Setangkai Hujan

By Afrilia Utami - May 25, 2011






Setangkai Hujan I

Setangkai hujan yang pernah dulu kita tanam, telah mengakar dalam rangkai kenangan yang enggan terbenam. Laku sang Purba tak merakit prasasti tuk terhapus, pupus dalam tandus yang menghangus. Hanya kelopak terus mekar meracik indah piawai tak menghilir kabut pada lahunan sang awan.

sementara aku kau sibuk membilang musim tuai yang mesti melenggang pulang pada silam, setangkai hujan, hanya setangkai hujan, kembang lihai bermain di bayang bayang. menjelma terwang, menjadi pukau kilau dalam pandang.



Dalam ranah peralihan musim, kau aku masih menghitung antara bimbang dan pasti nan masih terpatung, gugur daun menjelma kelopak airmata, usang mengambang menyapu pangkuan senja. Maka, kutitipkan sketsa tubuh cintamu pada cadar langit yang kerap mencakar tungku dingin dalam belukar rindangnya rindu dalam belantara kilau mercusuar.

setangkai hujan, kelopakkelopak malang, di mana aku kau jadi tak pandai menyusun jemari, kanapa gigil malah kesudahan? kenapa dingin yang tajam? kau aku menjelma selimut risau berarak diamdiam. 

14 Agustus 2010, Jakarta-Teluk Kuantan
__________________________________________________________________________________

Setangkai Hujan II

Sedari tadi hujan terus menuai dingin yang semai. Ke manakah petualang kali ini hendak berpetualang? Ke sayu lembut matamu atau ke debar degup jantungmu, mungkin.

Hujan kali ini umpama pandang mata di derai langkah, mengiring gigil jatuh menumpuk serupa tugu di mana aku menitip tugu sepanjang jalan. Menuai cemas di sekujur badan.

Dingin.. benar gigil deburan angin. Nafasku mengeja titikmu kah? Ataukah deras gemuruh yang mengasbak di dua lapis bisumu? Langkah ini membayangi basah. Menelanjangi lompatan bocah-bocah yang redup di jiarah sejarah . menyimpulkan senyum dan murungku di bibir merah jambumu.

Kemudian jelma tempias diam-diam menerobos jendela, potret wajahmu kucup di mataku. Entah harus bagaimana aku berlari, di tiap lompatan kaki kau umpama jejak yang pulang pergi.

Lalu kuikuti perlahan namun pasti. Jejakmu semakin jelas mengarahkan kiblatku. Ku temukan aspal membentang jauh dari timur menuju barat. Ingin kugapai lembut ragamu yang pias serupa mayat, dan perlahan kubisikan hangat, kemudian mengangkatmu dari sejauh ku dan terpisah kau, menjadi dekat, erat dan semakin nafasmu lekat menguat.

Maka dekapmu rumah bagiku, dadamu halaman bunga yang kupetik sejak pagi hingga senja. Di situ sandar adalah gelak tawa di mana duka nestapa Cuma dongeng lama, sejenak kemudian kucuri tubuhmu,matamu,dengarmu,retak garis bibirmu, akan kutatasimpan di kalbuku.

20 September 2010

__________________________________________________________________________________

Setangkai Hujan III


Bening matamu, suatukali
kucari seberapa aku ada

sudahlah ini malam
namun merintik embunembun
dan kusaksikan lenteramu
menolak padam
pada temaram badai merajam

betapa lalu kutangkap ngilu
di kedip ada petir kau adu
"hei, akhirnya hujan, 
hujan di lembah dadaku 
dari retak garis tanganmu"
dan dentinglah senyap sebunyi derit besi padu

didamba lenganmu membawa pagut
juga tari para rumput
tarian kalut, berbasah arti
hujan yang aduh
seberkas kuraih, kukukuku jemarimu
menjentik belai rambut tukang teduh
para keakuanku yang memusim bandang

masih sama gapai tak sampai
kalimat tak tunai
sayup sayap kuyup
mengepak di kau atau malah
aku yang meredup
kemudian di sekian perhentian menyiasati gelut
:aku, kau beringsut ke masing takut


Afrilia Utami-Reski Kuantan
Jakarta-Teluk Kuantan; 20/01/2011

  • Share:

You Might Also Like

0 comments