hujan belumlah surut

By Afrilia Utami - January 21, 2012


Aku tak dapat menerka usia hujan, yang jatuh begitu saja. Air yang jatuh ke bumi, yang selalu terlihat pucat dan pasi. Kadang dingin yang ditawarkannya tak pernah dapat hilang lebih cepat dari senyap yang berkelindaan, mungkin bunyi deras yang memecah keheningan, sejengkal dari kebisuan. Kadang, aku berpikir, mengapa ia harus turun? Di sini sudah banyak air yang kadang tak terbendung karena kedatangannya, tapi ia kembali juga ke atas pada akhirnya dengan cara yang berbeda. Udara yang bergerak hanya mengikuti jalur-jalur yang sudah ditandai oleh malaikat itu, pengatur cuaca, pembawa berita. Aku jadi ingat pada musim hujan itu, bertahun silam. sore sepulang jam pelajaran. Aku mempelajari bagaimana tubuh yang kuyup ditimpa hujan sepanjang jalan. Dingin, memang. Tapi aku tetap ingin pulang dengan keras. Sementara aku membiarkan tubuh mati, sebelum itu.

Reeeesssssss… begitu air itu banyak menimpa jalanan tanpa atap, dan menusuki orang-orang tanpa payung. Hanya teriakan dingin dari dalam diri. Aku merasakan tuhan sedang iseng bermain-main air, mungkin begitu dalam pikirku. Sesekali tuhan mengajak yang tua kembali muda, atau langsung pada kanak. Masa kanak-kanak yang cepat, juga muda menuju tua yang ekspres, lalu berakhir pada kematian. Hidup itu mudah, katanya. Kita hanya menunggu dan bertahan dengan pola kewajaran. Pola air yang kadang tergelincir dari matahari, karena menangis, sebab sendiri.

Kelak hendaklah sepasang sayap malaikat itu akan jatuh, mungkin dalam ghaib yang tak dapat terlihat mudah dari mata biasa. Malaikat juga suka air. Untuk membasuh sayap-sayapnya yang kusut setelah berada di bumi dengan lama, dan inginkan kembali ke langit. Tapi hujan belumlah sempurna surut.

  • Share:

You Might Also Like

0 comments