puncak rinjani

By Afrilia Utami - January 21, 2012


: Naura

aku masih ingat, masa lampau itu denganmu, naura. kita bersenda gurau dan merasa paling merdeka setelah berhasil menaiki puncak rinjani. iya, kita memaksa kaki kita yang sudah sakit, dan kakiku yang sempat berdarah karena terpeleset dan akhirnya terjatuh. tuhan masih baik ya, naura. aku tidak sampai jurang. dan kamu senang sekali membantuku, yang masih baru-baru suka menaiki gunung, dan menerobos hutan. bahkan, aku tahu, naura. ketika itu kamu rela menahan dahaga. mengetahui persediaan air kita ternyata telah minim.  kita berangkat pagi sekali awalnya, hingga siang. kita sama tahu matahari menantang dan garang iri dengan kita di bawah sini. sesekali kamu membantuku untuk melepaskan sesak yang kerap menggangguku. dadaku bermasalah ya, naura. kadang sulit bernafas, kadang sakit tiba-tiba. tapi aku tetap semangat naura. untuk mendaki gunung. mendaki kehidupan.

sebelum puncak itu, kamu mengajak duduk. kebetulan disekeliling kita tinggalah tanaman liar, dan lumut yang licin-licin. "kita bisa melihat awan, af!" kata naura. tapi bukankah awan tiap hari dapat kita lihat. namun awan itu mengapung, mungkin perbedaannya kita melihat awan itu mengapung di bawah kita. awan itu seperti impian kita ya, naura. menggumpal-gumpal di atas, kadang digiring oleh angin, kadang jika air yang beku itu sudah berat, jatuh dan kadang pula menjadi menakutkan. 


akhirnya kita sampai di puncak. katamu, kamu ingin sekali loncat dari sini ke bawah, asalkan malaikat bersedia menyambut dengan amat ramah. naura, malaikat itu dekat  ya. disembunyikan langit, katanya.

"af, kadang aku berpikir mengapa aku selalu ingin mendapatkan puncak-puncak yang tinggi ini. padahal aku tahu ini berbahaya. tapi aku suka, semoga begitu dengan kamu ya. kamu akan senang menaiki puncak-puncak di indonesia bahkan dunia. aku ingin mengajakmu, jika kamu mau. tapi aku tak dapat membiarkanmu seperti tadi. jadi aku harus menjadi dokter spesialis dulu ya? aku inginkan kehidupan, af."

"iya naura", kataku. "aku ingin kehidupan, aku merasa belum mendapatkan kehidupan itu. kamu enggak usah menjadi itu. kamu harus menakhlukan ketinggian ya? kehidupanmu, yang kamu inginkan.". menarik nafas. "aku juga suka membicarakan kematian ketika aku bertanya tentang tuhan dan kehidupan, naura. aku tidak tahu, karena aku belum mati, karena tuhan belum mau menemuiku. karena tidak tahu itu menjadi menarik. juga kehidupan. naura, apakah aku akan mati lebih cepat? setidaknya aku ingin menerbitkan coretanku, dulu. tanda sejarahku, naura. aku punya sejarah. juga denganmu. tidak ada kehidupan tanpa sejarah."

ia tersenyum, "sembunyikanlah dulu, jangan terburu-buru. biar aku menyimpannya dulu ya. dan aku enggak suka kamu membicarakan tentang kematian, af. kamu percaya aku kan? setelah ini aku juga berdo'a. ini bukan pertemuan terakhir kita. bolehkan aku menyimpan buku tulismu itu? aku ingin menjadikannya bekal, di perjalananku selanjutnya."

di puncak, kita banyak membicarakan impian, kehidupan, persoalan, dan kasih sayang, juga perpisahan. aku memberikan buku tulis, yang di dalamnya berisikan coretan dari tahun 2009, hingga ditahun aku memberikan itu padamu. kamu memberikan aku kekuatan, dan sarung tanganmu bertuliskan:
 "esok, kamu akan lebih baik, af". 

naura, kamu di mana sekarang?
jangan kembali, jika kamu belum siap.
aku akan tetap menuliskan itu, naura.
dan sebagian yang akan aku simpan sendiri saja.

  • Share:

You Might Also Like

0 comments