Catatan Botol--

By Afrilia Utami - May 19, 2011







: Ini Catatan Berdebu, Ayah

Kapan terakhir kali aku duduk dalam pangkuanmu, Ayah? Atau mencium punggung tangan kananmu, lalu kau membalas kecupan dikering dahiku seraya dengan do'a. Bertemu dalam kehangatan waktu bersama ibu. – puluhan tahun silam.

Aku anak sulung perempuanmu yang sedang merindukan kehadiranmu. Ini terjadi sudah cukup lama. Saat masa-masa kesibukanmu, atau kesibukan lampau anakmu memperhatikan mengapa kehidupan di masa kanak begitu serumit itu. Dan anakmu membenci kesibukan orang-orang dewasa yang membodohi dirinya sendiri.



Selama puluhan tahun, aku menyimpan rautmu dan kenangan-kenangan yang ingin aku hapus selamanya. Di dalam hati, dan tatanan langkahku menjelajahi kekusutan hidup ini. aku masih menyebutmu ayah dan mencari di mana ayah terduduk sambil membaca koran pagi sambil menikmati segelas kopi hitam. Malam, bersama buku-buku tua yang kini aku tahu, buku yang selalu tiap malam kau buka adalah album-album terakhir kita bersama dalam sebuah lukisan kertas, dan warna yang masih bertahan.

Aku bangga dengan kenyataan memiliki ayah sepertimu. Menyayangi dan tetap mencintai secara diam-diam dalam benam keinginanmu yang lebih gerak dan gerah. Meski kita sudah lama terpisah. Aku tetap menyayangimu, ayah...

kini aku ingin mengulang masa lalu,berada dalam rengkuhanmu seperti dulu. Melipat hal yang belum tuntas kita lakukan bersama. Di masa tuamu, di masa aku masih ingin mendengar petikan grand piano Yamaha c3 dari merdu sentuhan jarijarimu. Di masa tuamu, di masa aku menyibukan diri untuk mengenal tubuh kehidupanku. Aku mendesirkan rasa kesakitan dalam perihmu, aku menamparkan rasa komplikasi pada rindu degup jantungmu, Ayah. Di masa tuamu, di masa aku kehilangan waktu bersamamu. Denganmu. Aku berharap ibu pun mendengarkan ini.

Darah berwarna merah, yang seperti airmata. Aku membencinya. Tapi dia mengalir dalam tubuhku, aku belajar melupakan rasa benci yang mematikan semua hal yang harus aku lewati.

Maafkan aku ayah. Aku menangis hari ini dengan airmata dan sisa darah yang masih tersedia dan gemar berenang melewati paruh hidungku. Dan merah yang melukiskanku bibir. Tapi anakmu memilih untuk tetap tersenyum, sedalam luka dan derita –menganggap sama bagian dari bahagia. Aku mengingatmu dengan senyuman tampan kharismamu bukan pada nada tinggi amarahmu. Maafku, Ayah. Terlampau sering aku mengabaikan saat-saat yang harusnya kita miliki bersama. Sekali lagi aku berharap ibu pun membaca ini..

Kehidupan yang aku miliki adalah ketika ada utuh keluarga yang menemani..
Ayah, tolong bisikanlah lagi sebelum aku tertidur dalam waktu ini..

“Ayah sangat menyayangimu, Sayang. Dan Ayah tidak ingin kehilangan ibumu..” 

Mei 2011

  • Share:

You Might Also Like

0 comments