu, "mengalir" spontan mulut saya berkata demikian. Apa itu mengalir? Saya belum tahu itu, sebelum awan mendung tiba-tiba pekat sempurna. Ada yang jatuh rombongan menyerang saya, sesuatu itu begitu sombong, kecil-kecil tapi rombongan.

Saya berdiri lama, tubuh saya basah, dingin kata tubuh saya. Lama bertahan, tubuh rasa-rasanya menciut. Hampir sejajar dengan semak-semak yang tadinya sepundak saya. Tubuh saya bergetar-getar padahal tanah yang saya pijaki diam dan sedikit bergelombang struktur permukaannya.

Tidak lama kemudian, hidung saya seolah menutup lubangnya. Kedua tangan saya memegang antara leher dan dada. Tubuh saya seakan kalah begitu saja, terkapar menghadap langit yang terbakar. 

Mungkin,Ibu saya kangen dengan anaknya ini. Ia ingin melahun saya seperti awalnya saya menjadi pertama. Dan, akhirnya pada suatu ketika yang biasa saja, saya binasa untuk menukarkan yang pertama. Dengan pertama-pertama selanjutnya.

  • Share:

You Might Also Like

0 comments