ALARICH DAN ALEA (DUA CINTA YANG BEDA) -Part 1

By Afrilia Utami - April 18, 2018



(Ilustration by Puuung)


Biarkan buah musim

mengajarkan manis, asam, dan dingin
di cuaca pancaroba dan api
dan aroma kopi dalam dua tepi cangkir
yang saling mengukiri hati.

April, 18th

2018

------


Musim telah sampai berpamitan pada dua matahari dalam balik dada yang rapih. Alarich melepaskan sarung tangannya, melalui dua tangan  yang semakin beku. Merindukan Alea, satu-satu perempuan yang ia idamkan sejak sebelas tahun lamanya. Tubuhnya yang tinggi semapai dengan dada yang menjulang atletis, tidak kehilangan sedetik pun rayuan dari perempuan yang menyisiri langkah kokohnya.


Alarich terbiasa menulis di catatan birunya. Puisi sudah menjadi kudapan yang disembunyikan di balik saku celananya. Ia memiliki robekan kecil yang ia masukan dalam dompet. Tak ada photo, satu pun nihil. Penuh carikan kertas dan puisi-puisi yang belum pernah dikirimkan pada alamat mana pun. Sekali lagi, dirinya yang dicari rayuan mata. Masih belum bisa keluar sepenuhnya dari duka masa lalu, dari keinginan terbesar hatinya; Alea.



Setidaknya, bahagia yang minimalis ini

buatku semakin dalam dan tenggelam
ke arah keinginan menyatakan arahnya
pada tiap persimpangan dan pemberhentian
tak ada yang benar-benar menarik
tak ada. Selainmu.

April, 17th 2018



Bandung terasa semakin panas. Alarich menyeka rambut dan memisahkan keringat dan teriakan perempuan yang histeris ingin ia ciumi. Tapi sekali lagi, pamannya telah begitu dekat menyatukan bara di hati lelaki yang lebih senang digombali oleh puisi dari jarinya sendiri. Baginya, menulis dan puisi sudah lebih dari cukup untuk mengembangbiakkan rasa penasaran hatinya pada hidup.


Sehari-hari pamannya yang bekerja sebagai developer real estate bereputasi tinggi. Melatih Alarich agar menjadi seorang lelaki yang kuat dan fokus terhadap hal-hal detail dan perencanaan, pamannya adalah satu-satunya orang yang bisa bebas membuka buku catatan Alarich. Dulu, pamannya pun merupakan seorang sastrawan yang cukup fenomenal diangkatannya. Namun baginya, menulis adalah upaya mengenal diri dan melahirkan kebahagiaan tanpa merepotkan dunia sekitarnya. Begitu cara satu-satunya paman melatih satu keponakannya, Alarich. Sebesar apapun harta tidak akan terasa, saat kita kehilangan cara untuk berkomunikasi lebih baik dengan diri dan Tuhan.


Pamannya, Arya, sudah mengetahui lama ketertarikan Alarich  pada Alea. Anak yang biasanya ia jumpai sepulang sekolah di sebuah taman sekolah dasar. Hanya Alea yang bisa buat Alarich melupakan buku-bukunya. Hanya Alea  yang bisa buat Alarich tertawa setelah ia kehilangan sepasang orangtuanya. Tapi kini, Alea, sahabat SDnya sudah pergi dengan ibunya. Kedua orang tuanya berpisah. Dan lagi, anak menjadi korban atas perpisahan yang dihendaki pencetus terjadinya kelahiran anak. 



Alea, jangan sedih

aku jadi lebih sedih.
Dan dunia jadi tak indah lagi
sampai kamu mengembalikannya.

April 15th, 2008


Di satu senja saat halaman masih menyediakan cerita kanak bagi mereka. Alarich seperti biasa mendorong ayunan, Alea. Alea dengan rambut hitamnya yang menyala dan lebat. Yang kerap membuat Alarich merasakan detakan hebat di usia sebelas tahunnya. Kerap memeluk dengan sengaja dan tiba-tiba, namun penuh kejutan dan teriakan, "Kena kamu, Alea! Aku takkan melepaskan kamu!" kemudian dengan tawa masing-masing, "Aku selalu pandai melepaskan apapun, Rik!"


Keduanya, duduk dekat sungai. Sepeda kumbang mereka tinggalkan di bawah pohon Katilayu.


"Aku jadi benci pernikahan Rik!" Ujar Alea di usia 13thnya.


Alarich tidak langsung merespon. Baginya kata pernikahan masih ganjil di telinga anak 13th.

"Yang aku tahu dari pernikahan cuma menghasilkan perpisahan yang menyakitkan!" Tambah Alea menguatkan.

Alarich mengambil catatan hariannya kemudian menuliskan,

April 12, 2008 Alea bilang, "Pernikahan cuma menghasilkan perpisahan yang menyakitkan." dan aku belum banyak tahu tentang itu. Yang aku tahu, ayah dan ibuku sudah benar-benar hilang dari bumi.

Alea merebut catatan Alarich, membaca, dan berkaca-kaca memaknai apa yang Alarich tulis.

"Maafkan aku, Rik.. Maafkan.." Alea mulai meringis, "Aku cuma kangen sama Papa dan Mama saat damai-damainya dulu."

Alarik tersenyum meyakinkan diri pada Alea kecil, "Kamu akan dan selalu punya kehidupan yang lebih beruntung dariku, Alea. Aku berjanji. Akan selalu membantumu."

------------------

Dalam hidup aku hanya mengenal dua kebahagiaan
hidup tanpa dugaan dan Alea.

April 11th, 2018



(semoga dapat dilanjutkan ya... :) )








  • Share:

You Might Also Like

0 comments