MENDAKI PENGAKUAN

By Afrilia Utami - April 14, 2018



Apa yang sebenarnya ada dan tertanam di kepala manusia? Sejak awal manusia memiliki ikatakan pada akal dan intuisinya. Mengolah keinginan dan tujuan dengan alat inderanya. Namun sekali lagi, manusia tidak memiliki satu tujuan tunggal yang sama dengan cara-cara yang dikeluarkan dari perpaduan hasrat dan nafsu yang sama besarnya terhadap penguasaan dan pengendalian.

Sejak kecil kita ditawarkan oleh suatu harapan. Harapan yang berkaitan bagaimana kita dipaksa memasuki harapan lain dalam suatu ekosistem. Harapan yang mengenalkan kita pada suatu ikatan sistem yang berjalan dari tatanan warisan, turun dan temurun. Akhirnya, kita banyak mengonsumsi harapan-harapan di luar diri, semakin terjauhkan dari pemurnian suatu kehendak. Harapan bahwa manusia dapat lebih baik memahami dunia.

Pemahaman-pehaman saat ini kemudian mewakili rasa arogan dan ego sebagai manusia yang menaikan statusnya dalam kelas --pengakuan. Sebagian besar tujuan dari homo sapiens yakni berlomba dapati pengakuan dari halaman terdekat, tetangga, bahkan dunia. Produk yang lahir di era seperti ini menanamkan kerisauan mendalamnya pada keterasingan sambil memaki kekosongan di tengahnya. Sebagian lainnya berbesar hati menerima dan berusaha memahami keadaan yang berlangsung dengan keoptimisan terbesar dalam penyebarannya. 

Filsafat Yunani kuno dalam beberapa buku yang sibuk memainkan pendekatan untuk mencapai suatu tatanan hidup yang baik (good life). Kemudian, Reza menuliskan dalam catatannya berjudul Trilogi Filsafat Jerman dan Demitologisasi Kehidupan
Untuk itu, dua hal kiranya penting, yakni pemahaman teoritik (Theoria) dan kemampuan menerapkan pemahaman tersebut dalam hidup sehari-hari (Praxis). Pemahaman teoritik mencakup metafisika, yakni pemahaman tentang prinsip-prinsip terdalam dari segala yang ada, sekaligus epistemologi, yakni pemahaman tentang unsur-unsur sekaligus batas-batas pengetahuan manusia. Sementara, filsafat terapan mencakup etika, yakni diskusi kritis tentang moralitas, atau pemahaman baik dan buruk yang ada di dalam masyarakat.
Apa yang manusia pilihan dapat ketika ia membaca filsafat? konsep pemikiran yang lebih rumit? disimbolkan dengan kata-kata yang lebih berat dan seolah bijaksana dengan keintiman terhadap definisi-definisi yang tidak semua orang mudah mencerna maksudnya.  Karena tidak semua manusia rela mengorbankan waktu terbesarnya hanya untuk memahami sebuah definisi yang diakui. Bukan cuma itu. Pada akhirnya, filsafat memberikan sebuah ruang untuk kepala manusia menanamkan keingintahuannya lebih besar dan dalam. Siapa yang mengendalikan? Keinginan untuk diakui sebagai makluk yang berpikir --Cogito ergo sum kata Descartes.

Sementara Kant begitu besar menyumbangkan konsep pemikirannya terhadap Jerman; Pengetahuan, moralitas, dan estestika tentang keindahan dan pertimbangan. Dapat kita tarik sebuah garis berwarna abu-abu. Dari satu lini waktu menuju 2019, tiga elemen fundamental tersebut sudah saling tidak punya keintiman yang saling mengikat. Isi kepala manusia mulai kehilangan cara menahan keindahan dari sebuah pertimbangan, selain angka-angka dan status online dari telepon pintarnya, kuasa untuk mendaki pengakuan dan eksistensi.  Sementara kepalanya dibiarkan jauh dari kerangka metafisika --bagian pemahaman terdalam dan intuisi. 

Kemudian kita diingatkan kembali dengan kaum bangsawan yang pada akhirnya digantikan dengan kaum pemodal kapitalis. Dapatkah jika kita tarik satu benang, terhadap kondisi kepemimpinan dan politik yang dikendalikan oleh man behind the secret missions. Dan pada akhirnya kaum feodal saat itu mulai meraba tubuhnya. Hasil dari segala mesin pengakuan yakni keterasingan sebagai masyarakat dan pembuat keputusan.



  • Share:

You Might Also Like

0 comments