Ode Dari Sahabat Jiwaku (2011)

By Afrilia Utami - May 11, 2011

______________________________

(Kumpulan Beberapa Ode dari Sahabat Jiwaku, Hingga Akhir Mei)


Awal paragraF

Oleh : Cahya Furi Purnama

Adalah bait terindah pada awal bulan ini
Formulasi kata yang tak bisa dipecahkah beribu pujangga
Figuratif setiap ucap yang tertuang dalam pinta
Resonansi mengalun merdu setiap simpuh
Intisari desah nafas yang tak lelah kita helat
Lingkar masa menggema dalam lembaran lalu bertajuk kenangan, kisah ataupun sejarah
Isyarat dari sang maha melaui janjinya dalam “demi masa”
Agung dan syahdu tepat di saat purnama tandai hari jadi

Ungkapan qalbu tak henti berujar ihwal imaji lusuh tak tergenggam
Tasyakur serupa syair yang melebur tidak menjadi cita dan jika untuk sebuah janji
Awal paling indah dalam symfoni sebuah kisah, kembali
Mengisi paragraf paragraf selanjutnya
Intuisi melankolik yang tertinggal, mengharap segala bahagia yang kelak tercipta

 03 April 2011

________________________________________________________________________

Ada yang retak di cerminku
     : wajahku

 Oleh : Rangga Umara

Angin membawa kabar,
Ada dua purnama melarung usianya
Di tepi sungai bintang-bintang menanam doa

“Muara segera tiba.”

Dua Purnama lari dan berlari
Menysuri Sungai dan Rawa-rawa

“berapa jengkal lagi nafasku yang terlipat di balik tangga?”
“Aku ingin sejarah lekas berhutang kepadaku,” ujarnya.

“Krak! Cerminku retak lagi
     : ada tiga wajah di cerminku.

Bandung 2011

______________________________________________________________________________

Saat Sua yang Tuahkan Hening di Bening Bayang

Oleh : Arther Panther Olii


Di jarak yang riakkan gelombang rindu, aku terpaku berulang. Tatapan ini begitu jauh sibak lebat kabut, menelusuri lengan-lengan angin, meniti dada-dada awan. Aku sertakan gumam yang tak sekedar buih-buih gamang.  Mungkin langit akan remangkan cuaca agar pembacaan angan tak semudah jatuh gerimis di ladang kemarau jiwa.

Sungguh, aku wartakan kerinduan. Sekian musim purna di lekat ingatan. Aku harus mengikat kenangan pada tiang harapan esok yang elok. Kenangan ini tetap tentangmu. Tentang peristiwa hidup yang ajarkan ikhlas bagi pecah ombak derita di pantai waktu. Pernah kaku di sana namun ini tak lama berlaku. Sebuah kesadaran kembali merampas kekhilafan sementara.

Bahwa akan tiba saat sua yang tuahkan hening di bening bayang, itu aku aminkan oleh karena aku dekap jua kau dalam hangat pelukan. Dalam kepedulian yang kekal. Lalu, hilanglah jarak, merapatlah segala musim. Dengan nama baru ; musim tunai kerinduan tanpa air mata.

Menjelma apa kita di ujung kisah ?  Lihat ke langit. Kabut, angin dan awan berkawan karib di lengkung pelangi. Kita adalah bagian dari bias indah wewarnanya. Berpendar sekilau-kilaunya.



Manado, 08042011.

______________________________________________________________________________
Pipi Merah Jambumu Atau Jari-jari Kecilku
Oleh : Reski Handani

Pipi merah jambumu atau jari-jari kecilku, kapan nanti telah menuai temu serupa usia berjumpa waktu bakalan ada cerita paling geli atau debar yang lucu, sama seperti bahasa kita selama ini yang sering kita perbincangkan dengan keliru dan pada akhirnya kau atau aku sama-sama merindu terhadap haha hehe meski padahal cuma sekedar penghantar kantuk sebelum mimpi mencuri kita ke lain hari.

Surat-surat singkat yang kemudian kita sebut dengan sajak, betapa selalu serupa menghirup bau akar rambut yang terus tumbuh dan mulai berubah warna, lalu aku atau kau terbiasa menulis nama di tiap tanggal merah, berdoa hari ini tiba-tiba jumpa menghirup udara di ladang yang sama, ladang  palangi dengan aroma getah pohon cendana dan sedikit tangkai-tangkai hujan yang selalu kau minta agar aku baca pelan-pelan dan kemudian sama-sama membikin  tenggelam ke dalam dada.

Padang; 07/04/2011

______________________________________________________________________________
Tuan peniup Seruling

Oleh : Husni Hamini
                             

Saat hati membuka daun jendelanya
suatu subuh di malam itu
kutemukan
kau semedi disini, berhari - hari sambil merapal:

    " haruskah kucemaskan tentang apakah
       harapanmu mesti begitu keras
         dalam kepatuhan pada aturan
           jiwa dan raga
         dalam kehidupan ini, dinda ".

Aku  mendulang sekian jawaban
saat kekalutan mendadak bertamu
di batas harapan yang tak kunjung nyata

: jalan cinta itu
   bukanlah argumen yang mudah di mengerti
    kanda,
   saatku begitu lelah dengan apa
    yang mesti aku lakukan
   sementara ego diri
   perlu segera dihancurleburkan.

Kenapa tak kau coba
mengikuti jalan sunyi
di tengah ramai-ramai ini,
disana terletak menara tinggi yang
di bangun oleh cinta dan pesona rindu

tumpahkan segera poci kesedihan
dalam lumpur dalam pantatmu
atas apa yang tak datang
di kedua telapak tanganmu itu

jadilah seorang pemberani, penunggang
kuda-kuda sembrani

jika dirimu terlalu sibuk menjadi pecandu
pada tolehan kenangan masa itu
separuh hidupmu habis dalam kebingungan
dan separuh lainnya dalam  penyesalan
adinda.

Aku tak mampu serupa awan
bersenandung riuh lebat pada musim penghujan,

ataukah serupa lilin kecil
 melepaskan air matanya
dapat terus cemerlang bersinar
 duhai kakanda
(hatiku,kataku, semakin sesak oleh hiruk - pikuk ini)

untuk satu malam ini saja
kubutuh bertong - tong minyak kelapa
demi  menggoreng kegelisahanku, demi matang dan sedap tuk disantap kematian

dinda,
kekasih yang kita harap bersua dengannya itu
selalu terbangun bersama senyuman
dalam uluran pelukan
serta dekapan yang paling cinta

satu malam ini saja
   kau mesti menggila

di malam - malam lainmu
kaupun menjelma purnama
    demi abadi sepanjang masa

.2007-2011 (akhir april)

***
__________________________________________________________________________

JALAN UNTUK MELIHATKU
Oleh Muhammad Rain


Tujuh hitungan bulan
aku dilahirkan
tajam mata kataku bolehlah uji
ketika huruf jelma rambut mengurai semesta usia kata
bualan menubi mata bacamu

pahamilah sebuah kalimat
tak hanya memuji
di kedalaman ucap puisi
asa renang berenang sesuka

katakan saja
apa yang kau ingin
bukan mauku bisu suara
bacalah perjalanan menuju
temuilah kelopak matamu sendiri
dalam aku!

_____________________________________________________________________________
Kejora
Oleh Nu Arur

Padamu Kejora
Telah wewangi rupa
Di lekuk angkasa

Pagi merindu
Malam merayu
Hanya hadirmu satu

Semesta berkata
Apa arti makna
Bila tak ada Kejora

_____________________________________________________________________________
Tentang Afrilia Utami
Oleh Merah Hitam

kukabar peta, menunjuk pada rumah antah berantah (sebenarnya kotak kaca)
dimana ada lagu tinta, suara barisan makna, tinggi dan rendah

miliknya, penumpu bumi, rahim ratusan juta nyawa
yang kusua dalam detik ruang-ruang maya

kubakar mata
tertikam olehnya


cikarang
030511

_______________________________________________________________________________
 Memoar Seorang Perantau
Oleh : Husni Hamisi

1/

Aku tiba di sebuah paruh malam
malam kaum perantau sepertimu,

kaki-kaki terpaku dengan dada yang mulai
terbelah, ada risau yang berhamburan darinya.
sebuah entah yang mulai memamah isi kepala.
elegi penantian di sudut mata atau sudut
bibir yang mendamba musim senyum
kembali memekar. 

2/

Malam itu di tepi sungai beberapa tahun
yang lampau, aku bersila menyulam benang
bersuluh rembulan,

cahaya matamu abah.

dari bibirmu mengalun irama petitih,
para penombak bintang,
kisah-kisah tua yang terlupakan.

Malam itu
berkodi - kodi benang memenuhi
isi kepala dan kedua lubang hidungku.

3/

Suatu siang pada musim panen
aku tiba di sebuah hujan yang lembab
gendang telinga terus merenggang
memintaku sebuah kecupan,
kecipak cinta yang meruah di bibir--
bibir masa lalu.

guruh tak lelah menghantak kaki
sementara buah rinduku tak letih
terus menghanyutkan diri.

4/

Hallo paul si gurita sang peramal malam
ini tak seperti semua malam yang pernah ada
aku tak sendiri, burung-burung mulai mematuk
selaput otakku, kutemukan pula satu tantekelmu
turun dari hidungku yang bau hujan.

maukah kau meramalku
mati  tersenyum di suatu sore yang payau ?

5/

demi masa - masa kita 
aku selalu terpenjara oleh kenanganku sendiri
mereka berkekalan membawaku di setapak
usia yang mulai mengembang
usia yang mulai menguning

kuinginkan kelak 
sesampaiku disana
tetabuhan rebana
kembali membahana
mengalun dari diri
tuan -  tuan 
perintis jalan pulang.

'marhaban ya marhaban
duhai kawan seperjalanan

(to be continued)

...

____________________________________________________________________________
Jadilah Wanita Sunyi Itu, Afrilia
oleh : Rangga Umara

Setiap kunyalakan layar laptop
Ku lihat wajah-wajah melemparku
Dengan senyum yang teramat dingin
Mungkin juga asing.

Afrilia ! Aku mengenalmu seperti mengenal angka dan huruf-huruf
Di keyboard laptopku, seperti tombol klik di mos.
Aku mengenalmu seperti mengenal tubuhku sendiri.

Afrilia ! Mebaca wajahmu, mengingatkan aku pada adik kecil yang setiap pagi menggosok-gosok tubuhku yang masih lelap dengan jemarinya yang lentik seraya berteriak kecil di telinga, "kak, bangun... waktunya shalat. Habis shalat antar aku ke sekolah ya kak?". Sampai sekarang terus kubawa wajah sunyi itu pada setiap kota yang kusinggahi. Pada setiap tanah yang kupijaki.
Aku ingin kau menajadi wajah sunyi itu, Afrilia. yang setiap saat merengek manja kemudian lelap tiba-tiba di pangkuanku, dan lalu tiba-tiba pula menancapkan gigi-gigi mungilmu di lenganku, "maaf ya kak, tadi aku mimpi mengunyah permen yang kakak berikan", setelah kutanya kenapa. Dan kau bangun dengan wajah ceria seolah tanpa dosa.
____________________________________________________________________________________________________________________________
HAIKU Untuk Sahabat
Oleh : Uly Giznawaty

kayuh sepeda
lewati batu debu
hatinya kuat

membagi kopi
kepul semangat pagi
gadis nan manis

kuketuk pintu
untai salam mengalir
jernihkan pikir

*****
______________________________________________________________________________
Betapa Mustahil Aku jadi Pelupa
Oleh : Reski Handani

Kunangkunang di matamu itu, umpama bintang yang sempat pernah kau dan aku jumlah sembari bercakapcakap tentang bagaimana pungguk senantiasa merindu atas bulan, dan kemudian engkau tertawa ketika aku kata betapa pungguk itu telah tertipu, "kenapa begitu?" tanyamu, "ya, sebab betapa ia telah  keliru tidak merindu terhadap kunangkunang di matamu" jawabku.

Betapa setelah sesaatnya engkau tersipu hingga langit ikut merona, bungabunga menjadi jingga, angin menerbangkan sejuta tawa yang kemudian aku kantongi agar kelak ketika engkau tibatiba ke lenyap, aku tetap masih senantiasa bisa melumat tawa malumalu yang kau lempar ke  pundakku.

O, betapa sesungguhnya terhadap tawa itu aku enggan barangsekejap pun menjadi jauh. Betapa terhadap tersipumalu kau itu aku tak mungkin bisa menghilangkan ingat. Betapa terhadap matamu segala pukau membangun rumah, dan betapa terhadapmu aku hendak senantiasa menjadi apaapa yang tiada pernah sanggup kau lupa. 
______________________________________________________________________________
Kursi Goyang
Oleh : Reski Handani

Betapa kemudian aku sangat ingin menjadi kursi goyang di teras rumah
mengayun engkau ketika lelah atau sekedar sedang membaca cuaca

kau akan duduk berjuntai kaki sembari menyulam jemari
kemudian sesekali kau bakalan mengusap tangan kayuku
sebelum sesaat setelahnya kau menemu tidur di pangkuanku
 ____________________________________________________________________________



TENTANG PUISIMU,DARL.
 Oleh : Kang Arief

“// Kenanga di sudut beranda/Persembahkan arum kelopak di guguran kemboja/Menziarahi rindu di pucuk bulan// Ialah kau,yang kian serasa lekat/Meski tangan tak lagi menjangkau/Hanya mengaca kenang/Dan kenang/ Yang tak turut lebur di kubur gunduk bebunga// Disini di puncak nisan, kubaca ulang kisah-kisah/Hal jejakmu yang sertai jejakku/Beserta rindu yang memahat dinding hati/Kini dan nanti,aku kan terus bercerita/Tentang tapak kak-kaki kita,Sayang//”

            Entah, sudah untuk keberapa kali Dewi berusaha melewatkan lembar diary yang bertuliskan puisi itu. Namun jemari tangannya selalu kembali singgah dan menyimak kalimat yang tertulis di sana. Seolah pada lembar diary itu  tersimpan magnit bagi matanya untuk kembali membaca puisi yang di tuliskan Rangga di hari uang tahun ke empat puluh dua, setahun lalu, yang ternyata merupakan perayaan ulang tahunnya  yang terakhir. Setelah enam bulan lalu serangan sakit oleh penyumbatan darah di jantung,merenggut nyawanya.
            “Darl, mengapa di saat mendekati tanggal ulang tahunmu selalu kau tuliskan puisi tentang kematian ?” tanya Dewi di ketika itu. 
            “ Memangnya kenapa,” Rangga balas bertanya. Diletakkannya bollpoint yang sedari petang dia mainkan di sela jari tangan. Telapak tangan Rangga mengusap lembar diary yang telah bertuliskan tiga bait puisi pendek. Dewi yang berdiri di belakang punggung Rangga mendekat, menyimak.
            “ Ya ndak papa sih. Cuma kok kesannya agak ndak enak aja. Di saat kamu seharusnya bahagia di tanggal kelahiran, justru kau bicarakan tentang kematian.” 
            “ Menurutmu untuk apa seseorang di setiap tahun harus mengingat hari kelahiran?” tanya Rangga sambil berpaling. Menghadapkan setengah wajahnya kepada Dewi.
            “ Ya paling tidak agar kita ingat perjuangan bunda dan tidak menyia-nyiakannya.” 
            “ Selebihnya ??” Dewi menggeleng.
            “ Tuhan menciptakan isi dunia ini berpasang-pasangan. Ada suka ada duka, ada tangis juga tawa. Dan tentunya ada awal dan pula akhir. Begitu pun kelahiran dan kematian. Semua berdampingan serta tak saling bertentangan. Sedang kita, tak sedang berada pada salah satu hal melainkan pada kesemuanya. Bukankah jadi tak adil, jika kita hanya mau mengingat satu hal dengan melupakan sisi yang lain sedang pada hakekatnya itu adalah sebuah pasangan yang tak kan mungkin terpisahkan.” Rangga tersenyum menutup penjelasannya.
            “ Tau aahh, pikiran penyair itu memang ribet.” Sahut Dewi sambil membalikkan badan, meninggalkan Rangga yang kembali melanjutkan menuliskan puisinya.
            “ Darl, jangan lupa kopinya di minum keburu dingin.” Sambung Dewi di tengah suara telapak kakinya menjauhi kamar, menuju dapur.
            Dewi mendesah berusaha mengurai beban yang mengganjal di dadanya. Teringat dua hari ke depan adalah tanggal ulang tahun Rangga. Dan entah mengapa, kini setelah sang suami berpulang kepada Tuhan, dia teramat rindu dengan puisi-puisi yang kian kerap dituliskan suaminya itu menjelang hari kelahirannya. 
            “ Darl. Aku kini tahu, untuk apa kau selalu menuliskan puisi tentang kematian menjelang tanggal kelahiranmu. Ya itu semua tak lebih karena besarnya rasa cintamu, yang tak mengharap aku terjatuh dalam sakit yang berkepanjangan ketika harus berpisah denganmu,” gumam Dewi di antara butiran airmata yang mulai menuruni celah di pangkal mata.                   Dan airmata itu kian deras, saat dia sadari bila kalimat dalam bait-bait puisi yang di tuliskan Rangga itu seolah memang benar di tujukan untuknya. Perlahan mata Dewi kembali tertuju pada baris-baris puisi yang di tuliskan Rangga untuk yang terakhir kalinya. Yang di matanya kini kalimat-kalimat itu menjelma tak beda kotak pandora, menampilkan beragam hal yang telah mereka lewati selama ini.
            Kalimat Pertama:  "Kenanga di sudut beranda"
            Ya, Dewi tentu tak akan lupa, tentang kenanga yang di tanam Rangga di sisi kiri halaman rumah saat usia pernikahan mereka baru berumur tiga bulan. Dengan memandangi pohonan kembang itu pula, Rangga kerap menghabiskan waktunya menuliskan puisi di teras depan. Tampaknya dari bunga-bunga itulah Rangga selama ini memetik bermacam imajinasi untuk tulisan-tulisannya. Kenanga itu kini tengah di penuhi bunga dengan bau wangi yang menusuk malam seolah mampu mengungkit kembali pendaman kenangan dalam benak Dewi.
            “ Mengapa sih Darl kau tanam bunga Kenanga ?? Ihh bikin ngeri aja. Baunya tuh mistis.” Rangga hanya menjawab protes Dewi dengan senyuman. Dia terus mengayunkan cangkul kecil, menggali tanah dan meletakkan batang bunga kenanga hasil cangkokan di dalamnya, untuk kemudian menimbunnya.
            “ Kenanga yang kau tanam kini tengah berbunga Darl. Tapi tak seperti hatiku yang layu,”bisik Dewi perlahan. 
            Kalimat kedua : "Persembahkan arum kelopak di guguran kemboja"
            Mungkin memang untuk itulah bunga kenanga di ciptakan, yang diharuskan memberikan wangi kelopaknya di antara guguran bunga-bunga kamboja. Tak pernah ada yang memajangnya di ruang tamu, tak pernah ada yang mau menggunakannya sebagai symbol tanda cinta. Ya nampaknya di pekuburanlah kenanga mendapati kesejatian tempatnya berdiam. Membusuk di genangan derai tangis, bersama tubuh-tubuh yang terkubur di bawahnya.
Dewi teringat kelakar Rangga sembari bertanya tentang bagaimana perasaannya jika di suatu hari dia menerima kuntuman bunga kenanga di meja kantornya.
            “ Gila aja Darl. Itu sama saja dengan mendokan orang cepet mati,” jawab Dewi spontan. Rangga hanya tertawa. 
            “ Tapi aku melihat banyak persamaan antara kita dan bunga kenanga itu,” sahut Rangga sambil mengelus pundaknya. 
            “ Kita dan bunga-bunga kenanga, akan sama-sama membusuk di pekuburan.” Tegas Rangga. Dewi terhentak, matanya menatap tajam ke arah Rangga. Yang di pelototi hanya tersenyum.
            “ Ya itulah hukumnya itulah kodratnya. Semua akan hancur apapun itu, tak terkecuali bunga-bunga kenanga itu, tapi akan satu hal yang tak kan turut lebur dan terus di ingat banyak orang, yakni wanginya. Dan ternyata dalam hal ini masih banyak manusia yang kalah dengan bunga-bunga. Karena kebanyakan kita nantinya hanya meninggalkan bau bangkai di belakang nama seiring tubuh-tubuh yang membusuk dan hancur,” sambung Rangga.
            “ Darl, kau akan selalu dan terus wangi di hatiku,” gumam Dewi memutuskan lamunan. Untuk lanjut menyimak kalimat berikutnya.
            Kalimat ketiga : "Menziarahi rindu di pucuk bulan"
            Rindu ya rindu. Begitulah Rangga sering berucap kepada kematian. Hal yang membuat Dewi bertanya. Dan saat dia tanyakan itu kepada suaminya maka Dewi hanya mampu diam tercenung.
            “ Ya Rindu adalah kata yang selayaknya kita sampaikan kepada apa-apa yang kehadirannya tak mungkin kita pungkiri. Dan bukankah kematian adalah sesuatu yang tak mungkin kita tolak, lantas mengapa kita menunggunya dengan gelisah?” 
            “ Tapi tak harus segitunya juga kan,Darl.” 
            “ Kamu takut dengan datangnya kematian??” Dewi hanya mengangkat bahu tak menjawab pertanyaan suaminya.
            “ Sebenarnya saat kita mengenang kelahiran secara tak sadar di sisi lain kita sedang menengok kematian. Dan maka ketika kita sampaikan ucap rindu kepadanya maka hal yang sama sedang kita tujukan kepada kematian.” jelas Rangga.
            “ Seperti itukah Darl ?”
            “ Ya, dan tiadakah aku dan kau kini sedang berada di antaranya ?. Menautkan keduanya halnya sulaman benang dan menjadikan apa yang kita jalani di sebut kehidupan. Tak akan ada hidup tanpa kelahiran dan kematian. Tak ada cerita, tanpa awal dan akhir. Rindukanlah kelahiran halnya kau merindukan kematian. Maka setelahnya tak akan ada kata berpisah karena sesungguhnya diantaranya takkan pernah bisa di pisahkan. ”
Dewi mendesah, hela napasnya berulang meneriakkan kegundahan. Beban yang menggelayut dalam benaknya kian terasa berat berlipat-lipat, menusuk-nusuk dinding tengkorak halnya ribuan jarum. Dewi bangkit dari duduknya menghampiri almari penyimpanan obat dan segera di telannya sebutir aspirin untuk meredakan sakit di kepalanya. Jika saja suaminya masih ada tentu rasa sakit itu akan jauh berkurang karena Rangga pasti akan segera menghiburnya dengan membelikan coklat kesukaannya.
            Dewi kembali duduk di tepi pembaringan. Diusapnya wajah sebelum kembali membuka lembar diary di tangannya.

“Ialah kau,yang kian serasa lekat/Meski tangan tak lagi menjangkau/Hanya mengaca kenang  Dan kenang/ Yang tak turut lebur di kubur gunduk bebunga."  

Dewi mendongak, pandangan matanya seolah hendak menembus plafon kamar dan terbang ke langit malam. Berulang diabaca bait itu di dalam hati.
             “ Darl, iya Darl. Kau takkan pergi dariku. Karena sesungguhnya cinta telah menautkan kita bahkan jauh sebelum aku dan kau di lahirkan ke bumi ini. Ya Darl aku menangkap pesanmu.” gumam Dewi sambil mengusap guliran titik air bening yang membasahi kantung matanya. Dan Dewi tak dapat membendung isaknya saat membaca bait terakhir puisi Rangga.

 " Disini di puncak nisan, kubaca ulang kisah-kisah/Hal jejakmu yang sertai jejakku/Beserta rindu yang memahat dinding hati/Kini dan nanti,aku kan terus bercerita/Tentang tapak kak-kaki kita,Sayang."

Dewi berusaha keras menahan isak tangisnya, teringat esok adalah tanggal ulang tahun suaminya. Dan di malam tanggal ini biasanya di tiap tahunnya Rangga menuliskan puisi di diary yang kini ada di tangannya. Tapi tidak dengan malam ini, tak ada lagi puisi yang ditulis di diary  itu. 
Tak ada gerutu protesnya pada Rangga tentang tema puisi juga kelakarnya mencandai kematian. Yang menjadikannya seolah bukan suatu hal yang begitu merisaukan. Ya Diary di tangannya adalah tak beda kubur yang menyimpan jasad Rangga. Diary di tangan Dewi adalah penyimpan jejak-jejak kenang yang tak kan aus di makan jaman sepeti harapan Rangga “Kini dan nanti,aku kan terus bercerita/Tentang tapak kak-kaki kita,Sayang.”
            “Darl,kematianmu takkan menghentikanku cerita kita, dan mulai malam ini aku yang akan meneruskannya.” Dewi memupus tangis, dia raih bollpoint dan mulai ditulisnya sebuah puisi, di diary itu.

“ // Malam  muram terkubur di rintik gerimi / Menyanyikan rindu di hamparan tubuh bulan/Serupa bisik smara dedaunan kepada angin/Yang telah gugurkannya/Dan merubahnya menjadi humus/Untuk kembali menuju bakti/Persembahkan kerelaan bagi tumbuh bebunga/Dan seminya dedaunan di pagi hari//Begitulah kata rembulan/ Di ketiadaan suara-suara/ Pada sunyiku, Darl//”
            Dibacanya sebait puisi yang baru saja ditulisnya. Tak ada senyum di bibirnya tatapan matanya pun serasa hampa. Dewi bangkit dari duduk hendak melepaskan penat tubuh di pembaringan. Sementara mendung yang sejak senja menggelayut di langit kota, telah benar turun berupa titik gerimis. Sedang di atas meja dimana Dewi biasa mengerjakan tugas lembur dari kantornya, sebuah Diary dibiarkannya terbuka.



            Ngawi 07 April 2011. 


  • Share:

You Might Also Like

2 comments

  1. pada lenyap bayang wajahmu, kutabur ode perindu. pada rindu langit terangmu, kutautkan hatiku …
    --------
    selamat yach ini ode yang bermakna, menarik, dan penuh kreativitas. Salam untuk semua ...

    ReplyDelete
  2. @Riyadiwp
    terimakasih banyak Kang Sastro
    salam dari kami semua tentunya. :)

    ReplyDelete